Pertumbuhan industri yang kian maju turut menyita perhatian masyarakat atas efek yang ditimbulkan dari perkembangan peradaban modern saat ini. Beberapa isu muncul di era 90-an diantaranya yaitu masalah lingkungan global sebagai dampak dari pesatnya industri. Dengung “Green Marketing”, yaitu sebuah konsep perubahan persepsi untuk lebih memperhatikan nilai guna suatu produk dan dampaknya terhadap lingkungan dan kesehatan, semakin menggema diseluruh penjuru dunia.
“Sebagai konsumen kita harus memperhatikan produk yang ada di pasaran dan efek lingkungan yang dihasilkannya”, jelas Dr Hugh Bigsby, (Dean of Faculty of Commerce, Linclon University, New Zealand) dalam Guest Lecture “Green Marketing”, Selasa (23/7) di Ruang Sidang Utama, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB).
Meskipun telah ada sejak tahun 1960, Green Marketing masih belum diterapkan oleh semua industri di dunia. Alasan utama belum diterapkannya konsep ini yaitu adanya dampak ekonomis. Dijelaskan oleh Dr Hugh bahwa penerapan Green Marketing akan berdampak pada tingginya harga jual produk tersebut dipasaran, sedangkan mayoritas konsumen masih enggan dan belum mampu untuk membayar lebih atas produk yang juga dikenal sebagai produk “Ramah Lingkungan” itu.
Tuntutan-tuntutan atas produk yang ramah lingkungan tidak hanya muncul dari suara konsumen tetapi juga pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Berbagai upaya dilakukan dalam mewujudkan kehidupan yang seimbang antara industri dan lingkungan seperti pemberian “eco-label”, standarisasi produk melalui ISO, hingga batasan-batasan yang dituangkan dalam aturan yang memiliki kekuatan hukum bagi pelanggar.
Indonesia sebagai Negara berkembang masih jauh dibandingkan dengan Negara-negara maju dalam hal kesadaran akan produk ramah lingkungan. Hal ini disebabkan kecilnya daya beli masyarakat Indonesia terhadap produk ramah lingkungan yang tinggi harganya. Dicontohkan oleh Dr Hugh, warga New Zealand telah memiliki kesadaran yang baik dalam memilih produk yang ramah lingkungan. Seperti dalam pembelian bahan bangunan, warga akan memilih kayu dan bahan lain yang telah memiliki label ramah lingkungan. Tidak hanya bahan bangunan, makanan dan produk lain juga harus memiliki logo dan label ramah lingkungan. Hal itu mereka lakukan karena kesadaran akan kesehatan dan kelestarian lingkungan bagi dirinya, orang lain dan generasi penerus. (ris)