HAMPIR 20 tahun usia kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia terakhir diatur dengan Undang-Undang Nomor 2/ 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Secara umum, pelaksanaan desentralisasi fiskal telah mampu meningkatkan perekonomian daerah di Indonesia, namun pembangunan setiap daerah belum mencapai hasil yang seperti kita harapkan. Fakta menunjukkan bahwa masih terdapat beberapa provinsi yang memiliki tingkat ketimpangan yang tinggi di bidang pendapatan, indeks pembangunan manusia (IPM), kemiskinan, dan pengangguran.
Bank Dunia menyoroti kawasan timur Indonesia yang masih tertinggal secara signifikan. Ini terlihat dari Papua yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi sebesar 27,5%, sementara provinsi di Jawa mampu menekan tingkat kemiskinan di sekitar angka 5%. Sebanyak 23 provinsi memiliki IPM dengan status tinggi (70-80), sedangkan 11 provinsi berada di status sedang (60-70). Keadaan ini mengindikasikan bahwa cita-cita luhur atas kebijakan desentralisasi masih harus diperjuangkan dengan lebih baik. Pinjaman Daerah dan Kualitas SDM Prinsip dasar pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia ialah ‘money follows functions’. Adanya kewenangan yang diserahkan pada daerah perlu diikuti oleh pembiayaan dari pusat. Meski dalam konsep desentralisasi fiskal memberikan kewenangan besar bagi daerah untuk menggali sumber dana sendiri, tak sedikit daerah di Indonesia yang hingga kini masih belum memiliki kapasitas fiskal yang baik. Lebih dari separuh pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota masih memiliki kapasitas fiskal yang rendah. Hal ini terlihat dalam Peraturan Menteri Keuangan(PMK) No 126/PMK.07/2019 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah (KFD). Berdasarkan peta KFD dari 34 provinsi yang ada di Indonesia, 9 provinsi masuk kategori KFD sangat rendah, di antaranya Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Bangka Belitung. Selanjutnya, terdapat 8 provinsi tergolong kategori KFD rendah di antaranya Jambi, Bengkulu, dan DI Yogyakarta. Kemudian 8 provinsi masuk kategori KFD sedang, di antaranya Aceh, Bali, dan Papua Barat. Lima provinsi masuk kategori KFD tinggi, di antaranya Riau, Kalimantan Selatan, dan Banten. Terakhir, hanya terdapat 4 provinsi yang masuk kategori KFD sangat tinggi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Selanjutnya untuk peta KFD kabupaten/kota, 126 dari 508 kabupaten/kota di antaranya masuk kategori KFD sangat rendah. Beberapa daerah itu antara lain Kabupaten Aceh Besar, Kota Sabang, dan Kota Banjar. Selanjutnya ada 126 kabupaten/kota yang masuk kategori KFD rendah, seperti Kabupaten Bengkulu Utara, Kota Salatiga, dan Kota Batu. Kemudian, 127 kabupaten/kota masuk kategori KFD sedang, seperti Kota Cimahi, Kabupaten Kuningan, dan Kota Magelang. Lalu terdapat 81 kabupaten/kota yang masuk kategori KFD tinggi, beberapa di antaranya Kabupaten Cirebon, Kabupaten Purwakarta, dan Kota Manado. Terakhir, ada 42 kabupaten/kota yang masuk kategori KFD sangat tinggi, seperti Kota Balikpapan, Kabupaten Mimika, dan Kota Surabaya. Melihat masih banyaknya daerah yang belum memiliki kapasitas fiskal yang baik untuk mendukung pembangunan daerah serta kebutuhan akan pembiayaan alternatif di luar dana transfer, maka pinjaman daerah dapat menjadi pilihan alternatif daerah dalam mengatasi permasalahan keterbatasan pembiayaan pembangunan. Pinjaman daerah dapat digunakan untuk membiayai segala pembangunan, baik terkait dengan fasilitas maupun prasarana umum yang merupakan aset daerah serta dapat menghasilkan penerimaan bagi daerah yang juga dapat memberikan manfaat untuk masyarakat. Meski demikian, untuk dapat memperoleh pinjaman, pemerintah daerah harus memiliki tata kelola yang baik berdasarkan kriteria, persyaratan, dan mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Menjadi konsekuensi logis bahwa pemerintah harus mempersiapkan tata kelola pemerintahan yang baik, terutama terkait transparansi laporan keuangan jika pemerintah daerah ingin mendorong pembangunan daerah melalui dukungan pinjaman. Laporan keuangan menjadi cerminan untuk dapat mengetahui baik atau buruknya suatu pemerintahan, sehingga pemerintah harus dapat menghasilkan laporan keuangan yang berkualitas. Laporan keuangan pada dasarnya merupakan asersi yang dihasilkan oleh bidang atau disiplin ilmu akuntansi. Oleh sebab itu, sumber daya manusia (SDM) yang kompeten menjadi hal penting untuk menghasilkan sebuah laporan keuangan berkualitas. Begitu juga di pemerintahan, untuk menghasilkan laporan keuangan daerah yang berkualitas maka dibutuhkan SDM yang memahami dan kompeten dalam akuntansi pemerintahan, keuangan daerah, maupun organisasi tentang pemerintahan. Dorong Pinjaman-Perbaikan SDM Pemerintah berupaya turut aktif dalam mendorong pinjaman daerah dengan memfasilitasi dua jenis pinjaman, yakni melalui Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang dimiliki pemerintah daerah, dan melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) sebagai penyedia pinjaman infrastruktur yang diharapkan dapat memberikan dampak signifikan ke daerah. Meski fasilitas lembaga pemberi pinjaman telah disiapkan, data SMI menunjukkan bahwa dari 450 daerah yang pantas dipilih (eligible), hanya 21 pemda yang melakukan akses dana pinjaman dari SMI. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua daerah yang termasuk eligible tersebut mau berupaya mencari pendanaan selain dari APBN untuk mengakselerasi pembangunan daerahnya. Seiring memperkuat pinjaman daerah sebagai alternatif pembiayaan untuk akselerasi pembangunan, kualitas SDM di bidang keuangan juga penting untuk ditingkatkan. Berkaitan dengan hal ini, Politeknik Keuangan Negara Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (PKN STAN) yang selama ini dikenal sebagai lembaga pendidikan paling andal untuk menghasilkan ahli bidang keuangan negara seperti pajak, bea cukai, pengolahan aset, cashManagement, dituntut untuk menyiapkan kebutuhan pemerintah. Bukan hanya di tingkat kementerian dan lembaga (K/L), melainkan juga untuk pemerintah daerah. Selain memberikan pendidikan dengan gelar, sangat strategis juga jika PKN STAN menghasilkan pendidikan nongelar, termasuk kursus jangka pendek yang bersertifikat dan berorientasi pada keahlian tertentu. Pada era pandemi saat ini, di mana penerimaan negara turun yang akhirnya berdampak pada jumlah dana yang harus ditransfer juga turun, maka sangat logis jika pemerintah mendorong pemerintah daerah untuk melakukan pinjaman daerah sebagai alternatif pembiayaan pembangunan. Selain komitmen, peran SDM di daerah sangat krusial untuk mendorong pengelolaan anggaran lebih baik, lebih transparan, dan lebih akuntabel. Penyediaan SDM yang ahli di bidang keuangan daerah sangat mendesak. Untuk itu, peran PKN STAN––apakah secara mandiri atau melalui kerja sama dengan universitas daerah, akan menjadi kunci dalam akselerasi penyediaan SDM unggul di bidang keuangan. Kita berharap proses ini akan berjalan dengan cepat, sehingga pandemi ini tidak menjadi alasan bahwa proses pembangunan harus melambat, tetapi melalui pinjaman daerah percepatan pembangunan tetap bisa dilakukan dengan proses yang transparan, partisipatif, dan akuntabel. Semoga!
Prof Candra Fajri Ananda PhD Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia