FEB UB White Teks (1)

Recent Posts

Categories

Spirit Memperkuat Ekonomi Domestik

Candra Fajri Ananda

Staf Khusus Menteri Keuangan RI

Jamais Cascio (2020), seorang antropolog Amerika melihat situasi saat ini sebagai BANI, sebuah kondisi Brittle atau mudah pecah, Anxiety atau keadaan yang mengkhawatirkan, N untuk Non-linear atau random, dan Iatau Incomprehensible atau tidak menyeluruh dipahami.

Ekonomi dunia diprediksi menghadapi perlambatan pada 2023. Seperti disampaikan Dana Moneter Internasional (IMF) yang memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini menjadi 2,7% dari sebelumnya 2,9% yang diramalkan pada Juli lalu.

Sebelumnya, Januari 2022 lalu IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun ini bisa 3,8%. Dalam laporan World Economic Outlook (WEO) 2022, IMF memperingatkan memburuknya prospek ekonomi global serta lonjakan inflasi yang terjadi dalam beberapa waktu lalu dapat memperparah kondisi ekonomi dunia.

Pukulan terhadap ekonomi dunia juga kian berat tatkala perang Rusia vs Ukraina masih memanas. Faktor lain, kondisi perlambatan ekonomi di China akibat melemahnya pasar properti dan kembali meningkatnya sebaran Covid-19.

Melihat situasi ekonomi dunia kian menantang, Indonesia perlu waspada, meski perekonomian Indonesia relatif less connected dengan global. Bank Dunia memproyeksikan perekonomian Indonesia tahun ini tumbuh melambat dibandingkan 2022 sejalan. Lembaga itu memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5,1% menjadi 4,8% pada 2023.

Resiliensi Industri dan UMKM

Tatkala pelemahan ekonomi dunia terjadi, ekspor Indonesia akan terganggu karena berkurangnya permintaan. Aktivitas perdagangan di sejumlah negara maju yang melemah akan memengaruhi perdagangan di negara berkembang yang mengandalkan ekspor-impor. Diketahui, ekspor di Indonesia berkontribusi 23% terhadap pertumbuhan ekonomi di kuartal I/2022.

Alhasil, turunnya ekspor akibat pelemahan ekonomi global akan memangkas Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Oleh sebab itu, saatnya kini bagi Indonesia untuk bersiap sekaligus berbenah dengan memberikan dorongan bagi sektor-sektor yang memiliki resiliensi tinggi dalam menghadapi resesi.

Secara umum, perlambatan kondisi pasar global dan penurunan daya beli masyarakat akibat inflasi akan menjadi faktor yang memengaruhi perkembangan sektor-sektor ekonomi, termasuk berimbas pada ketenagakerjaan. Saat ini, sejumlah perusahaan di berbagai daerah dilaporkan telah mulai mengurangi kapasitas produksi dan melakukan pengurangan jam kerja karyawan.

Salah satu alasannya adalah permintaan dari luar negeri yang melemah dan ini berimbas pada ancaman terjadinya gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tampaknya tengah berada di depan mata.

Maka, pemerintah perlu mendorong sektor-sektor ekonomi yang memiliki nilai tambah lebih dengan basis bahan baku lokal yang kuat, mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar, hingga memiliki pangsa pasar domestik yang tinggi. Kita melihat bahwa industri pengolahan yang padat karya dan banyak menggunakan input dalam negeri hingga Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dapat menjadi penopang utama roda perekonomian nasional untuk terus berputar meski tekanan resesi semakin kuat.

Perekonomian Indonesia sebagian besar didorong oleh konsumsi rumah tangga dan salah satu industri yang berkembang pesat adalah industri makanan dan minuman. Capaian kinerjanya selama ini tercatat konsisten terus positif.

Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor penting yang menunjang kinerja industri pengolahan nonmigas. Pada kuartal I/2022, industri mamin menyumbang lebih dari sepertiga atau 37,77% dari PDB industri pengolahan nonmigas.

Selain itu, industri pengolahan lainnya yang juga sejatinya perlu didorong pemerintah untuk mampu menjadi penyelamat ekonomi negara tatkala ancaman resesi global menghampiri adalah industri hasil tembakau (IHT). Industri hasil tembakau merupakan salah satu industri yang sejatinya dapat menyelamatkan Indonesia dari ancaman resesi global mengingat kontribusinya yang sangat besar terhadap ekonomi Indonesia.

Ini karena Industri pengolahan tembakau merupakan satu-satunya industri nasional yang terintegrasi dari hulu sampai hilir dalam jumlah yang besar. Industri hasil tembakau dengan kontribusinya terhadap PDB sebesar 2,5% mampu memberikan output multiplier index sebesar 1,51 dan income multiplier index sebesar 1,55. Kedua nilai multiplier index tersebut lebih besar dari sektor trading, financial services, dan transportasi equipment.

Di luar sektor industri ini, UMKM juga merupakan sektor usaha yang mempunyai resiliensi kuat dalam menghadapi ancaman resesi global. UMKM Indonesia berperan strategis dalam membentuk fondasi kokoh perekonomian Indonesia dan telah terbukti mampu bertahan dari berbagai guncangan ekonomi.

Melihat jumlah UMKM di Indonesia yang mencapai ±65 juta unit atau sekitar 99% dari jumlah usaha yang ada di Indonesia, maka tak heran bila UMKM mampu menyerap hingga 97% tenaga kerja dan memberi sumbangsih sebesar 60,3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Dinamika Logistik Indonesia

Penguatan dan pengembangan pada industri pengolahan maupun UMKM sejatinya juga perlu diawali dengan penguatan daya saing ekonomi di Indonesia. Ironisnya, saat ini peringkat daya saing Indonesia mengalami tren penurunan, terutama di 2022. Laporan Institute for Management Development (IMD) World Competitive Year Book 2022 menyebutkan, daya saing Indonesia saat ini berada di posisi ke-44, turun dibanding tahun 2021 yang ada di posisi 37.

Peringkat tersebut menjadi yang terendah sejak lima tahun terakhir atau tahun 2018. Peringkat tersebut diukur dari beberapa indikator yaitu performa ekonomi, efisiensi pemerintahan, efisiensi bisnis, dan infrastruktur. Selain itu, dalam indikator efisiensi pemerintahan, urutan Indonesia juga menurun ke posisi 35 pada 2022 dari peringkat ke-26 pada 2021. Tak hanya itu, peringkat efisiensi bisnis pun mengalami penurunan ke posisi 31 dari sebelumnya ke-25 pada 2021.

Biaya logistik merupakan faktor yang sangat memengaruhi daya saing perusahaan dan negara. Sektor ini di Indonesia terbilang mahal yakni masih di kisaran 23,5% PDB. Negara Asia lainnya yang memiliki biaya logistik tinggi adalah Vietnam (20%), Thailand 15%, dan China (14%). Sementara itu, biaya logistik di Malaysia, Filipina, dan India sebesar 13% terhadap PDB. Sedangkan Taiwan dan Korea Selatan masing-masing 9%. Adapun di Singapura dan Jepang 8% terhadap PDB.

Di Indonesia, permasalahan mahalnya biaya logistik terutama terjadi di wilayah Indonesia bagian timur. Hal ini disebabkan tidak meratanya pembangunan infrastruktur di beberapa daerah.

Oleh sebab itu, kini saatnya pemerintah perlu memperbaiki sistem logistik nasional agar mampu mendorong roda ekonomi nasional tetap berputar meski terjadi gejolak ekonomi. Peningkatan efisiensi logistik dan rantai pasok akan berdampak terhadap penurunan harga produk dan komoditas dan meningkatkan kelancaran aliran barang, berarti sekaligus mencegah inflasi. Semoga.

Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Senin, 02 Januari 2023 – 08:08 WIB oleh Candra Fajri Ananda

Scroll to Top