Birokrasi Ujung Tombak Perekonomian

STUDENT CONFERENCE 2015
1 December 2015
UNEJ CREATIVE COMPETITION 2015
2 December 2015

Kalender ekonomi 2015 sebentar lagi ditutup dan berganti dengan kalender baru. Catatan perekonomian 2015 berisi penuh dengan perjuangan berat pemerintah baru.

Hal ini dapat dilihat dari melemahnya beberapa variabel makroekonomi. Anjloknya kurs mata uang rupiah, perlemahan ekspor, masih lebarnya ketimpangan pendapatan, meningkatnya angka kemiskinan, dan rendahnya serapan anggaran di beberapa kementerian/lembaga serta pemerintah daerah merupakan faktor yang memberatkan tugas pemerintah dan perekonomian pada tahun ini.
Pemerintah masih juga harus berhadapan dengan perekonomian dunia, khususnya China dan Amerika Serikat, yang fluktuatif dan cenderung melemah. Ketidakpastian eksternal ini tentu akan tetap menjadi tantangan eksternal yang berat pada 2016. Apa yang harus dilakukan pemerintah dengan tantangan seperti itu?

Di saat ada banyak ketidakpastian, terutama dari eksternal, tentu faktor yang paling bisa dikendalikan dengan baik adalah sektor pemerintah, khususnya kebijakan anggaran yang tepat dan berkualitas. Secara umum kebijakan fiskal yang lebih bersifat fasilitatif (facilitative) dan mengurangi yang bersifat regulasi (regulative ) tentu lebih diperlukan.

Selain itu, penetapan skala prioritas dengan dampak berganda (multiplier) tinggi yang dikoordinasikan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional semakin perlu dan dibutuhkan sesuai dengan amanah Undang- Undang (UU) Nomor 25/ 2004. Misalnya pembangunan infrastruktur sangatlah penting, tetapi dengan keterbatasan anggaran, perlu disusun skala prioritas dan tentu tetap dalam koridor pencapaian target pembangunan seperti yang sudah diamanahkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Pada 2015, sendi-sendi perekonomian yang paling banyak mendorong perlambatan pertumbuhan antara lain lemahnya nilai tukar rupiah dan lambatnya penyerapan anggaran pemerintah. Efek lemahnya nilai tukar rupiah sedikitnya berpengaruh terhadap menurunnya persepsi daya beli (purchasing power) rumah tangga, padahal konsumsi inimemberikantopangandiatas 50% produk domestik bruto (PDB).

Ketergantungan impor yang cukup tinggi, terutama pada bahan pangan, menimbulkan kerentanan dan gangguan pada supply-demand bagi konsumsi rumah tangga. Sekitar 75% bahan baku untuk industri di Indonesia bergantung pada bahan baku impor dan ironisnya dengan latar belakang sebagai negara agraris, Indonesia justru cukup rajin mengimpor bahan pangan.

Imbauan Presiden Jokowi untuk menggalakkan pembelian produk lokal dan memperkuat nilai rupiah sementara ini cukup sulit membantu memulihkan ekonomi karena masyarakat mementingkan harga yang murah dan tidak membedakan apakah produk tersebut hasil produksi lokal ataupun impor. Aktivitas lain yang menyebabkan pertumbuhan tidak berjalan optimal adalah lambatnya penyerapan pemerintah untuk proses pembangunan.

Kontribusi pengeluaran pemerintah terhadap PDB memang rata-rata hanya berkisar 8% dari total PDB, tetapi dampak berganda (multiplier effects)dari pengeluaran pemerintah, terutama untuk belanja modal dan infrastruktur, tentu akan mendorong pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Investasi pemerintah (public investment) untuk saat ini mutlak dibutuhkan agar sektor swasta terstimulasi aktivitas usahanya.

Gebrakan- gebrakan, paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah secara terstruktur harus mampu mempermulus laju pertumbuhan ekonomi yang konsisten meningkat seperti sebelum akhir tahun sebelumnya. Dari sisi penerimaan, target cukai saat ini pada November sudah mencapai 95%.Tapi untuk pajak masih sangat jauh dari harapan walaupun pemerintah sudah memberikan rangsangan yang sangat apresiatif kepada para pegawai pajak.

Kita perlu memahami bahwa 80% sumber keuangan negara berasal dari pajak sehingga dengan penerimaan yang jauh dari target, pemerintah harus berani memangkas belanja pemerintah yang ”bisa” ditunda atau tidak terlalu berdampak pada sektor perekonomian lain.

Memperbaiki Proses Birokrasi

Proses birokrasi, walaupun tidak selalu berhimpitan secara langsung terhadap minat investasi dan proses pengembangan ekonomi secara utuh, sering kali mendorong inefisiensi produksi (dalam arti luas) dengan tingginya biaya ekonomi. Birokrasi pada awalnya diharapkan menjadi proses kelembagaan yang mampu melindungi keberlanjutan perkembangan sektorsektor ekonomi produktif.

Lemahnya perlindungan melalui birokrasi ditinjau dari kesehatan daya saing akan dapat berdampak pada lahirnya sistem monopoli atau oligopoli yang mengarahpada perburuanrente, kanibalisme antarpelaku ekonomi, serta meningkatnya kesempatan untuk praktik pungutan liar (pungli) dan gratifikasi. Karena itu ancaman atas sustainabilitas ketahanan ekonomi akan semakin sulit direalisasi.

Kita perlu berpikir secara jujur bahwa perburuan rente berpeluang menyebabkan penyusunan kebijakan dan proses birokrasi berjalan tidak objektif dan tidaknetralsecara politissehingga muaranya akan memukul mundur cita-cita untuk memperluas jumlah investor domestik dan luar negeri di Indonesia.

Langkah-langkah sederhana yang terkait dengan reformasi birokrasi untuk sementara ini dapat difokuskan pada sisi pengamanan minat investasi dan kelancaran distribusi anggaran pembangunan pemerintah. Persoalan investasi yang paling banyak disinggung ialah durasi layanan yang di Indonesia rata-rata membutuhkan waktu berkisar 53 hari.

Pemerintah sudah berniat melakukan pemangkasan durasi layanan investasi dari rata-rata selama 53 hari menjadi 3 jam pada kawasan industri. Daya dukung untuk menerapkan birokrasi yang sehat tentu membutuhkan penguatan di bidang teknologi, peningkatan akuntabilitas, dan transparansi yang terbukti mampu meningkatkan daya saing investasi sebagaimana mereka yang menganut indeks Ease of Doing Business (EoDB) seperti di Singapura, Malaysia, dan Thailand yang peringkatnya sudah jauh di atas kita, sedangkan Indonesia masih tertatih-tatih peringkatnya di luar 100 dunia.

Selain penguatan di bidang teknologi, perlu juga ditingkatkan profesionalitas SDM di lingkungan birokrasi serta koordinasi yang solid antara pemangku kebijakan di tingkat nasional dan daerah untuk mampu menyelaraskan aturan-aturan investasi demi mengefisienkan birokrasi pelayanan investasi.

Reformasi birokrasi berikutnya adalah mengenai distribusi anggaran pemerintah yang penyerapannya masih cukup rendah dan berakibat pada ”lembeknya” daya dukung pemerintah terhadap perkembangan ekonomi nasional. Penyerapan anggaran oleh instansi pemerintah secara nasional hingga September 2015 masih berkisar 55%.

Alasan yang mengemuka antara lain permasalahan birokrasi karena perubahan nomenklatur kementerian, belum adanya payung hukum, serta kekhawatiran dari pejabat akan tersangkut korupsi saat penggunaan anggaran. Persoalan distribusi anggaran yang lelet juga terjadi pada penyaluran dana desa.

Dari Rp20,7 triliun alokasi dana desa dalam APBN 2015, tercatat sebanyak Rp16,57 triliun (80%) telah disalurkan kepada pemerintah kabupaten/kota. Namun dari jumlah tersebut tercatat baru 45% dana desa yang terserap hingga periode yang sama.

Padahal dana desa berpeluang mengakselerasi pergerakan perekonomian di desa melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pengembangan potensi ekonomi lokal, pembangunan sarana dan prasarana desa, serta untuk pemanfaatan SDA dan lingkungan ekonomi desa secara berkelanjutan.

Sistem birokrasi yang sering kali diwarnai tarik ulur antara eksekutif dan legislatif dalam penentuan anggaran otomatis berulang-ulang memotong waktu pemerintah untuk melakukan proses penyerapan dan penyelenggaraan program-program pembangunan. Untuk menanggulangi hambatan tersebut, Presiden dapat menyusun aturan/regulasi yang dapat melindungi serapan untuk pemakaian anggaran yang sifatnya mendesak dan tidak harus melalui tender atau lelang seperti penanggulangan bencana atau belanja infrastruktur darurat.

Ancaman berupa sanksi tanpa diikuti sebuah solusi terbukti tidak mendorong perbaikan birokrasi secara signifikan. Pemerintah juga perlu meninjau alasan terhadap instansi yang tingkat penyerapannya tergolong rendah, untuk kemudian merespons melalui penyusunan regulasi ulang yang sekiranya tidak menjadi sumber ketakutan bagi pejabat dalam penggunaan keuangan negara dan tentu akan diikuti pengawasan agar tidak terjadi celah berupa penyelewengan penggunaan anggaran negara untuk kepentingan- kepentingan pribadi.

Pemerintah juga dapat mendorong agar Kejaksaan Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) secara luas membuka ruang konsultasi bagi instansi pemerintah mengenai penggunaan anggaran negara yang sesuai dengan prosedur hukum yang sudah ditetapkan.

Adapun untuk hambatan distribusi dana desa, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi menjelaskan bahwa dana yang sudah dialokasikan masih tertahan di tingkat kabupaten dan kota sehingga dalam waktu dekat akan dievaluasi penyebabnya serta akan disusun beberapa regulasi yang menjamin kelancaran proses distribusi dana desa.

Dengan demikian permasalahan pembangunan yang dihadapi bukan hanya pada pendanaan pembangunan yang terbatas, tetapi juga permasalahan birokrasi yang bertele-tele dan cenderung menjadi beban publik dan investor.

Perbaikan sistem dan manajemen kepegawaian serta penghargaan yang layak, sebagaimana yang diamanahkan dalam UU ASN (Aparatur Sipil Negara), tentu menjadi celah harapan bagi kita semua untuk memiliki birokrasi yang efisien dan profesional serta membuat optimisme kita pada 2016 meningkat. Semoga.

CANDRA FAJRI ANANDA
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya Malang