FEB UB White Teks (1)

Recent Posts

Categories

Paradoks Persaingan Usaha Industri

Pasar merupakan mekanisme pertukaran produk (barang/jasa) yang alamiah dan telah berlangsung sejak awal peradaban manusia. Pasar mempunyai bentuk yang berbeda-beda, di mana bentuk pasar dipengaruhi oleh struktur pasar. Struktur pasar yang kompetitif adalah struktur pasar yang ada di dalamnya sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk memengaruhi harga dan jumlah barang di pasar.

Realitanya, pasar tidak dapat berjalan sendiri tanpa ada campur tangan dari pemerintah. Terjadinya kegagalan pasar akibat ketidakmampuan pasar dalam menjalankan fungsinya merupakan alasan utama diperlukannya kehadiran pemerintah.

Seberapa besar intervensi pemerintah sangat tergantung pada kondisi masing-masing negara. Tidak terdapat teori yang secara khusus digunakan untuk memutuskan sejauh apa intervensi pemerintah dalam perekonomian. Kendati demikian, intervensi pemerintah yang melebihi kapasitas bisa menghasilkan hasil yang beragam, seringnya menyebabkan distorsi ekonomi.

Secara tidak langsung, intervensi pemerintah yang berlebih dapat juga berdampak hingga pada persaingan usaha dalam sektor tertentu. Secara teori, persaingan usaha dapat ditelaah melalui penentuan strategi perusahaan dalam bersaing.

Namun, dalam praktiknya, persaingan usaha juga sangat dipengaruhi oleh berbagai kebijakan pemerintah atau kebijakan publik. Sayangnya, dalam perkembangannya tidak sedikit kebijakan yang menyangkut sektor usaha yang diwarnai dengan berbagai kepentingan dari pihak tertentu.

Berkaca pada zaman Orde Baru, persaingan usaha menjadi terdistorsi akibat berbagai kebijakan pemerintah yang menimbulkan terjadinya praktik monopoli dan oligopoli. Pada saat itu kesempatan yang diperoleh oleh industri kecil untuk mendapat akses dan masuk industri dan pasar yang ada sangat minim. Sehingga, hanya para pelaku usaha bermodal kuatlah yang dapat masuk dan menguasai pasar.

Terbatasnya jumlah perusahaan ada di dalam pasar merupakan suatu bukti nyata bahwa perusahaan-perusahaan baru akan sulit untuk masuk ke pasar monopoli maupun oligopoli. Produksi barang dalam pasar monopoli maupun oligopoli menunjukkan biaya rata-rata yang menurun pada berbagai tingkat output.

Perusahaan yang relatif besar akan lebih efisien dibandingkan dengan perusahaan kecil. Setelah monopoli atau oligopoli terbentuk, perusahaan lain yang ingin masuk akan menemui kesulitan karena setiap perusahaan baru akan memproduksi output pada tingkat yang rendah dan oleh karena itu biaya rata-ratanya menjadi relatif tinggi. Adapun salah satu dasar teknik yang dibutuhkan oleh perusahaan untuk bertahan dalam pasar monopoli adalah pengetahuan khusus mengenai metode produksi berbiaya rendah (low-cost).

Kasus IHT

Tidak sedikit dari industri hasil tembakau (IHT) dalam sepuluh tahun terakhir yang mengalami kebangkrutan karena kebijakan pemerintah maupun kekalahan dalam persaingan. Para pengusaha industri rokok kecil menilai bahwa cukai sudah terlalu tinggi sehingga tidak sepadan dengan biaya produksi yang dikeluarkan.

Jika pemerintah melakukan simplifikasi golongan dan kuota kombinasi, maka para pengusaha rokok berskala menengah-bawah akan “dipaksa” mengikuti cukai dan harga jual produk rokok berskala tinggi. Sehingga, kebijakan simplifikasi golongan dan kuota kombinasi ini menghadapkan pabrik-pabrik rokok pada persaingan yang kian ketat atau keras.

Kebijakan simplifikasi golongan dan kombinasi kuota memicu terjadinya kondisi pasar persaingan yang tidak seimbang antara berbagai pelaku usaha di dalam pasar, khususnya produsen rokok besar dan kecil. Sehingga, tidak menutup kemungkinan bahwa kebijakan tersebut menjadi suatu senjata tersendiri yang akan digunakan oleh para produsen rokok besar untuk memperoleh posisi yang lebih kokoh di pasar. Pelaku usaha kecil yang tidak bisa bersaing akan tersingkirkan.

Kebijakan simplifikasi golongan dan kuota kombinasi dapat melemahkan pabrik rokok yang tidak efisien maupun skala produksinya terbatas. Berdasarkan hasil simulasi yang dilakukan, kebijakan simplifikasi golongan rokok akan secara langsung berdampak pada penurunan jumlah produksi rokok secara nasional sebesar 1%-2% dan secara khusus dapat menurunkan jumlah produksi rokok golongan kecil hingga 19%.

Pertanyaan lebih lanjut tentunya adalah bagaimana perubahan terhadap penerimaan negara melalui cukai hasil tembakau (CHT) ketika jumlah produksi rokok menurun. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kebijakan simplifikasi golongan dapat berdampak terhadap penurunan penerimaan cukai hingga 2%.

Hasil tersebut sejalan dengan data historis yang menunjukkan bahwa angka rata-rata tingkat pertumbuhan penerimaan CHT sesudah ada simplifikasi golongan rokok mengalami penurunan dibandingkan dengan sebelum ada simplifikasi golongan. Data menunjukkan bahwa pada 2010-2013 rata- rata tingkat pertumbuhan penerimaan CHT sebesar 18%. Namun, setelah ada kebijakan simplifikasi golongan pada 2012, rata-rata tingkat pertumbuhan penerimaan CHT pada 2014-2017 hanya sebesar 9%.

Pemerintah perlu kembali mempertimbangkan konsep dasar dari persaingan usaha yang sehat agar tidak melibatkan skala usaha dalam pengaturan cukai. Skala usaha berkaitan erat dengan jumlah modal yang dimiliki oleh setiap perusahaan.

Sehingga, jika menggunakan pendekatan modal, justru akan semakin menjauhkan pemerintah dari konsep pajak yang berkeadilan. Padahal, dalam cukai yang menjadi objek adalah pengendalian produksi barang, bukan besar-kecilnya modal perusahaan.

IHT merupakan industri yang memiliki jenis produk yang kompleks dengan berbagai jenis skala usaha di dalamnya. Di sisi lain, IHT adalah produk yang menimbulkan eksternalitas negatif sehingga memerlukan pengendalian dalam penggunaannya. Namun, tak dapat dipungkiri pula bahwa IHT hingga kini adalah penyumbang penerimaan cukai terbesar bagi pemerintah.

Sebab itu, pemerintah benar-benar perlu mempertimbangkan dengan bijak misalnya dengan sudah saatnya pemerintah kini perlu segera membuat roadmap yang disusun secara partisipatif dan melibatkan berbagai stakeholder untuk kepentingan negara, perekonomian nasional, serta kesinambungan dalam jangka panjang.

Candra Fajri Ananda Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

Scroll to Top