Kerja Keras Mendorong Pertumbuhan

Memupuk Sinergisitas Akademisi dan Pemerintah Melalui Taxation Update Series
14 November 2016
(Indonesia) ”Lampion” Viva Management
15 November 2016

Rentetan kebijakan di kuartal III 2016 akhirnya berujung pada pertumbuhan ekonomi 5,02%. Capaian ini konsisten dengan prediksi beberapa pihak yang menyatakan akan terjadi penurunan tingkat pertumbuhan dibandingkan kuartal sebelumnya.

Pada kuartal II 2016, PDB Indonesia melaju 5,19% dan untuk sementara merupakan kinerja terbaik di 2016. Kalau diakumulasikan dari kuartal I-III 2016, tingkat pertumbuhan ekonomi kita secara agregat mencapai 5,04%. Pada posisi sekarang, tugas pemerintah untuk menggenjot tingkat pertumbuhan di akhir tahun agar sesuai dengan target APBN-P 2016 sebesar 5,2% terasa lebih berat.

Dua resolusi palingvitalyangdapatdilakukanpemerintah untuk saat antara lain dengan memperkuat daya saing investasi dan performa belanja publiknya. Berdasar data Badan Pusat Statistik(BPS), hasilpertumbuhan ekonomi kuartal III lagi-lagi mengonfirmasi peran strategis sektor konsumsi sebagai tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional.

Menko Perekonomian juga menganalisis, secara agregat konsumsi nasional pada triwulan III 2016 tercatat tumbuh sebesar 4%, atau lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya, 5,2%.Konsumsi sektor swasta mampu menjaga pertumbuhannya tetap positif hingga sebesar 4,4%, meski turun tipis dibandingkan periode sebelumnya di posisi 4,5%. Namun prestasi ini tidak diimbangi dengan konsumsi pemerintah yang justru terperosok hingga minus 0,4% dan merosot jauh dari kuartal sebelumnya yang justru tumbuh 0,8%.

Efek konsolidasi fiskal yang dilakukan pemerintah sepanjang kuartal III terbukti ikut memperlemah beberapa lini pertumbuhan. Reformasi terhadap birokrasi penyerapan anggaran menjadi tidak bergemuruh karena tingkat pertumbuhan belanja pemerintah hanya tercapai 1,97%, jauh di bawah kinerja semester I pada saat tingkat pertumbuhannya mencapai 4,84%. Penurunan belanja pemerintah sebagai salah satu sumber pertumbuhan yang paling vital, memberikan dampak langsung terhadap akselerasi pertumbuhan dengan ikut memperlemah hingga mencapai 0,25%.

Pelemahan ini bisa jadi didorong oleh keputusan Menteri Keuangan yang melakukan pemangkasan anggaran sebesar Rp137 triliun, demi menjaga defisit fiskal tetap di bawah 3% PDB Indonesia. Menteri Keuangan tentu memiliki pondasi kebijakan yang kuat dengan mempertimbangkan seretnya pendapatan negara, terutama dari pajak. Hingga penghujung Oktober, Ditjen Pajak (2016) melansir realisasi penerimaan pajak baru terkumpul Rp870,95 triliun atau sekitar 64,27% dari target APBNP 2016.

Kalau dibandingkan dengan penerimaan tahun lalu, realisasi penerimaan tahun ini memangsudahlebihbaikdenganpeningkatan sebesar 13,3%. Faktor utamanya tentu bersumber dari hasil penerimaan tax amnesty yang mengumpulkan Rp94 triliundanatambahan.

Sehinggasebetulnya pemerintah masih memiliki kesempatan yang terbuka untuk mengejar target pertumbuhan, terutama melalui belanja (pengeluaran) pemerintah serta melalui penyertaan modal tetap bruto (PMTB). Pemerintah perlu tetap fokus pada upaya efisiensi dan kesinambungan anggaran belanjanya, agar modal pembangunan yang sedang cekak ini benar-benar bernilai guna tinggi terhadap target pembangunan.

Apalagi investasi sektor swasta masih sangat elastis terhadap pola belanja dan regulasi yang disusun pemerintah. Investasiswastabisamenjadi kunci pertumbuhan karena memiliki multiplier effects yang kuat terhadap output ekonomi nasional. Kondisi ketenagakerjaan dalam negeri menjadi salah satubuktiefekyangkuat hubungan antara investasi dengan output ekonomi. Kalau kita intip sejenak, posisipertumbuhaninvestasi agregat (dari swasta dan pemerintah) dalam setahun terakhir terjadi dua kali kenaikan dan dua kali penurunan.

Dalam kuartal III dan IV 2015, terjadi kenaikan pertumbuhan investasi masing-masingsebesar4,8% dan 6,9%. Output yang dihasilkan mendorong penurunan angka pengangguran pada periode Februari 2016 dari sebelumnya 6,18% menjadi 5,50%. Sedangkan pada saat kuartal I dan II 2016, pertumbuhan investasi mengalami pelemahan secara beruntun dari 6,9% menjadi 5,61%, kemudian turun lagi mendekati 5,1%. Hasilnya tingkat pengangguran kembali terkerek dari semula 5,50% menjadi 5,61% pada Agustus 2016.

Penurunan tingkat pertumbuhan investasi tersebut juga membuat banyak pihak mulai meragukan keampuhan Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) yang sudah bertumpuk sebanyak 13 jilid. Dari sisi indeks kemudahan bisnis (Index Easy Doing of Business) memang sudah meningkat dari peringkat 106 menjadi 91 dunia, tetapi dari indeks daya saing global (Global Competitiveness Index ) justru menurun dari peringkat 37 menjadi 41 dunia. Penulis sekali lagi menegaskan asumsi, paketpaket deregulasi belum mampu merestrukturisasi sektor industri dan UKM Indonesia.

Indikasinya tampak dari penurunan peran sektor industri (yang paling banyak disinggung dalam PKE) terhadap pembentukan PDB 2016. Data BPS menunjukkan, jika di triwulan II 2016 sektor industri masih menopang 20,48% struktur PDB, pada triwulan III justru lagi-lagi menurun pada angka 19,90%. Selain itu kinerja ekspor dan impor juga belum mendekati ekspektasi.

Nilai ekspor Indonesia secara kumulatif dalam kurun Januari-September 2016 mencapai USD104,36 miliar atau menurun 9,41% dibanding durasi yang sama tahun 2015. Ekspor nonmigas dari hasil sektor industri pengolahan juga turun 3,52%. Padahal 76,49% dari total ekspor kita dihasilkan dari perahan keringat sektor industri manufaktur. Dari sisi impor, dalam kurun waktu yang sama total aktivitas impor menghasilkan USD98,69 miliar atau turun 8,61% dibandingkan tahun 2015.

Penurunan impor juga menambah panjang daftar pelemahan sektor industri karena mayoritas (sekitar 74,55%) produk- produkyangdikirimdari luar negeri merupakan jenis bahan baku/penolong untuk sektor industri. Selain itu 16,27% produk impor lainnya tergolong sebagai barang modal. Padahal tingkat ketergantungan sektor industri kita terhadap distribusi impor bahan baku, bahan penolong, serta barang modal sudah sangat akut hingga berkisar 64% (Kementerian Perindustrian, 2014).

Sehingga dapat kita bayangkan bagaimana situasi runyam yang harus dihadapi oleh para pengusaha. Kalaupemerintahtidak lekas turun tangan, lama-lama mereka mau tidak mau segera gulung tikar. Nah dari sini, penulis ingin memberikan beberapa gagasan sederhana. Pertama, pemerintah perlu merancang stimulus kebijakan yang dapat merangsang investasi dalam negeri. Secara normatif, pemerintah perlu melanjutkan implementasi blue print infrastruktur yang khususnya menyentuh sarana dan prasarana transportasi (konektivitas), energi listrik, gas, serta air bersih.

Namun lagi-lagi pemerintah masih terbatas pada persoalan kelembagaan dan anggaran. Pada artikel minggu lalu, penulis sudah membahas banyak hal terkait dengan mekanisme pembiayaan anggaran untuk infrastruktur. Salah satu kuncinya, pemerintah harus mampu menggandeng pihak swasta untuk terlibat secara proporsional dalam proses pembiayaan dan operasional proyek-proyek infrastruktur.

Selain terkait dengan pengembangan infrastruktur, rancangan kebijakan berikutnya ialah yang terkait dengan indeks harga konsumen (IHK) atau yang lebih sering disebut dengan target inflasi. Tingkat inflasi harus mampu dikendalikan dalam posisi yang rendah untuk menjaga daya beli masyarakat dan mengonservasi tingkat permintaan agar tetap tinggi. Kalau posisi inflasi sudah dapat direkayasa sedemikian rupa, hampir dapat dipastikan ekspektasi produsen akan ikut terbawa arus optimistis.

Kedua, pemerintah perlu mulai membangkitkan industri- industri yang dapat berperan sebagai subtitusi produk impor. Sebenarnya ide ini sudah cukup usang untuk dibahas di Indonesia, karena kita sudah terlanjur ketagihan dengan distribusi dari luar negeri. Selain itu, penulis memprediksi target pengembangan industri ini tidak akan mudah karena berhadapan dengan “kompradorkomprador” yang selama ini menjadi agen importir. Kita harus siap untuk bersaing secara vulgar dalam hal efisiensi produk yang akan disubtitusikan. Prasarananya, perlu ada political will dari pemerintah berupa sederet insentif yang menunjang daya saing.

Selain itu masyarakat selaku konsumen (baik rumah tangga ataupun industri) perlu juga menyambut dengan gembira melalui gerakan “swadesi”. Ide swadesi dikembangkan secara pesat oleh Mahatma Gandhi dan menjadi sangat booming di India. Strategi ini menitikberatkan pada kebanggaan masyarakat lokal terhadap produk-produk domestiknya sebagai tanda berdikari. Berkaitan dengan ini, kita sangat mengharapkan masyarakat dapat mendukung kebijakan swadesi dan bersabar untuk menanti pengusaha lokal dapat segera menemukan pola efisiensi produksinya.

Ketiga, pemerintah pusat juga harus bersiap-siap adu gagasan dengan pemerintah daerah terkait dengan sinkronisasi perizinanusahadileveldaerah. Beberapa waktu laluPresidenJokoWidodo sempat uring-uringan akibat proses birokrasi di daerah yang cenderung memperlambat kinerjalayananperijinan. Hasilproses deregulasi melalui berbagai PKE menjadi kurang berarti.

Dalam perspektif penulis, mungkin saja pemerintah daerah masih enggan untuk turut menderegulasi karena takut “mengganggu” kinerja pendapatan asli daerah (PAD), terutama dari hasil retribusilayananjasaperizinan. Kalau sudah demikian, situasinya akan menjurus pada peningkatan biaya transaksi investasi serta menghambat para investor untuk masuk ke daerahnya.

Solusinya, pemerintah pusat bisa saja menawarkan produk dana transfer ke daerah (melalui Dana Perimbangan atau Dana Bagi Hasil/ DBH) yang lebih menarik, sebagai konversi (pengganti) dari PAD yang “hilang” dan seharusnya diterima oleh pemerintah daerah. Dengan demikian, meskipun sudah tampak berat untuk mengejar target pertumbuhan di sisa-sisa waktu yang ada, bukan berarti pemerintah memiliki alasan untuk diam dan pasrah.

Apalagi kapasitas fiskal kita cenderung sudah membaik seiring dengan penerimaan sementara hasil tax amnesty. Pemerintah tinggal menuntaskan aksi-aksi prioritasnya yang searah dengan visi pembangunan investasi. Selain berkutat dengan pembangunan SDM dan infrastruktur, pemerintah janganmelupakansisi- sisibirokrasi yang menurut World Economic Forum (2016) menjadi dinding pembatas efisiensi proses perijinan investasi.

Mudah-mudahanpara pemimpinkitabaikdi level pusat dan daerah mampu bekerja sama dengan baik dalam menyelenggarakan proses berpolitik yang ideal, yang menunjang visi pro poor, pro job, pro growth, dan pro environment agar terlaksana secara optimal dan berkesinambungan.

Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya