DAMPAK Covid-19 agaknya sudah membuat banyak pihak mulai kalang kabut untuk mengatasinya, mulai sektor publik, kalangan swasta, hingga rumah tangga. Rentetan masalah terus mendatangi dan mulai menebar ancaman krisis sosial dan ekonomi. Kita mulai dipaksa menerima ’’new normal’’. Memang ada beberapa gaya baru yang lahir setelah pandemi ini berjalan, seperti perubahan perilaku, pola interaksi antarmasyarakat, serta beberapa aktivitas yang saat ini mesti dikerjakan di rumah (bekerja dan sekolah/kuliah). Hingga saat ini pun belum ada pihak yang berani memastikan kapan pandemi ini berakhir.
Pengaruh negatif terhadap pembangunan Indonesia mulai terasa. Pertumbuhan ekonomi di kuartal I 2020 sudah melambat signifikan hingga hanya menyisakan 2,97 persen (yoy). Padahal, kebijakan pembatasan aktivitas sosial baru terjadi di
DAMPAK Covid-19 agaknya sudah membuat banyak pihak mulai kalang kabut untuk mengatasinya, mulai sektor publik, kalangan swasta, hingga rumah tangga. Rentetan masalah terus mendatangi dan mulai menebar ancaman krisis sosial dan ekonomi. Kita mulai dipaksa menerima ’’new normal’’. Memang ada beberapa gaya baru yang lahir setelah pandemi ini berjalan, seperti perubahan perilaku, pola interaksi antarmasyarakat, serta beberapa aktivitas yang saat ini mesti dikerjakan di rumah (bekerja dan sekolah/kuliah). Hingga saat ini pun belum ada pihak yang berani memastikan kapan pandemi ini berakhir.
Pengaruh negatif terhadap pembangunan Indonesia mulai terasa. Pertumbuhan ekonomi di kuartal I 2020 sudah melambat signifikan hingga hanya menyisakan 2,97 persen (yoy). Padahal, kebijakan pembatasan aktivitas sosial baru terjadi di pengujung kuartal I. Pemerintah sedang mengamati perkembangan kondisi yang sepertinya mulai mengarah pada skenario terberat, yakni kontraksi -0,4 persen.
Hal ini sudah sangat wajar mengingat kinerja beberapa kutub perekonomian kita sedang seret. Sektor industri selaku kontributor utama PDB lapangan usaha pada kuartal kemarin tumbuh 3,85 persen. Prospek ke depan tampak cukup suram lantaran berdasar survei ILO (2020), 2 di antara 3 perusahaan yang disurvei telah menghentikan operasional karena dampak Covid-19, baik yang tutup sementara maupun permanen. Sekitar 52 persen perusahaan kehilangan pendapatan hingga lebih dari 50 persen. Selain itu, 90 persen perusahaan yang disurvei mengalami permasalahan arus kas hingga banyak di antara mereka yang berusaha melakukan negosiasi dengan para bank, pemasok, dan pekerja.
Kinerja negatif dunia usaha tentu bukan permasalahan sepele, terutama mereka yang bergerak di sektor industri. Sektor industri merupakan jembatan (bridge) antara hulu (sektor primer) dan hilir (sektor tersier). Hal ini diperparah dengan pengurangan jumlah pekerja yang berdasar survei ILO sudah mencapai 63 persen dengan prospek yang bisa terus meningkat (baik temporer maupun permanen). Kalau sudah demikian, sangat wajar apabila asumsi pertumbuhan ekonomi menjadi kian suram karena konsumsi rumah tangga merupakan tulang punggung utama PDB dari sisi pengeluaran. Konsumsi rumah tangga sendiri pada kuartal I 2020 hanya tumbuh 2,84 persen (yoy), menunjukkan indikator pelemahan daya beli masyarakat dan harus diselesaikan dengan cepat melalui program-program yang saat ini dilakukan.
Dampak ekonomi yang sudah terlihat jelas tersebut juga diikuti dampak nonekonomi, sosial, dan budaya. Berbagai kegiatan ibadah yang biasanya dilakukan secara berjamaah dan di tempat ibadah seperti masjid, gereja, maupun wihara harus dilakukan secara sendiri-sendiri, misalnya di rumah atau di tempat kerja. Masih banyak kelompok masyarakat yang bersikukuh dengan alasan religiusitas ingin tetap beribadah, tetapi dari laporan BNPB terlihat bahwa episentrum Covid-19 ini banyak bersumber dari kelompok masyarakat yang sedang menjalankan perkumpulan, walaupun pemerintah sudah mengingatkan terkait dengan risiko yang akan ditimbulkan.
Dari berbagai persoalan itu, kesehatan, dampak ekonomi, dan sosial, tentu pemerintah dituntut untuk mendesain kebijakan yang tepat, cepat, dan mudah diimplementasikan. Ini tentu tidak mudah, tetapi tuntutan saat ini memang harus seperti demikian dan data merupakan satu faktor paling penting dan signifikan dalam menentukan kualitas kebijakan publik yang disusun.
Akurasi Tindakan
Dinamika Covid-19 berjalan sangat cepat, maka akurasi dan kecepatan kebijakan menjadi sangat penting. Proses perumusan kebijakan dituntut sangat reaktif dengan bekal data yang (semestinya) transparan, terukur, efektif, dan efisien. Beberapa langkah kuratif yang dilakukan pemerintah terbukti belum cukup efektif untuk membendung laju persebaran Covid-19 hingga pemerintah perlu lebih mengefektifkan pencegahan yang juga sudah dilakukan di daerah-daerah. Salah satu penyebabnya bisa jadi karena data sebagai dasar pembuatan kebijakan tidak lagi sesuai dengan kondisi riil di lapangan, mengingat cepatnya perubahan. Karena itu, ketersediaan big data semestinya bisa mendukung perumusan kebijakan agar kinerjanya lebih akurat.
Ada insights menarik yang dicontohkan platform digital Qasir dalam menganalisis kondisi ekonomi secara real time di Malang Raya. Qasir mampu meng-captures beberapa gambaran riil dari hasil olah big data sebagai bahan risetnya hingga akhirnya mereka menghasilkan luaran yang menurut penulis sangat representatif dengan kondisi yang ada, terutama terkait perubahan perilaku dan dinamika lingkungan bisnis selama Covid-19 berjalan. Qasir dengan kumpulan transaksi yang dikumpulkan mampu menganalisis secara aktual perubahan bisnis setiap hari. Bagi para pengusaha, ini bisa menjadi alert untuk terus waspada akan ancaman pada bisnis mereka. Bagi pemerintah, keberadaan data ini sangat membantu untuk membuat kebijakan yang tepat sesuai dengan yang diperlukan sektor bisnis tersebut.
Berkaca dari pengalaman tersebut, penting bagi pemerintah terus memperbaiki kualitas data yang selama ini ada dan dipakai sebagai dasar perhitungan penganggaran dan kebijakan publik lainnya. Kekisruhan yang sempat timbul yang dilaporkan beberapa media cetak, elektronik, maupun sosial, pada saat pembagian bantuan sosial kemarin, merupakan dampak lemahnya kualitas data yang dimiliki pemerintah.
Untuk waktu selanjutnya, kondisi seperti tersebut jangan sampai terus berulang. Apalagi dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2020 dan 2021 sudah ditetapkan bahwa program pemulihan ekonomi menjadi salah satu agenda prioritas pembangunan di tahun 2021.
Sebelum berbagai bentuk subsidi dan insentif dikucurkan, ada baiknya pemerintah perlu mengintegrasikan data-data yang ada, termasuk kualitasnya, agar nanti kualitas kebijakan yang dihasilkan betul-betul menjadi obat yang mujarab (elevate) dalam menyelesaikan problematika yang ada. Dengan data yang lebih baik, pemerintah akan mampu menghitung anggaran lebih tepat, estimasi sampai berapa lama subsidi ini akan diberikan, agar insentif dan subsidi yang diberikan justru menimbulkan ketergantungan, semakin tidak berdaya, dan mendistorsi pasar. Hasil akhirnya, tentu pelaku-pelaku ekonomi kita tidak memiliki daya tarung (fighting spirit), daya saing (competitive) rendah, dan hanya berharap pada subsidi dan insentif setiap tahun.
Pandemi ini, di luar sebagai cobaan yang sangat berat bagi bangsa ini, telah mengajarkan dan memaksa kita untuk harus berubah dan menyesuaikan (transform) pada lingkungan yang baru dan dinamis ini. Pemanfaatan data, terutama big data, serta bukti aktual yang dibangun berdasar analisis yang tepat dan detail akan sangat membantu dan mendesak bagi penyusunan desain kebijakan yang berkualitas dan berorientasi pada tujuan.
Memang perubahan itu sunnatullah, tidak ada yang kekal di dunia ini, semua pasti berubah atau berakhir. Tetapi, sebagai makhluk Tuhan, kita diberi akal dan tenaga untuk terus berikhtiar dan memberikan upaya terbaik bagi kesejahteraan manusia, kita semua, wallahu a’lam. (*)
Candra Fajri Ananda, Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang