NYARIS di setiap momentum pergantian tahun selalu menyisipkan harapan dan resolusi baru. Banyak lembaga/institusi yang menyediakan beragam proyeksi ekonomi di 2017.
Hampir semuanya berada pada satu frekuensi yang sama. Rata-rata menangkap sinyal yang kuat terkait tantangan pembangunan ekonomi yang akan berjalan cukup berat. Ihwal yang mendasari keseragaman asumsi tersebut, pada umumnya menyebutkan karena kondisi perekonomian global yang belum akan stabil.
Fenomena yang ada kini semakin meyakinkan bahwa perlu ada penyegaran paradigma yang terkait dengan sistem ekonomi di Indonesia. Titik tujuannya dapat kita fokuskan pada upaya penurunan tingkat interdependensi Indonesia terhadap negara-negara lain di dunia.
Pemikiran ini bukan berarti Indonesia perlu menghilang dari peredaran perdagangan internasional secara radikal, melainkan membantu “meluruskan” semangat ketahanan ekonomi nasional agar semakin kuat dan sehat. Lantaran dampaknya bisa sangat fatal jika tidak lekas ditanggulangi, khususnya akan banyak menyinggung upaya penciptaan iklim sosial ekonomi yang superkondusif.
Kita bayangkan saja misalnya nilai tukar rupiah terus terombang-ambing, efek terdekatnya akan memengaruhi kinerja sektor industri yang ketergantungannya mencapai 64% terhadap produk impor. Ketergantungan yang tinggi dalam suplai bahan baku, bahan penolong, dan barang modal impor akan mengganggu produktivitas sektor industri nasional (Kemenperin, 2014). Isu-isu strategis seperti inilah yang perlu segera kita atasi.
Kita berada pada momentum yang pas untuk melakukan kajian ulang kebijakan ekonomi domestik. Kondisi pasar internasional yang semakin sempit dan ketat, sebenarnya selaras dengan posisi pasar dalam negeri yang perlu dijaga melalui ketahanan daya beli masyarakat.
Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah selaku stakeholder utama di Indonesia untuk menyediakan rentetan kebijakan yang mengarah pada pembangunan ekonomi yang berkualitas. Antara lain, dengan menyediakan lapangan kerja yang dinamis dengan jumlah angkatan kerja, proses birokrasi yang efisien, alokasi anggaran yang tepat, serta aturan/regulasi yang sifatnya lebih mapan.
Tahap-tahap strategis bisa pemerintah awali dengan mengamati kinerja beberapa sektor ekonomi yang berdampak besar terhadap indikator pembangunan Indonesia. Prioritas ini bukan berarti menegasikan peran sektor-sektor yang lain, namun kita anggap strategi ini sebagai “jalan pintas” yang dapat mengantarkan pada langkah konvergensi berikutnya.
Kalau dilihat berdasarkan struktur kontribusi produk domestik bruto (PDB) dan jumlah tenaga kerja yang terlibat, maka pemerintah perlu menggenjot kinerja dari sektor industri pengolahan, pertanian (dalam arti luas), dan perdagangan sebagai lini utama pembangunan. Terkait dengan pengembangan industri pengolahan dan pertanian, keduanya memiliki masalah yang cukup pelik pada aspek kelembagaan yang menunjang daya saing, serta pasar input dan output yang sangat terbatas. Akibatnya kondisi kedua sektor tampak sulit mengulang kejayaan di era 80-an.
Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya