PEMBANGUNAN adalah suatu proses kemajuan yang selalu diharapkan terjadi secara berkesinambungan di suatu negara. Akan tetapi akselerasinya cukup beragam. Ada yang bisa berjalan cepat, ada pula yang lambat, macet (stagnasi), atau bahkan menurun (degradasi).
Beberapa negara di Eropa telah mengalami proses pembangunan yang sudah cukup matang seperti pembangunan secara kelembagaan, termasuk di dalamnya terkait dengan etika dan kepatuhan (compliance) yang telah mapan. Dan tentu saja untuk mencapai kondisi seperti itu mereka telah melewati serangkaian proses jatuh bangun yang berbuah pada terwujudnya kestabilan nasional yang mengagumkan.
Negara-negara ini telah mampu melewati fase yang paling penting dalam bernegara, yakni mengantarkan tatanan hukum yang tegas dan budaya yang sehat sehingga tercipta kestabilan yang turut menjadi bagian penting dari kerangka kelembagaan (institutional framework) dan mendukung proses pembangunan ekonomi suatu bangsa. Kerangka kelembagaan bisa dianggap sebagai panduan bagi para usahawan pembangunan.
Sementara itu di Indonesia sendiri kita sering kali berhadap-hadapan dengan desain kelembagaan yang disebut-sebut berbiaya ekonomi cukup tinggi. Katakanlah dari segi perencanaan kebijakan sering kali terjadi tumpang tindih kebijakan beserta tata aturannya yang terkadang berganti-ganti dalam waktu yang berdekatan.
Akibatnya banyak pelaksana (baik dari unsur pemerintah maupun masyarakat) yang geraknya serba-kebingungan dan takut untuk menegakkan kebijakan-kebijakan karena kurangnya kepastian hukum. Padahal adanya kerangka kelembagaan yang jelas dan kuat akan mempermudah seluruh cipta dan karsa (kebijakan) masyarakat serta negara untuk mengisi ruang yang sudah dibentuk oleh kejelasan hukum dengan tata aturan yang mengikat. Alhasil kita sering kali menyaksikan berbagai bentuk kinerja pemerintah yang output-nya cenderung kurang efektif (kurang tepat sasaran) dan kurang efisien (berbiaya tinggi).
Muasalnya disinyalir berangkat dari sistem kepemimpinan yang kurang lugas dan cermat, khususnya ketika organisasi yang sedang dipimpin menghadapi pilihan-pilihan yang paradoksal. Dalam kondisi tertentu, kepemimpinan memang harus berani melakukan sesuatu untuk mengisi ruang yang sudah diikat dengan kerangka kelembagaan yang kuat tersebut di mana pemimpin tersebut akan berhadapan dengan pilihan-pilihan yang lebih pendek (pragmatis) atau yang berjangka panjang.
Hal mendasar yang perlu dipahami adalah bahwa tidak ada kebijakan yang diambil yang dapat memuaskan 100% masyarakat. Karena dengan latar belakang golongan dan kepentingan yang sangat beragam, seorang pemimpin harus bersiap dengan munculnya berbagai respons yang terkadang bertentangan.
Dengan kata lain, akan selalu ada trade off dalam setiap kebijakan dan pemimpin yang baik adalah yang mampu mendeteksi kekurangan serta mengelolanya agar menjadi lebih baik hingga terus berkurang dampak negatifnya, khususnya dari kelompok yang kurang puas dengan kebijakan yang diambilnya.
Hal serupa juga pernah terjadi (atau bahkan masih berlangsung) di Eropa. Di sana banyak pemimpin dan kelompok kepentingan yang bertarung untuk menegakkan tata aturan dan norma hukum hingga pada akhirnya ditemukan desain kelembagaan yang paling sesuai dengan kondisi bangsanya. Sistem pendidikan dan kultur sosial yang modern (dari sisi pengelolaan yang efektif dan efisien) dipadukan dengan semangat politisinya yang ingin negaranya bisa lebih baik, minimal bila dibandingkan dengan para tetangganya.
Kita tentu tidak ingin kalah dengan semangat negara-negara Eropa. Apalagi tidak semua negara di dunia memiliki karakteristik potensi sebesar yang kita miliki saat ini.
Kita memiliki sumber daya manusia dengan jumlah yang sangat banyak. Sumber daya alam yang ada di perut dan permukaan bumi Indonesia juga sangat beragam dan melimpah ruah. Kalau sampai negara kita tidak kunjung berkembang pesat, tandanya ada yang salah dalam sistem pengelolaannya. Potensi secara kuantitas belum dipadukan dengan kualitas yang mumpuni.
Tentunya kita juga tidak bisa terjebak dengan menyalahkan “dosa-dosa” pemimpin di masa lalu. Ketika kita tahu bahwa ada berbagai macam kekurangan dalam pengelolaan negara di masa-masa lampau, sebagai insan yang terdidik dan bermoral sudah sepantasnya kita justru harus perlahan-lahan memperbaikinya. Tujuannya agar kelak anak cucu kita tidak lantas terjebak seperti kita dengan hanya bisa menyalahkan masa lalu.
Legacy kebijakan teramat penting untuk diarahkan agar memiliki manfaat dalam jangka panjang. Setidaknya agar nanti mereka (generasi mendatang) sudah memiliki field yang rapi dan kuat untuk melanjutkan pembangunan bangsanya.
Contoh yang paling nyata adalah terkait kebijakan kontrak karya Freeport. Banyak kalangan yang menilai bahwa ini adalah warisan yang buruk dari era Orde Baru. Mereka yang menandatangani, lantas generasi sekarang seperti kebakaran jenggot karena menganggap kita hanya mendapatkan kue yang minimalis atas eksploitasi tambang dengan potensi yang hasilnya sangat menggiurkan.
Dan di era Presiden Joko Widodo sekarang ini, beberapa agennya (menteri dan beberapa pihak lainnya) sudah mulai membuat serangkaian langkah maju dengan melakukan divestasi saham dengan Freeport––kendati tidak sedikit pihak yang mempertanyakan ketepatan kebijakan tersebut. Logika yang digunakan adalah bahwa kontrak karya PT Freeport Indonesia akan usai pada 2021.
Normalnya setelah kontrak tersebut berakhir, pengelolaan akan menjadi kekuasaan absolut bagi kita (bangsa Indonesia) sebagai pemilik lahan tambang tersebut. Akan tetapi berita pasti mengenai mekanisme divestasi dan/atau peralihan kekuasaan tentang Freeport masih mengandung banyak tanda tanya. Apakah benar setelah 2021 Freeport akan sepenuhnya menjadi milik kita ataukah tidak, seharusnya pemerintah yang paling lantang menjelaskan.
Terkait dengan kebijakan divestasi pun dibutuhkan penegasan. Hal itu agar masyarakat tidak semakin mudah terbawa isu yang simpang siur sehingga nanti kita lagi-lagi akan terbelah dengan perbedaan pendapat. Apalagi dana yang digunakan untuk divestasi sangat besar meskipun (jika itu benar) asalnya bukan dari APBN murni, melainkan patungan dengan PT Inalum selaku BUMN di bidang pertambangan SDA.
Menjelang memasuki fase-fase puncak pemilihan presiden dan anggota legislatif pada 2019, kita perlu lebih berhati-hati sebelum menentukan pilihan siapa yang nantikan akan menjadi “wakil” kita. Kita tentu berharap agar orang-orang yang baik, cerdas, tangguh, dan adil menjadi pemimpin-pemimpin di pucuk kekuasaan.
Selain itu mereka juga harus berani mengutamakan kepentingan rakyatnya di atas kepentingan partai ataupun golongannya. Keberanian untuk berbuat baik (tanpa rasa takut akan kerugian atau tidak populer) tentu sangat diperlukan.
Pemimpin yang takut membuat keputusan (yang positif) akan menghambat laju pembangunan karena pemerintah atau unit usaha pemerintah di bawahnya bisa terjebak dengan “takut” untuk melakukan breakthrough dalam menjalankan bisnisnya (obsession of fear). Kita sangat membutuhkan gaya kepemimpinan yang lurus kepentingannya dan 100% memikirkan pembangunan bagi rakyatnya. Mereka perlu yakin bahwa peninggalan yang baik akan terus dikenang (legacy) dan bisa menjadi dasar kebijakan berikutnya sehingga dasar-dasar kebijakan perlu diawali niat yang tulus untuk membangun bangsanya, tidak hanya untuk kepentingan golongannya.
Kita juga perlu menyemangati agar para pemimpin kita pada saat ini dapat terus melakukan sesuatu yang baik tanpa perlu khawatir bahwa yang tidak puas akan selalu melawan atau protes. Tentunya perlu dibekali perencanaan pembangunan yang baik, sistem komunikasi yang efektif, dan kerangka kelembagaan yang efisien yang bersumber pada kepentingan masyarakat sebagai keutamaannya.
Melalui itu semua, kelemahan tersebut seharusnya akan lebih mudah dikelola dan diselesaikan. Setidaknya masyarakat akan setia berdiri di belakang pemerintah sebagai pengawal jalannya pembangunan yang tengah diupayakan. Dengan demikian kerangka kelembagaan yang berupa tata aturan, norma hukum, dan penegakan hukum akan memandu seorang pemimpin untuk membuat legacy yang akan dikenang anak cucu dan keberlangsungan negara kita.
Dalam kondisi yang sebaliknya, jika seorang pemimpin justru tidak mampu bertindak arif dan adil, lambat laun mereka kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Bisa dibayangkan jika semua berpikir pragmatis dan berjangka pendek, ini berarti mereka tidak pada jalan membangun bangsa dan tidak akan ada legacy positif yang dapat ditinggalkan. Jangan sampai penyusunan hukum dan aturan main yang ditegakkan saat ini hanyalah untuk kepentingan sesaat dan interest kalangan tertentu.
Yakin saja bahwa kebenaran masih dipegang teguh oleh sebagian besar masyarakat kita. Oleh karena itu, untuk para pemimpin kita saat ini dan di masa-masa yang akan datang, bangunlah bangsa ini dengan perjuangan dan legacy yang dapat terus dikenang. Amin.
Candra Fajri Ananda Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya