Ekonomi Nasional dan Politik Anggaran

Euforia di Tengah Desakan Kinerja
1 August 2016
PENGUMUMAN WISUDA PERIODE XII TGL: 27 AGUSTUS 2016 TA. 2015/2016
12 August 2016

Pada awal Agustus sebagai bulan Kemerdekaan Indonesia, kita mendapat dua hadiah yang datang tepat sebelum perayaan tahunan dilakukan.

Hadiah pertama, membaiknya indikator pertumbuhan ekonomi (BPS, 2016) triwulan II/2016 ini, yakni sebesar 5,18%, lebih tinggi daripada periode sebelumnya. Secara kumulatif, tingkat pertumbuhan ekonomi pada semester I/2016 mencapai 5,04%. Momentum yang baik ini perlu terus dijaga sampai akhir tahun. Hadiah kedua , kembalinya Sang Fenomenal Sri Mulyani Indrawati sebagai menteri keuangan (menkeu) akhir Juli lalu. Menkeu berkomitmen untuk menjaga agar tren pertumbuhan tetap positif.

Diperlukan langkah strategis dan berani untuk mengamankan capaian ini. Langkah strategis dan berani yang diambil Menkeu; pertama , mengevaluasi dan merombak susunan APBNP 2016 dan dibahasakan sebagai langkah-langkah penyelamatan. Anggaran belanja negara di sisa tahun ini dipotong hingga Rp133,8 triliun: kementerian/ lembaga (K/L) Rp65 triliun dan dana transfer daerah Rp68,8 triliun.

Pemangkasan anggaran untuk K/L difokuskan pada aktivitas yang tidak prioritas dan tidak mengurangi kualitas layanan publik, seperti perjalanan dinas, konsinyering, dan belanja gedung. Sementara alasan pemotongan belanja transfer untuk daerah disebabkan penerimaan di sektor pajak diperkirakan lebih kecil sehingga berdampak pada penerimaan DAU, DAK (fisik dan nonfisik), dana desa, dan dana bagi hasil (DBH) dengan daerah.

Kedua , bersikap lebih realistis dan berani. Alasan paling kentara adalah terkereknya angka defisit fiskal saat ini, yang terancam melebihi batas rasio 3% dari produk domestik bruto (PDB). Pada semester I/2016, defisit fiskal kita mencapai Rp276,6 triliun atau 1,83% PDB. Angka defisit ini lebih banyak terjadi karena realisasi penyerapan anggaran yang dilakukan secara ekspansif. Sayangnya tidak diimbangi dengan kenaikan penerimaan negara.

Kesigapan penyerapan anggaran pemerintah, yang pada tahun sebelumnya lelet , tahun ini menunjukkan kinerja yang jauh lebih baik, yakni mencapai Rp865,4 triliun atau 41,5% sampai semester I. Sayangnya, realisasi penerimaan negara pada semester I masih seret, yakni baru mencapai Rp634,7 triliun atau 35,5% target. Menkeu tidak cukup pede untuk bisa memenuhi target penerimaan tahun ini, diperkirakan realisasi penerimaan pajak paling tinggi berkisar 86% dari target penerimaan.

Hal menarik atas kebijakan yangsangat fundamentaliniadalah keberanian pemerintah (menkeu) untuk berbeda dengan pendapat awal atas prognosis penerimaan pajak selama ini. Selama ini pemerintah terkesan ”mengiyakan” atasdesakanlegislatif terkait besaran penerimaan. Situasi yang terjadi saat ini memberikan kesan positif bahwa hubungan politik pemerintah dan legislatif sudah seiring sejalan, harmonis.

Tentu saja pemandangan ini perlu terus dijaga dan dapat dijadikan modal penting untuk menghasilkan kebijakan yang paling tepat dalam menjawab situasi saat ini. Pilihan-pilihan kebijakan yang diambil pemerintah saat ini juga memunculkan trade off atas pilihan yang dilakukan. Pemerintah sudah menetapkan proyeksi perubahan penerimaan dari Rp1.539,2 triliun menjadi Rp1.320 triliun (berkurang Rp219,2 triliun). Perubahan penerimaan ini tentu harus diikuti perubahan pada sisi belanja. Target alokasi belanja hingga akhir 2016 turun dari Rp2.082 triliun menjadi Rp 1.949 triliun.

Seandainya proyeksi ini benar, defisit anggaran akan meningkat dari 2,35% menjadi 2,5% PDB. Angka ini sebenarnya sudah cenderung tidak aman karena cukup mepet dengan batas maksimal defisit APBN (3%) menurut UU Keuangan Negara. Situasi ini bagi pemerintah tentu dilematis, karena itu juga berdampak pada capaian target pembangunan yang lain, seperti keraguan atas capaian target pertumbuhan ekonomi, terhambatnya realisasi pembangunan infrastruktur, serta tentu saja terhambatnya program penciptaan lapangan kerja.

Namun dari sisi disiplin anggaran, pemerintah menunjukkan kepatuhan pada regulasi dan tentu lebih tidak ngoyo dalam upaya merealisasikan target penerimaan dan bisa berharap mencapai realisasi di atas 90%.

Berani Bersikap dan Konsisten

Situasi saat ini memberikan pelajaranyangsangat mahalbagi bangsa kita. Pertama , pentingnya bersikap atas kebijakan yang harus diambil, apa pun risikonya. Masyarakat bisa menilai peran menkeu cukup besar dalam meyakinkan presiden, DPR, serta pelaku usaha. Kemampuan meyakinkan tersebut tentu menjadi faktor penting dalam membangun kepercayaan masyarakat serta perekonomian nasional.

Kepercayaan ini mahal bagi dunia usaha, karena ini terkait dengan keamanan dana investasi mereka serta kepastian berusaha. Dalam banyak diskusi, memang ada usulan untuk mengubah UU Keuangan Negara tentang ukuran defisit anggaran. Saat ini angka 3% yang dianut pemerintah, beberapa negara lain memang mematok pada angka yang lebih tinggi, seperti India dan Brasil. Namun, kebijakan itu malah membuat para calon investor ragu dan melihat negara tersebut tidak kredibel untuk mengelola keuangan negaranya.

Konsistensi pemerintah untuk compliance pada peraturan UU Keuangan Negara memberikan kesan pada calon investor, masyarakat termasuk negara lain, bahwa negara kita sangat menomorsatukan peraturan dan perundangan. Ini penting untuk memberikan pelajaran, kepastian hukum merupakan hal penting di negeri ini.

Langkah ke Depan

Dari berbagai ulasan tersebut, ada beberapa hal menarik yang dapat dijadikan sebagai simpul kebijakan lanjutan. Pertama , back up kuat dari Lingkungan Istana, khususnya Presiden Jokowi, menko perekonomian, serta DPR, menciptakan harmonisasi politik antara Istana dan Senayan. Modal sosial ini perlu dimaksimalkan oleh para menteri untuk bekerja lebih tenang, bersinergi, dan menjauhi ”kegaduhan” yang selama ini mengganggu dan tidak elok.

Kedua, dengan perkembangan aktivitas perdagangan pada beberapa komoditas strategis (terutama batu bara, sawit, dan migas) yang lebih sering mengalami kontraksi, kita tidak harus selalu digantung dengan harapan yang tinggi pada sektor tersebut, karena dampaknya justru semakin terlihat memperlambat kinerja pertumbuhan ekonomi dan kenaikan penerimaan negara melalui pendapatan pajak.

Dalam dua tahun terakhir, ketiga komoditas tersebut jika diakumulasi terus mengalami pertumbuhan negatif, di mana tahun 2014 minus 8,1%, dan tahun 2015 mencapai minus 15,8%. Apalagi, kita tidak bisa mengendalikan secara penuh karena ketiga komoditas terikat dengan kondisi perekonomian di negara mitra perdagangan. Untuk itu, lebih baik pemerintah dan BI fokus pada penguatan perekonomian nasional melalui perluasan stimulus fiskal, dengan melakukan mitigasi terhadap sektor-sektor potensial lainnya, dibandingkan hanya berpangku tangan menunggu perbaikan pada ketiga komoditas strategis di atas.

Ketiga , penguatan harmonisasi antarkementerian. Konsolidasi kebijakan fiskal dan moneter yang kuat antara menko perekonomian, menkeu, Bappenas, dan BI. Hal ini perlu dilakukan khususnya untuk mengawal arah pengembangan investasi-investasi strategis. Menko perekonomian harus all out meningkatkan harmonisasi perencanaan kebijakan antara menkeu dan Bappenas agar anggaran yang dikucurkan lebih tepat sasaran dan sesuai dengan target pembangunan yang sudah dicanangkan presiden dalam RPJMN.

Sangat penting untuk dipisahkan kebutuhan jangka pendek pembangunan, seperti penciptaan lapangan kerja dan pemberian insentif UKMK. Walaupun demikian, pembangunan infrastruktur yang sangat penting untuk jangka menengah dan panjang juga harus dilanjutkan. Tetapi dengan terbatasnya anggaran, penetapan skala prioritas sektor maupun wilayah menjadi sangat krusial. Di sinilah peran Bappenas menjadi sangat krusial untuk memandu serta menetapkan sektor prioritas dan wilayah prioritas.

Keempat , daya dukung BI dalam konsolidasi tersebut dapat dilakukan dengan pengawasan secara ketat terhadap efek dari tingkat suku bunga dan capaian inflasi. Pengendalian inflasi untuk menjaga daya beli masyarakat, karena sisi konsumsi rumah tangga masih menjadi mesin utama pendorong pertumbuhan dengan rata-rata kontribusi bertahan di atas 50% dan tumbuh 5,04%. Sejalan dengan itu, menkeu juga menetapkan perubahan kebijakan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp36 juta menjadi Rp54 juta.

Pemerintah memilih mengorbankan potensi pendapatan pajak sebesar Rp18 triliun, dengan berharap konsumsi rumah tangga terus berjalan tidak mengalami gangguan. Di luar hal itu, BI harus mampu membuka lebar-lebar akses kredit investasi yang semakin terjangkau baik bagi pelaku UMKM maupun investor kelas kakap. Ekspektasi tingkat pertumbuhan sebesar 7% pada 2019 salah satu prasyaratnya adalah dukungan pertumbuhan sektor investasi harus mencapai 20-21%.

Terakhir , amnesti pajak harus benar-benar dikawal pelaksanaannya mengingat kebijakan ini berpotensi mendongkrak penerimaan negara, tetapi hal yang lebih lagi adalah peningkatan kinerja administrasi perpajakan dan memperbaiki tax base di masa mendatang. Target lain dari kebijakan ini adalah tax reform serta rekonsiliasi kepercayaan masyarakat/wajib pajak terhadap para pengelola pajak atau pemerintah.

Kedua poin tersebut selama ini terus menjadi celah yang menganga lebar dan memunculkan prilaku penghindaran pajak. Kita harus optimistis perubahan kebijakan penyesuaian anggaran ini menghasilkan hal-hal positif bagi pemerintah dan menambah kepercayaan dunia usaha dan masyarakat.

Kita perlu terus mengingat, apa pun strategi kebijakan pemerintah yang diimplementasikan akan terjawab benar jika kesejahteraan masyarakat meningkat.

Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya