Akhir-akhir ini pewartaan dari berbagai media cukup menyiratkan sebuah gejala yang perlu kita pelajari bersama, perihal silang pendapat yang terjadi pada beberapa kementerian/lembaga pemerintah yang seringkali menyita perhatian masyarakat.
Bahkan ada yang berpendapat bahwa era pemerintah terkini disimbolkan sebagai ”Kabinet Gaduh” yang waktunya justru lebih banyak diisi untuk beradu argumen secara vulgar dibandingkan tugas-tugas inti untuk memperkuat substansi dari pembentukan Kabinet Kerja. Perbedaan pendapat di antara anggota-anggota kabinet sangat mungkin menyiratkan ada mispersepsi dan menampakkan wujud peperangan kepentingan pribadi dan kelompok di antara anggota kabinet.
Padahal, secara jujur boleh dikatakan menjaga kekompakan di antara kalangan pejabat negara begitu penting untuk menghadapi ketidakpastian (uncertainty), terutama terkait visi menjaga daya saing investasi untuk tetap tinggi melalui stabilitas politik di tingkat nasional dan daerah.
Todaro dan Smith (2012) sudah menjelaskan dalam teorinya yang menarik hubungan antara situasi politik dengan investasi dan aktivitas makroekonomi lain. Hal yang menarik di sini, apakah kegaduhan yang ada merupakan buah dari banyak kalangan politisi yang mendominasi proporsi Kabinet Kerja? Ini yang perlu kita konfirmasi bersama. Upaya untuk meningkatkan capital inflow melalui investasi dan kegiatan eksternal lain sebenarnya sudah terus diperkuat pemerintah.
Baru-baru ini Paket Kebijakan Ekonomi Jilid X sudah menandai perluasan pangsa investasi untuk pemodal asing pada berbagai sektor. Belum lagi dengan kebijakan Bank Indonesia yang akhirnya berani menurunkan tingkat suku bunga hingga dua kali sejak awal 2016, dari semula 7,50% menjadi 7,00%, kemudian diturunkan kembali menjadi 6,75%.
Keputusan ini bisa jadi merupakan jalan tengah (win-win solution) agar kepentingan kebijakan fiskal dan moneter tetap berjalan beriringan, agar investasi di sektor riil semakin meningkat seraya menjaga konsistensi minat kaum pemodal besar agar bertahan menjadi deposan perbankan. Jika diperbandingkan dengan negara-negara tetangga di kawasan ASEAN, suku bunga di Indonesia masih tetap yang tertinggi.
Kalangan perbankan dengan senang hati melakukan penawaran bunga deposito dan tabungan yang tinggi untuk memacu minat pemodal besar yang hendak menyetor depositonya, namun di sisi lain kebijakan ini dapat menghambat laju daya saing perbankan di Indonesia untuk mengu a s a i sektor kredit.
Dalam perspektif jangka pendek seharusnya penguatan di sektor riil perlu lebih diprioritaskan karena lebih banyak menyentuh kepentingan makroekonomi lain seperti pertumbuhan ekonomi dan perbaikan beberapa indikator ketenagakerjaan.
Dengan begitu, pada tahapan berikutnya otoritas moneter perlu meninjau kembali untuk gambaran suku bunga acuan apakah perlu meniru negara-negara lain yang tengah memasuki tren suku bunga rendah demi menjaga gairah pada aktivitas di sektor riil.
Kembali pada persoalan silang pendapat menteri, kegaduhan di lingkungan kabinet akan seterusnya menjadi pemandangan yang tak elok jika dibiarkan berlarut-larut. Untuk mengatasi itu, perlu langkah strategis yang dimulai dari pucuk pimpinan negara agar daya saing investasi dari lingkungan politik, baik untuk mengembangkan sektor riil maupun sekadar berdeposito, dapat berlanjut secara elegan.
Ada beberapa poin yang perlu dijadikan landasan pemikirannya yang telah penulis rangkum dalam penjelasan-penjelasan sebagai berikut. Pertama, tantangan pengembangan ekonomi dan pembangunan di Indonesia masih cukup berat karena sebagian besar potensi ekonomi Indonesia masih berkutat pada ketersediaan sumber daya alam (SDA).
Nilai tambah ekonominya masih cukup minim karena belum dikawinkan secara efektif dengan sektor industri. Sektor industri memang berperan sangat dominan terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia, tetapi banyak industri yang menggunakan bahan baku dan bahan penolong yang bersumber dari produk impor sehingga dampaknya terhadap SDA lokal tidak cukup strategis.
Kementerian Perindustrian (2014) mencatat bahwa 64% industri menggantungkan bahan baku dan bahan penolong dari suplai produk impor. Hal ini akan sangat riskan dengan posisi Indonesia sebagai small open economy di kancah perekonomian global sehingga sangat mungkin posisi ketergantungan terhadap kondisi perekonomian, terutama terhadap negara-negara maju, masih akan terus berlanjut.
Kedua, dengan tantangan era liberalisasi di bidang politik ekonomi, praktis kebutuhan kebijakan yang efektif menjadi sesuatu yang bersifat mutlak. Pemerintah perlu lebih intens untuk memperkuat daya saing dari sektor industri yang sudah telanjur basah untuk dijadikan tulang punggung perekonomian di samping sektor pertanian.
Dengan harga rupiah yang terus menguat hingga mendekati Rp12.000 untuk setiap dolar Amerika, industri dalam negeri dapat mendorong daya saing dan efisiensi biaya produksinya karena harga bahan baku impor dapat lebih rendah. Namun, ini bukan langkah pengaman yang cukup baik dalam jangka panjang sehingga perlu dimunculkan strategi-strategi lanjutan.
Strateginya dapat mengerucut pada dua pilihan: intensifikasi dan ekstensifikasi produk industri berbasis SDA lokal; dan/ atau mengembangkan industri bahan baku dan penolong domestik sebagai bagian dari strategi substitusi impor. Ketiga, untuk memenuhi maksud dari rekomendasi kedua tersebut, dengan menguatnya nilai tawar rupiah kemudian perlu didukung dengan regulasi dan kebijakan pemerintah yang konsisten (firmed).
Pejabat di setiap kabinet perlu untuk berusaha mengurangi perbedaan penyikapan atas sebuah kebijakan untuk menciptakan konsistensi regulasi dan informasi. Kalau memang dibutuhkan, pemerintah bahkan perlu membentuk kembali menteri penerangan sebagai pusat/kesatuan yang mengelola informasi- informasi untuk publik.
Setelahnya baru disusun kembali subjek-subjek perencanaan beserta evaluasi pembangunan dengan memperkuat peran Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk menyinergikan pembangunan antara pusat dan daerah (termasuk desa) sebagai bagian dari kebijakan pemerintah secara menyeluruh.
Presiden juga perlu menegur secara tegas pihakpihak atau oknum-oknum yang menghambat kinerja pembangunan dengan menegakkan reward and punishment. Keempat, sebagai kritik atas hambatan dari kegaduhan politik yang ada, pemilihan punggawa cabinet seharusnya mengutamakan kalangan-kalangan profesional untuk memegang kendali pemerintahan yang sesuai dengan bidang ahlinya.
Prinsip kuno the right man in the right place perlu untuk diterjemahkan dalam posisi kabinet karena beban pembangunan masa kini yang semakin dinamis. Alasan tambahannya, kalangan profesional juga dimungkinkan lebih tahan terhadap ”godaan” untuk memenuhi hasrat pribadi dan kelompoknya.
Hanya catatan perbandingannya, sedikit celah (yang tidak bisa digeneralisasi) bagi kalangan profesional adalah tantangan untuk mampu ”menenangkan” partai-partai politik yang berambisi ”menggembosi” dan/atau ”mengudeta” posisinya sehingga menghambat kinerja-kinerja strategisnya.
Kita tinggal melihat dengan seksama seberapa tinggi jiwa negarawan yang dimiliki dutaduta politik kita di level eksekutif dan legislatif yang terkesan hanya mampu ”berisik”, namun tidak selalu ”berisi”. Jangan sampai silang pendapat pada otoritas politik yang tengah berjalan semakin mengkhawatirkan dan menjalar pada masyarakat yang semakin kurang percaya kemudian memilih apatis pada upaya-upaya pembangunan yang bersumber dari kegiatan politik.
Upaya untuk meningkatkan partisipasi politik akan semakin tidak fokus karena kepenatan masyarakat dengan dinamika politik yang semakin tidak kondusif. Dengan demikian, salah satu kunci pembangunan tetap terletakpada harmonisasi perencanaan pembangunan pada otoritas politik di Indonesia.
Dengan model pembangunan yang masih mengakomodasi peran dari pemerintah yang cukup besar, instabilitas politik akan dapat menimbulkan kegaduhan politik yang lebih besar dan berikutnya akan memengaruhi dinamika pembangunan yang ada. Dengan begitu, pemerintah perlu belajar untuk lebih arif dalam mengakomodasi kepentingan publik yang lebih besar dibandingkan kaum pemburu rente politik yang akan terus menghantui kinerja pembangunan.
Jalan keluar terakhir, tentu tidak ada salahnya bagi pemerintah agar lekas mengubah komposisi kabinet demi memperlancar pencapaian tujuan pembangunan yang sudah dicanangkan Presiden pada awal pemerintahannya.
FAJRI ANANDA
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya