FAKTOR tenaga kerja atau sumber daya manusia (SDM) menjadi salah satu utang terbesar untuk menunjukkan derajat daya saing bangsa kita. Untuk sementara ini persoalan tersebut cukup mengganggu karena daya dukung yang lemah terhadap pengembangan perekonomian.
Di tataran ASEAN saja berdasarkan berbagai survei internasional mengenai peringkat daya saing tenaga kerja, posisi kita masih terjerembap di bawah beberapa negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam. Padahal waktu persiapan kita cukup mepet untuk menghadapi momentum bonus demografi yang sedianya akan mulai terjadi secara nasional di 2020.
Beberapa daerah bahkan sudah memasuki era tersebut medio 2010–2015 silam. Momentum istimewa tersebut perlu kita manfaatkan secara optimal seiring melimpahnya penduduk di usia produktif sebagai mesin utama pembangunan.
Target yang perlu kita kejar adalah meningkatnya jumlah lapangan kerja dan perubahan struktur ekonomi yang lebih bernilai tinggi serta dampak susulannya terhadap tingkat pendapatan dan kesejahteraan penduduk. Jika kita gagal memanfaatkannya, setidaknya akan ada dua situasi yang tidak baik yang akan menggelayuti bayangan masa depan Indonesia.
Pertama, kita akan kelimpungan dengan semakin banyaknya pengangguran pada usia produktif dan tentu saja juga akan menimbulkan berbagai penyakit sosial seperti kemiskinan, ketimpangan, kerentanan sosial. Semakin banyak masyarakat yang “lapar”, dampaknya terhadap stabilitas sosial ekonomi akan cenderung negatif.
Kedua, saat generasi di usia produktif gagal menggenjot laju pendapatan dan tabungannya, kita akan sempoyongan ketika usia mereka akan segera menua (aging population). Otomatis beban yang ditanggung pemerintah akan semakin besar untuk membangun skema perlindungan sosial yang mumpuni.
Oleh karena itu tidak ada pilihan lain bagi pemerintah untuk sesegera mungkin menciptakan langkah praktis dalam hal pembangunan SDM yang berkualitas. Persoalan SDM dan ketenagakerjaan akan terus menjadi dua sisi mata pedang dalam sistem pembangunan. Kita perlu menyusun strategi yang pas agar isu tentang SDM dan ketenagakerjaan mampu menjadi senjata yang membawa kemenangan, bukan justru sebaliknya (mematikan).
PR Hari Ini Saat ini kondisi perekonomian sudah menunjukkan banyak perbaikan walaupun tingkat akselerasinya masih terhitung relatif lamban. Beberapa usaha terus dilakukan untuk menjaga keberlangsungan dan kesinambungan pembangunan itu sendiri. Sebagai negara dengan gaya open market, Indonesia akan selalu membutuhkan daya dukung investasi dan percepatan pembangunan.
Setidaknya kedua hal tersebut untuk menjaga agar daya saing kita tetap berdenyut dengan stabil. Namun sayangnya potensi yang besar dari sisi melimpahnya jumlah SDM dan sumber daya alam (SDA) belum didukung dengan kapasitas SDM yang responsif dan adaptif.
Problem mengenai SDM pun sudah berjalan cukup lama, tetapi dalam praktiknya usaha mengatasi ketertinggalan SDM ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Banyak persoalan struktural dan kultural yang masih membelenggu akselerasi pembangunan kita, seperti misalnya komposisi tenaga kerja yang kurang bertenaga serta keterampilan dan tingkat pendidikan yang kurang linier (mismatch) dengan bidang usaha yang ditekuni. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2019, para pekerja Indonesia masih didominasi lulusan pendidikan setara sekolah dasar (SD) ke bawah yang berjumlah 52,4 juta jiwa atau setara dengan 40,51% dari total tenaga kerja. Hal memberatkan lainnya adalah faktor ketidaksesuaian antara lapangan pekerjaan dan latar belakang pendidikan yang masih relatif tinggi di kisaran 60,52%. Jika kita padukan dengan struktur tenaga kerja menurut lapangan usaha, sektor pertanian menjadi yang terdepan dalam hal penyerapan tenaga kerja (29,46%) dan celakanya sektor ini menjadi salah satu penghasil nilai tambah terendah sehingga hal itu juga menyulitkan kita untuk mentas dari middle income trap. Padahal kita membutuhkan pendapatan yang lebih tinggi dari tenaga kerja sebelum memasuki era aging population.
Berdasarkan komposisi tersebut, kita bisa menganggap bahwa sistem pendidikan belum koheren dengan kebutuhan di dunia kerja sehingga cukup wajar jika sistem inovasi dan produktivitas kita belum dikelola secara optimal karena belum menganut asas the right man in the right place. Mungkin tidak sedikit pula lulusan pendidikan yang “terpaksa” merelakan dirinya bekerja di dunia yang kurang sesuai dengan apa yang sudah mereka tekuni atau inginkan selama ini. Hal itu secara psikologis bisa jadi akan berdampak kurang “sehat” karena bekerja juga membutuhkan soul of power.
Dengan fakta tersebut kita perlu merombak lagi agar sistem pendidikan kita mampu menjadi bank of knowledge and skill di masa depan. Sistem zonasi yang tengah hangat diperbincangkan mungkin akan menjadi sebuah solusi di beberapa sisi, terutama untuk target pemerataan kualitas dan penataan mobilitas sebagian penduduk.
Akan tetapi ada baiknya pula jika frasa zonasi juga ditujukan pada pentingnya pemahaman mengenai potensi di tiap-tiap daerah. Misalnya daerah dengan potensi pertanian atau perikanan ada baiknya ditunjang dengan sistem pendidikan yang mengarah pada industrialisasi pertanian (agroindustri).
Contoh lainnya daerah dengan potensi pariwisata yang besar ada baiknya juga didekatkan dengan pendidikan yang mengarah pada pengelolaan budaya dan industri kreatif agar sama-sama berdaya. Nantinya ketika semuanya sudah berjalan beriringan kita bisa melangkah pada step yang lebih tinggi agar nilai ekonomi yang dihasilkan dapat semakin optimal. Nah mungkin pemikiran itu yang belum kita garap secara maksimal.
Secara umum ketersediaan SDM di daerah akan selalu dibutuhkan sebagai mesin pertumbuhan sehingga selalu akan dituntut dapat berkembang dan adaptif terhadap dinamika perubahan. Jika kultur mismatch yang membahayakan ini terus diabaikan, pandangan ekstrem penulis dapat mengatakan bahwa skema pendidikan 12 tahun (atau lebih) akan terbilang “percuma” karena bibit-bibit yang ditanam tidak sesuai dengan karakter lahan yang hendak diproduksi.
Hal tersebut juga merepotkan para pebisnis, sebab mereka akan selalu kehilangan waktu untuk mengajari para pekerjanya mengenai produksi yang efisien dari awal dan kemungkinan akan terus berulang seiring dengan shifting ketenagakerjaan.
Oleh karena itu sistem pendidikan kita perlu membangun engagement melalui link and match dengan dunia usaha. Pola ini sudah diterapkan pada sebagian sekolah dan perguruan tinggi (PT) di Jawa Timur yang merangkul beberapa perusahaan untuk membantu menyusun kurikulum yang adaptif dengan kebutuhan di dunia kerja. Inisiasinya bisa dilakukan pemerintah daerahnya dan/atau pengelola pendidikannya (sekolah/PT).
Jadi melalui proses engagement ini kedua pihak (sekolah/PT dan perusahaan) mendapatkan input yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Itu nanti juga membentuk bargaining power yang lebih kuat bagi para lulusannya (output) ketika akan memasuki masa kerja. Jadi langkah awalnya adalah mengurangi missing link yang membuat gap antara dunia pendidikan dan usaha menjadi kurang terkoneksi.
Langkah selanjutnya, kita juga perlu merombak sistem upah dan tunjangan bagi tenaga kerja agar meningkatkan daya saing investasi. Vietnam dapat kita jadikan benchmark mengenai sistem pengupahan. Dalam hal ketenagakerjaan dan daya saing investasi, kita patut angkat topi kepada Vietnam karena mereka telah unjuk gigi menjadi surga baru investasi di lingkup ASEAN.
Terlebih karakteristik investasi asing yang masuk di negara ini mayoritas berjenis padat karya yang semestinya juga dibutuhkan Indonesia. Jika kita lihat dari apa yang sudah Vietnam kerjakan, setidaknya ada beberapa poin yang perlu kita sarikan, terutama dalam hal pengembangan sektor manufaktur.
Pertama, keanekeragaman industri yang mereka kembangkan terfokus pada industri-industri yang mampu mereka jangkau baik dari sisi kemampuan teknologi maupun potensi lokal yang dimiliki. Jadi mereka betul-betul berusaha memaksimalkan keunggulan komparatifnya (comparative advantage) selama itu benar-benar mampu menguntungkan negaranya. Mereka tidak lantas nekat dengan memaksa semua industri harus diproduksi di negaranya jika memang daya saingnya relatif terbatas.
Kedua, sistem pengupahan di Vietnam lebih relevan dengan kapasitas SDM-nya. Adapun di Indonesia, tenaga kerja kita dinilai banyak lembaga internasional terlalu “dimanjakan” sehingga mereka (tenaga kerja) “lupa” untuk meng-upgrade dirinya agar terus menyesuaikan dengan tuntutan pasar.
Kendati upah minimum regional (UMR) diterapkan sebagai bentuk jalan tengah antara kepentingan perlindungan bisnis dan tenaga kerja, hal tersebut bisa menjadi beban daya saing kita jika setiap kenaikannya tidak diimbangi peningkatan skill tenaga kerjanya. Belum lagi dengan beban pesangon dan tunjangan yang mesti dikeluarkan pemilik usaha.
Titik tekannya bukan pada besar upahnya, tetapi kredibilitas angka yang wajib dibayarkan pengusaha mestinya sesuai dengan skill yang ditawarkan tenaga kerja. Untuk itu sistem pengupahan dengan based on performances juga menjadi faktor yang krusial untuk membangun daya saing bangsa di sisi investasi dan produksi. Faktor SDM akan senantiasa menjadi kunci yang perlu di-support melalui berbagai insentif agar kedua sisi (pebisnis dan tenaga kerja) dapat sama-sama diuntungkan.
Candra Fajri Ananda Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya