Konfidensi Mengarungi Ketidakpastian

BEST BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2018 KABINET DEDIKASI HARMONI
15 December 2018
ASPIRATION DAY DPM FEB UB 2018
25 December 2018

Tahun 2019 menjadi salah satu periode yang amat menentukan, khususnya karena fase terakhir periode pertama pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).

Aktivitas ekonomi, sosial, dan politik akan mencapai titik kulminasinya pada 17 April 2019 nanti. Pada masa tersebut seluruh kegiatan kita akan terhenti sejenak untuk sebuah agenda politik besar: pemilihan umum (pemilu) serentak untuk menentukan siapa yang kelak akan menjadi nakhoda bangsa kita. Kita akan memilih siapa yang akan menjadi pimpinan negara dalam lima tahun mendatang, tidak hanya presiden dan wakil presiden, melainkan juga melibatkan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari jenjang pusat (DPR RI) hingga daerah (DPRD provinsi dan kabupaten/kota).

Proses pemilihan ini sekaligus akan menentukan arah jalan pembangunan nantinya akan dibawa ke mana karena setiap calon pemimpin akan memiliki gaya-gaya pemikiran, pendekatan politik, dan pola kepemimpinan yang khas. Setiap pemimpin perlu kita kuliti bagaimana visi-misi serta rekam jejaknya sebagai bahan pertimbangan pilihan. Satu waktu di tempat pemungutan suara (TPS) akan menjadi langkah penting untuk proses pembangunan negara minimal untuk lima tahun mendatang. Dalam kondisi eksisting, terdapat beberapa capaian pembangunan yang relatif membanggakan, khususnya pada 2018 ini. Di tengah badai ketidakpastian yang terus bermunculan dari berbagai arah, kita masih mampu mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi secara meyakinkan.

Secara kumulatif pertumbuhan ekonomi kita hingga triwulan III-2018 masih mencapai 5,17% (cto- c ). Perolehan tersebut masih lebih tinggi daripada periode yang sama pada 2017 yang hanya mencapai 5,03%. Jika proses berikutnya berjalan lancar, sangat mungkin akhir tahun ini kita akan tumbuh sekitar 5,2%, di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi negara ASEAN yang diproyeksikan Asian Development Bank berada di kisaran 5,1%. Indikator-indikator sosial lain pun prospeknya kian cerah setelah terjadi perbaikan dari sisi struktural. Berdasarkan data-data BPS (2018), tingkat kemiskinan berhasil diturunkan secara gradual hingga pada Semester I-2018 hanya tersisa 1 digit (9,82%).

Tingkat pengangguran terbuka (TPT) juga berhasil menurun dari 5,50% pada Agustus 2017 menjadi 5,34% pada Agustus 2018. Pekerja di sektor informal berhasil diturunkan 0,19%, meskipun saat ini jumlahnya masih cukup banyak dengan agregat 70,49 juta (56,84%). Angka ketimpangan yang direfleksikan dengan indeks Gini juga mampu diredam hingga sekarang tersisa 0,389 basis poin pada semester I-2018. Pada periode semester II- 2017 indeks Gini kita masih berada pada 0,391 basis poin. Peringkat daya saing internasional kita juga berhasil diperbaiki dari posisi 47 menjadi 45 dunia (dari 140 negara).

Prestasi tersebut bersumber dari survei terbaru World Competitiveness Index yang dirilis World Economic Forum pada Oktober 2018 kemarin. Tidak kalah menariknya adalah prestasi pemerintah di sektor fiskal. Pendapatan negara per 30 November 2018 kemarin tumbuh 18,2% dibandingkan periode yang sama di 2017 (year on year ). Angka realisasinya sudah mencapai Rp1.654,5 triliun atau setara dengan 87,3% dari target APBN 2018 sebesar Rp1.894,7 triliun. Penerimaan perpajakan sebagai tulang punggung utama pendapatan negara sudah menembus angka Rp1.301,4 triliun atau setara 80,4% dari target APBN. Berkat kondusifnya realisasi target pendapatan negara, kita bisa sedikit lega dengan potensi defisit fiskal yang sementara ini bisa ditahan hingga hanya 1,95% dari PDB.

Kendati demikian, kita juga masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang perlu terus dilakukan. Defisit transaksi berjalan secara kumulatif masih tergolong tinggi dengan nilai 2,86% dari PDB. Untuk memperbaikinya, pekerjaan yang paling penting adalah bagaimana penerimaan mata uang asing yang ditukarkan dengan rupiah bisa terus meningkat. Kuncinya terletak pada bagaimana agar perdagangan net ekspor kita bisa surplus. Untuk itu sektor riil (terutama industri) perlu diupayakan agar terus berkembang dan meningkat daya saingnya hingga nanti bermuara pada penguatan peluang ekspor. Sama halnya dengan sektor pariwisata. Kita perlu mengelola dengan lebih kreatif lagi agar jumlah dan lama kunjungan wisatawan bisa kian meningkat hingga mendorong spending yang lebih banyak.

Untuk saat ini dari empat faktor pengembangan pariwisata yang terdiri atas attraction (atraksi), accessibility (aksesibilitas), amenity (fasilitas pendukung), dan ancillary (kelembagaan/organisasi) mayoritas masih dikelola secara parsial dan tradisional. Kita perlu agar integrasi antarwilayah dan antarsektor penunjang bisa kian diperkuat sehingga daya tawar pariwisata kita bisa semakin ditingkatkan. Ihwal penguatan rupiah yang akhir-akhir terjadi lebih banyak dikarenakan faktor pasar uang internasional yang kembali kondusif, setelah pembicaraan Amerika Serikat dan China seputar perang dagang di antara keduanya di arena pertemuan G-20.

Jadi, kita belum waktunya berleha-leha karena “prestasi” tersebut bukan karena faktor internal kita (khususnya ekspor) yang tengah menguat. Selain itu, transformasi struktural kita belum cukup membanggakan, misalnya ekspor yang mengarah kepada pemasaran produk sekunder (olahan) yang masih terbatas. Faktor penting lainnya terkait pengelolaan fiskal untuk mengarungi waktu yang akan datang. Kenaikan penerimaan pajak saat ini sangat perlu diikuti dengan adanya perbaikan administrasi pajak, khususnya dari sisi kemudahan pembayaran pajak. Jadi, intensifikasi pajak sangat dibutuhkan ketika objek pajak semakin terbatas dan belum ada agenda struktural yang mendorong perluasan tax base yang baru.

Pengembangan transaksi elektronik yang relatif pesat saat ini perlu ditindak – lanjuti dengan dukungan administrasi elektronik yang kompatibel dengan perkem – bangan dunia usaha. Jadi, biar pelayanannya semakin progresif menuju modernitas mengimbangi dinamika dunia usaha. Untuk mengarah ke sana, ada faktor penting berikutnya, yakni akselerasi pembangunan sumber daya manusia (SDM) di sektor perpajakan. Sistem adminis trasi yang baik (efektif dan efisien) tidak terlepas dari faktor SDM di dalamnya. Karena sekali lagi, yang menjalankan dan menegakkan sistem administrasi adalah SDM. Konsis tensi kebijakan yang diberlakukan perlu diperkuat.

Secara umum, layan an pajak perlu terus ditingkatkan dan diperbaiki, termasuk dalam hal ini di sektor cukai. Dukungan penguatan modal sosial, SDM per – pajak an, dan pema haman objek pajak akan arti pentingnya pajak bagi negara sangat berguna di dalam akselerasi reformasi perpajakan yang saat ini terus dilakukan. Kita memiliki banyak tantangan yang membuat potensi pajak yang semestinya kita terima menguap begitu saja. Rakyat sebagai fiskus pajak sangat terpengaruh dengan isu-isu pengelolaan pajak dalam hal peningkatan ketaatan pajak (tax compliance ), terutama menyangkut skema belanja yang menggunakan pajak serta kasus-kasus korupsi.

Dalam hal pengentasan kasus korupsi, tentu bukan otoritas SDM perpajakan. Tetapi, pada faktor-faktor compliance lain sangat bergantung pada kreativitas SDM perpajakan, seperti bagaimana membangun sosialisasi yang menarik, customer services yang memudahkan pelayanan, serta metode agar meyakinkan publik bahwa setiap sen pajak yang mereka bayarkan akan bermanfaat terhadap pembangunan negara. Sekarang kita beralih pada pembangunan sektor bisnis. Perbaikan dan pembangunan infrastruktur yang digenjot secara masif oleh pemerintah perlu diimbangi dengan mekanisme kelembagaan yang mumpuni untuk menurunkan biaya logistik secara signifikan.

Hal-hal yang membuat biaya operasional logistik meningkat (misalnya kemacetan, pungutan liar di jalan dan ruang bongkar-muat) sedikit banyak telah memengaruhi perspektif bisnis di Indonesia. Dengan demikian, pembangunan infrastruktur perlu dibarengi dengan kemanfaatan (benefit ) yang lebih riil dan mendorong perluasan pembangunan ekonomi. Jadi, infrastruktur perlu diberdayakan tidak hanya sebagai komoditas politik yang menunjukkan arah keberpihakan, melainkan juga perlu diisi dengan kegiatan-kegiatan yang kinerjanya jauh lebih meyakinkan setelah adanya pembangunan infrastruktur. Pekerjaan rumah lainnya adalah ketimpangan daerah yang relatif tinggi.

Kendati dana transfer ke daerah dan desa (TKDD) setiap tahunnya mengalami kenaikan, faktanya belum tampak adanya pergeseran struktural yang mengarah pada pemerataan hasil pembangunan antardaerah. Indeks Williamson bisa menjadi ukuran ketim pangan pendapatan untuk meng analisis se berapa be sar kesen – jangan antar wilayah/daerah. Berdasarkan simulasi Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas, 2018) yang dilakukan dengan data 2017, praktis ketimpangan antardaerah (baik antarprovinsi maupun antarkabupaten/ kota) masih tampak sa ngat tinggi. Dengan menggunakan data PDRB per kapita, dari 2010- 2017 indeks Williamson untuk kategori provinsi berada di kisaran 0,60-0,80.

Adapun untuk daerah kabu pa – ten/kota ang kanya jauh lebih tinggi lagi di kisaran 1,10-1,20. Hal yang sedikit melegakan adalah trennya yang terus menu run, mes – ki pun hanya pe nu runan tipis. Ber da sarkan data tersebut, ke depan hal yang perlu kita perhatikan adalah pola belanja pemerintah daerah agar mampu menjadi solusi pem – bangunan, bukan malah menambah masalah. Hal yang penting bukan berapa banyak dana yang ditransfer pemerintah pusat ke daerah, tetapi bagaimana agar dana tersebut bisa dibelanjakan secara efektif dan tepat untuk meningkatkan kualitas pemba ngunan di daerahnya.

Masalah umum yang kerap terjadi, tampak memang konsentrasi pendanaan untuk belanja pegawai yang tergolong besar, sementara alokasi untuk belanja produktif masih terbatas. Dalam konstelasi itu, sinkronisasi kebijakan antara pusat dan daerah juga perlu terus ditingkat kan, misalnya insentif bagi daerah-daerah yang melakukan kerja sama pembangunan (self initiative ) sehingga mampu menurunkan biaya transaksi, tetapi memperbesar manfaat (spill over ) bagi daerah sekitarnya. Sekali lagi, kita harusnya percaya diri menghadapi tahun 2019 ini, mengingat capaian 2018 yang membanggakan.

CANDRA FAJRI ANANDA
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya