Sektor Riil di Paket Kebijakan Ekonomi XI

SENDING DELEGATION FUTSAL BOY AND GIRL TEAM FEB-UB FOR FE UI CUP 2016
14 April 2016
SHARING KMFEB BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
18 April 2016

Pemerintah masih belum cukup kehabisan ide untuk mendorong agar kesejahteraan semakin dekat dengan denyut nadi masyarakat. Yang terbaru, Menko Perekonomian Darmin Nasution sebagai duta pemerintah merilis Paket Kebijakan Ekonomi Jilid XI.

Terdapat empat kebijakan prioritas yang menjadi fokus lanjutan. Pertama, kredit usaha rakyat (KUR) berorientasi ekspor (KURBE). Kedua, dana investasi real estat (DIRE). Ketiga, Indonesia Single Risk Management (ISRM). Keempat, pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan (alkes). Tujuan diterbitkannya paket kebijakan ini pun cukup beragam. KURBE diterbitkan demi memberikan stimulus daya saing kepada usaha kecil mikro dan menengah (UMKM) untuk lekas meningkatkan kinerja ekspornya.
Tujuan berikutnya mengenai kebijakan DIRE, diproses dengan memberikan insentif pengurangan pajak berganda dan beberapa stimulus pendukung yang terkait dengan penerbitan DIRE yang dilakukan demi meningkatkan dan memperluas jumlah investasi di bidang infrastruktur perumahan.

Posisi yang sama diputuskan pemerintah dengan pembentukan ISRM yang bertujuan mempercepat layanan kegiatan impor/ekspor yang dapat memberikan kepastian usaha, efisiensi waktu, biaya perizinan, serta menurunkan dwelling time. Adapun tujuan yang terakhir dari paket ini mendorong perkembangan industri farmasi dan alkes untuk menjaga stabilitas distribusi dan mendorong keterjangkauan harga obat di dalam negeri.

Kalau boleh menyimpulkan, kebijakan yang tengah ditempuh pemerintah dalam paket ini masih berkutat seputar efisiensi biaya transaksi dan insentif investasi. Mari kita coba untuk analisis lebih dalam pada setiap butir substansi kebijakan— dimulai dari urutan yang paling akhir. Pertama, harus diakui pemerintah cukup jeli dengan persoalan industri farmasi yang hingga saat ini masih menggantungkan 95% bahan bakunya hasil dari impor.

Kondisi yang sama terjadi pada distribusi alkes yang saat ini masih menggunakan 90% hasil kegiatan impor. Dalam paket kebijakan XI, pemerintah menyusun roadmap dan action plan yang disertai instrumen fiskal untuk menunjang kemandirian suplai bahan baku. Langkah ini dirasa sangat tepat karena akan menimbulkan berbagai dampak positif.

Selain akan membuat hargaharga produk kesehatan menjadi lebih terjangkau (dengan asumsi biaya transportasi dan transaksi lain-lain tereduksi), dengan adanya pertumbuhan industri farmasi dan alkes secara domestik akan turut berkontribusi dalam pertumbuhan lapangan pekerjaan. Penguatan industri farmasi dan alkes akan menjadi pelengkap ideal dalam menunjang program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang membutuhkan dukungan kemampuan produksi dalam negeri.

Kedua, perihal perhatian terhadap kelancaran arus barang dipelabuhan patut kita apresiasi setinggi-tingginya. Inefisiensi pada sistem logistik di Indonesia memang tergolong sangat parah dan telah mendorong terjadinya high cost economy. Dwelling time di Indonesia cukup bermasalah dengan kebutuhan waktu bongkar muat yang sudah mencapai 5,5 hari. Sasaran yang diupayakan pemerintah dalam jangka waktu enam bulan ini adalah mengangsur penurunan dwelling time menjadi 3-4 hari.

Cara yang ditempuh yakni dengan mengembangkan fasilitas pengajuan permohonan perizinan secara tunggal (single submission) melalui portal Indonesia Nasional Single Window (INSW) yang dikelola secara terintegrasi antara kementerian/lembaga terkait. Kebijakan ini akan saling melengkapi dengan upaya pembangunan infrastruktur pelabuhan yang tengah marak-maraknya dilakukan pemerintah di beberapa kawasan strategis.

Ketiga, keputusan pemerintah menekan bea perolehan atas hak tanah dan bangunan (BPHTB) demi memperluas DIRE menjadi salah satu yang patut kita kritisi. Untuk sementara ini, instrumen pajak Indonesia masih terbilang kurang atraktif jika dikompetisikan dengan negara-negara ASEAN. Dari segi besar pajak pertambahan nilai (PPN), Malaysia sudah mempersiapkan untuk menjadi yang terendah di ASEAN, hanya menetapkan 6%.

PPN Singapura dan Thailand masing-masing 7%. PPN Vietnam lebih bervariasi, antara 5-10%. Indonesia masih termasuk tinggi dengan PPN sebesar 10%. Pemerintah sudah cukup berani dengan menekan cost of doing business melalui pengurangan pajak berganda dari PPh final dan BPHTB. Namun, dengan kondisi perekonomian yang sementara ini belum cukup bergairah, dikhawatirkan konsumen properti juga sedang membatasi diri untuk melakukan transaksi cicilan/pembelian rumah.

Padahal, beberapa risiko yang kerap dikhawatirkan ialah penyewa/ pembeli gagal membayar, turunnya nilai properti, dan risiko likuiditas. Sektor perbankan yang banyak menyediakan kredit bagi investor di dunia properti mengalami penurunan laba bersih pada kuartal III-2015 sebesar 8,4%, dari Rp85,37 triliun pada September 2014 menjadi Rp78,2 triliun pada September 2015.

Penurunan laba bersih tersebut ditengarai karena peningkatan jumlah kredit macet atau kredit bermasalah yang dilambangkan peningkatan rasio non performing loan (NPL) dari 2,16% menjadi 2,7% (OJK, 2016). Namun, masih terselip secercah harapan untuk memacu kredit di bidang properti pada tahun ini dengan adanya penurunan tingkat suku bunga acuan (BI Rate ) yang terakhir sudah berada pada level 6,75%.

Hal berikut yang tidak kalah penting mengenai insentif DIRE adalah kesanggupan pemerintah daerah memenuhi target pemerintah pusat dengan menurunkan BPHTB dari maksimum 5% menjadi 1%. BPHTB bersama pajak bumi dan bangunan (PBB) perdesaan dan perkotaan yang dikelola oleh pemerintah daerah umumnya merupakan sumber utama pembentuk pendapatan asli daerah (PAD).

Jika sumber-sumber PAD terus ditekan, bagaimana dengan upaya menyubstitusi sumber pendapatan lain sebagai alternatif? Kondisi ini yang sekiranya perlu dipikirkan oleh pemerintah pusat bersama pemerintah daerah, jangan sampai kebijakan ini akan meninggalkan remah-remahan yang justru nantinya menimbulkan masalah baru terkait pendapatan daerah.

Keempat, peluncuran KURBE sebagai stimulus bagi daya saing UMKM menjadi jawaban atas penurunan BI Rate. Pemerintah cukup sadar bahwa persoalan modal sering menjadi persoalan hulu yang menghambat kemajuan daya saing UMKM dari negara kita. Namun, persoalan hulu yang lain relatif tertinggal pembahasannya jika dibandingkan dengan perhatian terhadap permodalan.

Persoalan tersebut tidak lain diwakili mekanisme supply chain di bagian hulu, yakni penyediaan bahan baku utama dan bahan penolong yang hingga saat ini turut menghambat kemajuan di sektor industri. Sektor industri kita hingga kini masih sangat terombangambing oleh posisi nilai tukar rupiah karena 64% bahan baku dan bahan penolong masih berharap dari suplai luar negeri (Kementerian Perindustrian 2014).

Ini yang kemudian menjadikan nilai tukar rupiah sering tidak cukup harmonis dengan industri berorientasi ekspor. Ketika kurs rupiah berada pada posisi yang kuat, daya tawar produk ekspor dari segi harga justru mengalami kontraksi. Begitu juga pada kondisi sebaliknya, ketika kurs rupiah menjadi tertekan, yang menjadi korban justru industri pengguna bahan baku impor karena dapat dipastikan harga yang diterima industri menjadi lebih tinggi.

Karena itu, stimulus fiskal mudah-mudahan tidak terbatas pada industry hilir yang didorong untuk terus melakukan ekspansi perdagangan. Selayaknya juga merangkul industri hulu yang mampu menyediakan bahan baku dan bahan penolong bagi industri domestik sebagaimana yang tengah diupayakan terhadap industri farmasi dan alkes.

Persoalan lainnya, apakah pemerintah juga sudah mempertimbangkan kondisi perekonomian global yang tengah lesu dengan mendorong ekspansi besar-besaran terhadap pasar ekspor? Yang penulis khawatirkan justru industri kita akan mengalami excess supply karena kondisi permintaan dari negara tujuan ekspor ditengarai tengah mengalami penurunan.

Terlebih jika mayoritas negara- negara lain akan memilih jurus yang sama dengan apa yang dilakukan pemerintah kita, yakni memperluas jejaring investasi yang dapat bermuara pada peningkatan produktivitas dan konsumsi. Persaingan akan menjadi lebih sengit pada sisi daya tawar harga dan kualitas produksi barang dan jasa yang fungsinya relatif sama. Sebagai bagian penutup, penulis ikut mengingatkan bahwa tulisan ini diantarkan sebagai bentuk kepedulian terhadap keberlangsungan proses pembangunan.

Pemerintah perlu didorong agar dalam setiap keputusannya mampu melakukan proses perencanaan secara komprehensif dan interaktif dengan mempertimbangkan pemikiran dari berbagai sudut pandang. Dari model partisipasi ini diharapkan akan menciptakan outcome yang lebih impresif. Beberapa sudut yang dapat ditarik sebagai kesimpulan dari tulisan ini ialah perlunya membangun sebuah isu perencanaan yang relevan dengan berbagai perkembangan terkini.

Misalnya mempertimbangkan kondisi perekonomian global dan masih terkekangnya beberapa segmen industri dalam negeri terhadap distribusi bahan baku impor. Alangkah lebih baiknya jika bentuk penyadaran ini mendorong pemerintah untuk lebih memperhatikan proses kemandirian ekonomi nasional. Sektor hulu hingga hilir dari aktivitas ekonomi mampu disediakan oleh usaha-usaha domestik.

Muaranya, semoga idealisme dalam berekonomi akan semakin sulit digoyahkan, karena rakyat diposisikan sebagai tulang punggung utama dalam proses pembangunan ekonomi Indonesia.

CANDRA FAJRI ANANDA
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya