Dalam sejarah pemikiran ekonomi dunia, era Merkantilisme yang dimulai sejak abad ke-16 mungkin menjadi tonggak terbesar yang memengaruhi aktivitas ekonomi dan politik global di masa kini.
Interaksi dan ekspansi antarnegara untuk tujuan efisiensi ekonomi telah menjadi pilihan utama meskipun pada akhirnya sempat kebablasan hingga negara-negara maju berevolusi menjadi kaum penjajah dan bukan lagi menganggap negara kecil yang kaya sumber daya alam (SDA) sebagai mitra perdagangannya (saling menguntungkan). Pada era Merkantilisme, ada dua kebijakan utama yang dianggap memengaruhi besar kecilnya kesejahteraan negara, yakni surplus perdagangan dan jumlah gundukan logam mulia (terutama emas) yang mereka kuasai.
Dalam praktiknya, mereka pada saat itu amat terfokus memenuhi teori tersebut dengan berekspansi kolonial ke negara-negara penyedia input produksi yang melimpah dan paling murah di seluruh pelosok dunia. Hasil produksi mereka jual ke sesama negara Eropa yang berani menawarkan harga beli relatif tinggi. Surplus perdagangan antarnegara sebagai tujuan utama dari perdagangan yang mereka lakukan.
Pada saat logam mulia menjadi alat transaksi perdagangan antarnegara, maka negara yang memiliki cadangan emas dan perak terbanyak dianggap paling kaya dan sejahtera. Model kebijakan tersebut pada akhirnya dikritik keras oleh David Hume dengan teori Price-Specie Flow Mechanism yang mengatakan bahwa melimpahnya logam mulia justru akan menimbulkan inflasi luar biasa dan bahkan kemudian justru meningkatkan arus impor ke dalam sebuah negara.
Pemikiran David Hume kemudian dilanjutkan dengan masa Revolusi Industri yang dimulai hampir bersamaan dengan lahirnya teori- teori klasik. Meskipun mulai menggeser semangat menumpuk jumlah logam mulia yang melimpah sebagai patokan kesejahteraan sebuah negara, pemikiran Hume maupun Adam Smith tetap tidak mampu menghilangkan karakter ”tamak” dari sebuah negara untuk menguasai faktor-faktor produksi.
Pola ini kemudian terus berkembang menjadi mainstream bagi mayoritas negaranegara maju di Eropa saat itu. Indonesia sudah memiliki pengalaman yang sangat pahit terkait dengan prinsip Merkantilisme itu sebagai negara yang memiliki kekayaan SDA melimpah- ruah menjadi destinasi favorit bagi negara-negara Eropa. Bahkan Belanda sangat ”kerasan” menjajah bangsa kita hingga 3,5 abad. Kita begitu lama terpisah dengan ide kemandirian dan kesejahteraan ekonomi.
Kaum pribumi di Indonesia justru sering terinjak akibat perang penguasaan SDA yang (mungkin) hingga saat ini masih dikangkangi kapitalis luar negeri. Apakah kita (pemerintah dan rakyat) harus terus bersabar dan masih akan terus berdiam diri? Penulis jawab tidak! Masih banyak kesempatan bagi kita untuk memperbaiki kondisi ekonomi agar lebih berpihak pada kesejahteraan rakyat meski perekonomian kita tengah memasuki masa Sturm und Drang sekaligus masih banyak diisi oleh gonjang- ganjing politik.
Sebagai negara yang sangat dipengaruhi paham Keynesian, peran pemerintah dalam pembangunan Indonesia tidak dapat dikategorikan dalam level minor, terlebih pada jenis-jenis kebutuhan publik yang memang belum mampu disediakan oleh sektor swasta. Peran belanja (konsumsi/pengeluaran) pemerintah menjadi tulang punggung utama pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Termasuk peran penting investasi pemerintah seperti terlihat dari angka pembentukan modal tetap bruto (PMTB) dalam wujud pengembangan infrastruktur menjadi komponen daya saing dalam negeri yang sangat penting.
Dari sisi lingkungan birokrasi dan regulasi, pemerintah diminta untuk terus meningkatkan kehadirannya dalam pembangunan ekonomi, khususnya melalui kebijakan moneter maupun fiskal yang lebih berpihak pada kepentingan ekonomi dalam negeri. Tentu saja keseluruhan program dan kebijakan untuk mewujudkan kemandirian tersebut membutuhkan dana, pembiayaan serta komitmen bangsa kita yang tidak boleh setengah-setengah. Kita perlu merapikan langkah dan perjuangan bersama.
Tax Amnesty: Ada Harapan
Beberapa hari lalu, sempat muncul sinyal-sinyal positif bahwa program tax amnesty akan sukses seiring hadirnya taipantaipan domestik yang mengajukan pengampunan pajak. Tepat dua minggu sebelum tahap pertama program ini diakhiri, publik sempat geram dengan ”gebrakan” dari Singapura yang ingin menghambat penarikan dana tebusan dan repatriasi untuk kembalikeIndonesia.
Kali ini mereka menggunakan kalangan perbankannya untuk menjadi aktor drama bersama dengan kepolisian khusus kejahatan di bidang keuangan (Commercial Affairs Department/CAD) Singapura. Meskipun Menteri Keuangan Singapura dan Otoritas Moneter Singapura (Bank Sentral Singapura/MAS) dengan tegas membantah negaranya berusaha menghambat kesuksesan tax amnesty di Indonesia, kita tetap perlu siaga terhadap gerakgerik politik yang terus berkembang.
Karena bisa jadi pergerakanuangdari WNIyangtersimpan di sana akan memutar pendulum perekonomian di Singapura. Singapura masih sangat membutuhkan dukungan keuangan dari WNI yang konon menurut Reuters mencapai USD200 miliar (sekitar Rp2.630 triliun). Jika dirasiokan, jumlah dana tersebut sekitar 40% dari total aset perbankan di Singapura. Dana WNI yang tersimpan di perbankan Singapura sangat berperan untuk sektor kredit investasi mereka serta ikut menambah pundipundi penerimaan pajak Singapura.
Logika yang sama digunakan pemerintah kita yang tengah sesak napas akibat ruang fiskal yang sempit, yang didorong seretnya penerimaan negara dan iklim bisnis yang belum betul-betul pulih dari ”penyakit endemik”. Sepertinya faktor uang (modal) akan kembali menjadi penjajah modern bagi negara-negara yang serbaberkekurangan sumber daya finansial seperti Indonesia.
Untuk sementara ini, Ditjen Pajak melaporkan total penerimaan negara dari pajak per 13 September 2016 baru mencapai Rp656,11 triliun (sekitar 49,75% dari target APBN-P 2016). Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2015, penerimaan pajak tumbuh sekitar 4%. Peningkatan ini banyak dikatrol oleh penerimaan dari tax amnesty yang pada tanggal tersebut masih mencapai Rp9,31 triliun.
Adapun pada perkembangan terbaru hingga tanggal 17 September 2016, total dana tebusan tax amnesty sudah meningkat menjadi Rp16,4 triliun (9,94% dari target). Jika tax amnesty urung menjadi alternatifpenerimaanterbaik, isunya pemerintah akan lagi-lagi melakukan utang luar negeri. Sekarang mungkin yang perlu dipikirkan bagaimana win-win solutions yang ideal agar tidak menimbulkan ketegangan diplomatis antara Indonesia dengan negaranegara lain (terutama Singapura).
Apalagi sekitar 85% pergerakan tax amnesty luar negeri berasal dari Negeri Singa tersebut. Apakah perjalanan tax amnesty perlu diiringi perjanjian khusus pada level-level tertentu, misalnya dengan Singapura? Sepertinya memang iya. Selain itu, ada beberapa catatan kecil untuk melengkapi kebijakan pemerintah selanjutnya. Kalau kita sekali lagi memutar jarum waktu pada era Merkantilisme pada topik ini, akan tampak adanya interaksi yang saling memengaruhi, ada pula perlombaan antarnegara yang kali ini akan tersentra pada kapasitas putaran di sektor keuangan.
Persaingan antarnegara tidak lagi fokus pada surplus perdagangan, tetapi penguasaan pada sumber daya baik itu yang sudah tercipta (unrenewable) maupun yang bisa diciptakan (renewable) melalui kerja sama, atau investasi antarnegara, penguasaan pasar uang dan hal tersebut semakin mudah saat semua pasar uang dunia semakin terintegrasi. Untuk itu, beberapa hal yang perlu pemerintah lakukan untuk mengantisipasi kejadian dengan Pemerintah Singapura adalah sebagai berikut.
Pertama, pemerintah perlu rajin memantau situasi hukum dan politik di negara-negara partner bisnis yang diindikasikan banyak menyimpan aset WNI. Hal ini untuk mengantisipasi isu kebijakan yang serupa dari Singapura yang bisa saja terjadi untuk menghambat jalannya tax amnesty.Menteri Keuangan kali ini bisa bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri untuk melakukan ”spionase” secara berkala.
Kedua, perlu ada penguatan modal sosial dengan para taipan dan pengusaha besar melalui forum atau kelompok pengusaha (seperti Kadin, Apindo, Hipmi) agar berpartisipasi dalam program tax amnesty.Apalagi minggu lalusudahadabeberapapengusaha kakap yang mengikuti program ini. Bisa jadi setelah ini akan memancing banyak wajib pajak besarlainnya untukterlibataktif, kalau istilah orang Jawa bisa mendorong getok tular.
Dan tentu saja kita berharap interaksi antara pemerintah dan kelompok pengusaha bisa membuka jalur komunikasi yang lebih efektif serta terbuka dengan informasiinformasi baru yang lebih strategis. Penulis menganggap adanya tax avoidance dan tax evasion salah satunya bisa disebabkan munculnya asymmetric information sehingga pengusaha tidak terlalu yakin setiap pajak yang dibayarkan akan melahirkan benefit tersendiri bagi mereka (pengusaha) dan masyarakat umum lainnya.
Pola ini juga bisa lebih efektif untuk membentengi kalangan wajib pajak dari ”hasutanhasutan” negara lain agar mengabaikan program tax amnesty. Dan ketiga, pemerintah tidak cukup menawarkan konsep modal sosial hanya sebagai pemanis bibir saja, tetapi perlu diwujudkan secara serius dan nyata terhadap para investor dan wajib pajak potensial. Termasuk ini akan menunjukkan political will pemerintah yang lebih terukur.
Dengan anggaran yang begitu terbatas saat ini, pemerintah perlu lebih jeli meramu pengeluarannya agar terarah pada jenis pembangunan prioritas seperti pengem-bangan infrastruktur dan peningkatan kualitas SDM yang bisa menunjang daya saing dan produktivitas dalam negeri. Namun catatannya di sini, jangan sampai modal sosial yang tengah dibangun justru disalahtafsirkan hingga membuka peluang terjadinya rente ekonomi.
Karena pemerintah sebisa mungkin menunjukkan keberpihakan yang adil dan proporsional terhadap semua pelaku ekonomi di Indonesia. Kalau ingin kinerja investasi bisa langgeng, semua pelaku usaha perlu dilindungi agar merasa nyaman dan terfokus hanya pada pengembangan sistem bisnisnya. Sebagai penutup, banyak sekali hambatan dan tantangan yang harus dihadapi pemerintah, apalagi warisan Merkantilis begitu rumit menciptakan interaksi ekonomi dan politik luar negeri yang saling kait.
Mau tidak mau atau suka tidak suka, sementara ini setiap kebijakan, dalam hal initax amnesty misalnya, memang harus dikawal tidak hanya oleh Kemenkeu, tetapi oleh seluruh komponen bangsa, untuk menyelamatkan APBN kita, pencapaian pembangunan yang sudah direncanakan serta yang sangat penting adalah kemandiriankitasebagaibangsa besar, bangsa Indonesia.
Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya