Kebijakan (policy) merupakan istilah yang sering kali kita dengar dalam konteks pemerintahan, apalagi di saat pandemi Covid-19 seperti sekarang. Kata “policy” memiliki arti rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak.
Kebijakan dalam sebuah negara memiliki pola tindakan yang ditetapkan oleh pemerintah dan terwujud dalam bentuk peraturan perundang-undangan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Dalam kenyataannya masyarakat terdiri dari beberapa kelompok kepentingan (interest-group), yang tentu memiliki tujuan yang [mungkin] berbeda-beda.
Pada kondisi tersebut pemerintah memiliki fungsi “sebagai alat perekat” serta memiliki pegangan yang kuat dari semua unsur kelompok kepentingan itu. Oleh sebab itu, kebijakan (policy) umumnya dipakai untuk memilih dan menunjukkan pilihan terpenting untuk mempererat kehidupan, baik dalam kehidupan organisasi kepemerintahan maupun privat.
Kebijakan ekonomi suatu negara tidak bisa lepas dari keterlibatan pemerintah karena pemerintah memegang kendali atas segala sesuatu yang menyangkut semua kebijakan yang bermuara pada keberlangsungan dan keberadaan suatu negara.
Setiap pemerintahan yang sedang memimpin suatu negara tentu saja memiliki kebijakan ekonomi andalan untuk menjamin perekonomian negara yang baik dan stabil demi tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan. Hal itu karena sudah menjadi kewajiban dan tugas utama pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi agar tercapainya kehidupan yang makmur dan sejatera bagi rakyatnya.
John Maynard Keynes dalam teorinya menyatakan bahwa intervensi pemerintah diperlukan dalam perekonomian untuk mengurangi terjadinya kegagalan pasar (market failure) seperti kekakuan harga monopoli dan dampak negatif kegiatan usaha swasta.
Mekanisme pasar tidak dapat berfungsi tanpa keberadaan aturan yang dibuat pemerintah. Keynes menegaskan bahwa sektor ekonomi swasta atau pasar bebas tidak memiliki mekanisme penyeimbangan sendiri sehingga tidak selalu menghasilkan ekonomi yang efisien.
Peranan pemerintah menjadi lebih penting karena mekanisme pasar saja tidak dapat menyelesaikan semua persoalan ekonomi. Untuk menjamin efisiensi, pemerataan dan stabilitas ekonomi, peran dan fungsi pemerintah mutlak diperlukan dalam perekonomian sebagai pengendali mekanisme pasar.
Oleh karena itu, para ekonom Keynesian membenarkan intervensi pemerintah melalui kebijakan publik yang bertujuan mencapai stabilitas harga.
Signifikansi “Timing” dalam Kebijakan
Keputusan memilih atau melaksanakan suatu kebijakan tidak hanya terletak pada muatannya saja namun menyangkut kapan pilihan kebijakan tersebut akan diimplementasikan. Hal itu berlaku pula pada setiap kebijakan publik yang akan digulirkan.
Pemilihan strategi pada waktu yang tepat (right time) merupakan hal penting yang selalu menjadi pertimbangan para pemangku kebijakan agar tercapai tujuan kebijakan sercara efektif. Dimensi waktu implementasi kebijakan dapat ditinjau dalam dua aspek yaitu pertama, kesesuaian waktu dengan konten kebijakan dengan situasi perekonomian yang ada saat itu. Kedua, kesesuaian konten dengan lingkungan sosial politik yang berkembang.
Implementasi kebijakan merupakan suatu proses pelaksanaan keputusan kebijakan (biasanya dalam bentuk undang–undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif, atau dekrit presiden). Proses kebijakan publik tidak selalu mulus dan hanya sampai pada tahap evaluasi kebijakan, tetapi juga memungkinkan hadirnya pertentangan dari pihak lain terhadap kebijakan pemerintah, bisa jadi dikarenakan perbedaan cara pandang tujuan yang ingin dicapai.
Artinya, kita harus faham selalu saja ada pihak yang berbeda “melihat” permasalahan dengan perspektif yang berbeda. Menurut Grindle (1980: 10) dan Quade (1984: 310) bahwa yang diperlukan adalah adanya konfigurasi dan sinergi dari tiga variabel yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan atau program berasal dari tiga variabel yakni kebijakan itu sendiri, organisasi, dan lingkungan kebijakan.
Harapan itu perlu diwujudkan agar melalui pemilihan kebijakan yang tepat masyarakat dapat berpartisipasi dalam memberikan kontribusi yang optimal untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
Bijak Membagi dan Menerima Informasi
Kemajuan teknologi informasi komunikasi saat ini bagai pisau bermata dua. Pesatnya perkembangan teknologi tak hanya memberikan dampak yang positif tetapi juga memberikan dampak negatif.
Penyampaian informasi yang sangat cepat, di mana setiap orang dapat memproduksi dan menerima informasi secara instan tanpa batas. Terlebih, informasi yang dikeluarkan oleh orang perorang maupun badan usaha melalui media sosial dan elektronik ketika telah terkirim dan dibaca oleh banyak orang dapat mempengaruhi emosi, perasaan, pikiran bahkan tindakan seseorang atau kelompok.
Sangat disayangkan apabila informasi yang disampaikan tersebut adalah informasi yang tidak akurat diiringi dengan judul yang provokatif mengiring pembaca dan penerima kepada opini yang negatif. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan bahwa pada 2016 saja setidaknya telah terdapat 800.000 situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar berita palsu dan ujaran kebencian (hate speech). Data tersebut berpotensi terus meningkat setiap tahunnya seiring dengan semakin meningkatnya jumlah pengguna internet di Indonesia.
Media sosial yang difungsikan sebagai alat untuk menampung opini, pendapat, serta pengaplikasian secara nyata dari freedom of speech seharusnya dapat menjadi tempat berdiskusi atau bertukar pikiran dengan kepala dingin untuk mencapai kesepakatan tentang suatu masalah.
Namun kini di Indonesia, tak sedikit akun di media sosial yang kerap menimbulkan kegaduhan atau mengganggu ketertiban nasional dengan berbagai tujuan. Terbaru, isu terkait wacana penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) Bahan Pokok sejatinya hanyalah sebuah ide yang sempat terlontar dalam rapat internal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang belum dikaji lebih lanjut.
Bahkan, hingga saat belum ada rapat koordinasi antarkementerian untuk membahas isu tersebut. Kini pemerintah masih memberikan fokus dan perhatiannya lebih dalam pada penanganan Covid 19 dan juga pemulihan ekonomi nasional.
Pemerintah tak memungkiri bahwa pandemi Covid 19 telah turut memberikan dampak penurunan pada pendapatan negara. Di masa pandemi, pajak diarahkan sebagai stimulus, artinya, penerimaan negara tertekan, di sisi lain belanja negara meningkat tajam. Meski demikian, pemerintah tidak akan membabi buta dalam memungut pajak dan tetap realistis dalam mencari solusi untuk meningkatkan penerimaan negara.
Pemerintah tak memungkiri bahwa kini pemerintah terus berupaya memperluas basis PPN serta kenaikan PPN. Hal itu dilakukan mengingat kinerja perpajakan Indonesia yang cenderung masih rendah.
Beberapa negara juga diketahui melakukan penataan ulang sistem PPN baik melalui perluasan basis pajak serta penyesuaian tarif. Data menunjukkan bahwa rata-rata tarif PPN di 127 negara adalah 15,4%. Sementara, tarif PPN di Indonesia cenderung lebih rendah, yakni 10%.
Perluasan basis dan kenaikan PPN ini masih terus dikaji, dipertajam, dan disempurnakan. Pada waktunya nanti akan dibahas dengan DPR. Pelaksanaannya pun pemerintah juga tetap akan selalu memperhatikan momentum yang tepat serta memperhatikan pemulihan ekonomi. Kesejahteraan dan kepentingan masyarakat adalah prioritas utama. Kini, kita bersiap untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Semoga.
Prof Candra Fajri Ananda Ph.D
Staf Khusus Kementerian Keuangan RI