FEB UB White Teks (1)

Recent Posts

Categories

Kegagalan Pasar dan Pandemi

Candra Fajri Ananda

Staf Khusus Menteri Keuangan RI

Pandemi dalam perjalanannya telah mulai menepi. Musibah yang telah menimbulkan dampak keterpurukan yang luar biasa (extraordinary) bagi kesehatan, distribusi pangan, keuangan dan ekonomi, hingga stabilitas sistem keuangan hampir di seluruh penjuru dunia.

Sejarah mencatat bahwa pandemi telah mengakibatkan perekonomian global mengalami kontraksi yang sangat dalam akibat adanya pembatasan aktivitas manusia yang berujung pada melambatnya roda perekonomian, terutama pada semester I/2020.

Bagai pisau bermata dua, penerapan kebijakan kesehatan untuk mengurangi penyebaran virus telah menimbulkan gejolak pada pasar keuangan dan aktivitas perekonomian.

Demi mengurangi dampak pandemi yang berjalan sangat cepat, protokol kesehatan dan kebijakan untuk membatasi mobilitas antarwilayah maupun antarnegara pun terpaksa diterapkan dengan ketat. Alhasil, kebijakan tersebut berdampak pada terhambatnya mobilitas masyarakat sehingga menurunkan aktivitas konsumsi, produksi, dan investasi secara tajam.

Aktivitas perdagangan internasional pun juga turut menurun akibat gangguan mata rantai produksi global. Di masa itu, ketidakpastian pasar keuangan global pun juga meningkat tajam sebagai dampak dari turunnya kepercayaan konsumen dan dunia usaha atas prospek perekonomian.

Tak hanya itu, krisis ekonomi tersebut juga menimbulkan kekhawatiran atas dampak rambatan selanjutnya pada stabilitas sistem keuangan, akibat menurunnya kinerja korporasi dan rumah tangga.

Pada masa awal pandemi menyergap dunia, tak sedikit negara tergagap menanganinya, termasuk Indonesia. Tercatat bahwa di Indonesia, pemerintah baru menetapkan status darurat kesehatan pada akhir Maret atau tiga bulan lebih sejak kasus pertama terdeteksi di Wuhan, China dan 29 hari setelah kasus pertama tercatat di Indonesia.

Kala itu hampir seluruh negara tersungkur di hadapan musuh yang tak terlihat tersebut. Usaha pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 menjadi suatu hal yang krusial bagi keberlangsungan kondisi perekonomian negara. Respons kebijakan yang terintegrasi dan extraordinary pun terus diupayakan oleh berbagai negara, termasuk di tingkat internasional.

Mekanisme Pasar Vs Pandemi

Adam Smith dalam teorinya menyatakan bahwa seperti alam semesta yang berjalan pada orbitnya, sistem ekonomi pun akan mampu memulihkan dirinya sendiri (self adjustment) karena adanya kekuatan pengaturan yang disebut sebagai invisible hands dalam mekanisme pasar. Yaitu, mekanisme alokasi sumber daya ekonomi berlandasarkan interaksi kekuatan permintaan dan penawaran.

Para ekonom juga sangat percaya bahwa mekanisme pasar akan menjadi alat alokasi sumber daya yang efisien tanpa campur tangan dari pemerintah. Secara konsepsi, mekanisme pasar akan memberikan sinyal jelas dan kuat bagi pelaku ekonomi untuk mengambil berbagai keputusan ekonomi seperti konsumsi, produksi, menabung atau berinvestasi.

Di atas kertas, hukum pasar tersebut begitu valid. Akan tetapi, dalam implementasi sehari-hari tak pernah ada yang mengetahui secara pasti apakah harga yang terbentuk di pasar berjalan sesuai dengan mekanisme pasar yang wajar tanpa ada unsur intervensi kelompok tertentu.

Fenomena pandemi telah memaksa pasar tak berdaya akibat adanya pembatasan berbagai aktivitas masyarakat. Pandemi yang melanda dunia juga memunculkan berbagai masalah terutama di sektor ekonomi. Meningkatnya pengangguran, kemiskinan hingga merosotnya penerimaan negara.

Problematika ekonomi tersebut berakibat pada terjadinya kegagalan pasar. Situasi ini terjadi karena pasar tidak mampu melaksanakan fungsinya untuk mengalokasikan sumber-sumber ekonomi secara efisien dalam menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa.

Pada kondisi tersebut, pasar akan menyebabkan barang maupun jasa yang dihasilkan terlalu banyak atau terlalu sedikit dalam suatu perekonomian. Fenomena lain yang terjadi adalah dibatasinya transportasi saat pandemic mengakibatkan sektor perdagangan terhambat karena distribusinya terganggu. Imbasnya, terjadi inflasi terhadap beberapa barang impor.

Pelajaran dari Pandemi

Pada 1930, seorang pakar makro ekonomi John Maynard Keynes dalam bukunya “The General Theory of Employment, Interest, and Money” mengkritik konsep pasar yang meregulasi dirinya sendiri. Melalui buku ini, Keynes mengeluarkan gagasan tentang perlunya kebijakan intervensi pemerintah.

Gagasan ini dilatarbelakangi oleh peristiwa Great Depression yang membuat tingkat pengangguran luar bisa tinggi. Keynes menyatakan bahwa cara terbaik untuk mengeluarkan suatu negara dari kondisi resesi (kondisi permintaan dan penawaran di bawah kapasitas optimal) adalah dengan melibatkan pemerintah. Terutama untuk mendorong kembali posisi permintaan dan penawaran dalam pasar melalui kebijakan belanja dan investasi.

Selain itu, untuk mengendalikan dampak sosial dan lingkungan, pemerintah juga harus mulai menekan produk-produk yang membahayakan sosial dan lingkungan dengan kebijakan pajak.

Pemerintah juga harus mengambil peranan dalam penyediaan barang-barang publik yang tidak diminati oleh sektor privat, sehingga tentunya membutuhkan sumber-sumber penerimaan. Kebijakan terkait pengeluaran dan penerimaan pemerintah inilah yang sekarang kita kenal dengan istilah kebijakan fiskal.

Kehadiran pemerintah dalam mengisi kekosongan peran pasar untuk alokasi sumber daya sangat diperlukan. Krisis kemanusiaan dan ekonomi selama pandemi memerlukan kebijakan fiskal ekspansif yang memberikan stimulus bagi perekonomian sekaligus mencegah krisis kesehatan lebih lanjut.

Masalah kesehatan dan kemanusiaan di tengah menurunnya kinerja perekonomian mendorong pentingnya stimulus fiskal harus dilakukan segera untuk menjaga kemampuan daya beli masyarakat dan berlanjutnya sisi produksi.

Namun, keperluan stimulus fiskal menghadapi tantangan pembiayaan, di tengah menurunnya penerimaan pemerintahan. Pada kondisi ini, kemampuan pengelolaan APBN yang sehat dan kredibel menjadi kunci bagi pemerintah untuk mampu memberikan dorongan sinyal positif bagi pelaku ekonomi selama pandemi.

Selanjutnya, intervensi pemerintah selama pandemi juga berfungsi membangun rasionalitas dan ekspektasi pelaku ekonomi. Kehadiran pemerintah melalui kebijakan yang konsisten sangat diperlukan untuk menumbuhkan kepercayaan pelaku ekonomi dalam melakukan berbagai aktivitas ekonomi yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.

Kita lihat bahwa pandemi telah mendorong peningkatan pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan di Indonesia. Hal ini terlihat dari angka kemiskinan pada September 2020 yang meningkat dibandingkan Maret 2020. Telebih jika dibandingkan dengan persentase dan jumlah penduduk miskin Indonesia yang sebelumnya terus mengalami penurunan selama 10 tahun terakhir. Selain itu, data menunjukkan bahwa pandemi telah meningkatkan pengangguran sebanyak 2,56 juta orang.

Akibatnya, jumlah pengangguran mencapai 9,77 juta (Agustus 2020). Melihat angka-angka tersebut, maka kehadiran pemerintah melalui berbagai kebijakan untuk mengatasi dampak sosial ekonomi, seperti menurunkan angka pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan, menjadi keharusan.

Pada umumnya pemerintah hanya akan memposisikan dirinya sebagai regulator dan supervisor, sementara untuk penyediaannya diserahkan kepada pasar (sektor privat). Akan tetapi, dalam suasana yang tidak normal dan penuh ketidakpastian, kehadiran pemerintah adalah suatu keharusan, terutama untuk menjaga kepentingan bangsa sesuai amanat UUD 1945.

Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Senin, 26 September 2022 – 07:21 WIB oleh Candra Fajri Ananda dengan judul “Kegagalan Pasar dan Pandemi”.

Scroll to Top