Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan
OKTOBER 2022 ini, tidak terasa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin telah memasuki usia tiga tahun. Tentu ini adalah tiga tahun yang tak mudah, di mana banyak sekali tantangan yang datang silih berganti. Cobaan terberat tentu unprecedented crisis berupa serangan Covid119, yang dikategorikan sebagai pandemi di awal periode pemerintahannya.
Pandemi Covid-19 ini adalah hal tersulit yang harus dihadapi oleh pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, begitu juga oleh setiap pemerintahan di seluruh dunia. Pandemi ini telah menciptakan krisis multidimensi yang berdampak pada perubahan hampir di seluruh aspek kehidupan.
Dari aspek ekonomi, dua sisi pokok perekonomian, supply dan demand, menghadapi tekanan terbesar dalam sejarah. Kondisi ini menekan perekonomian global memasuki periode hibernasi, diam tak bergerak.
Aspek kehidupan lain, seperti aspek sosial dan kesehatan, juga menghadapi tantangan yang tak kalah berat. Lebih dari 620 juta kasus Covid-19 tercatat di seluruh dunia, dengan korban meninggal dunia lebih dari 6,5 juta. Hingga hampir tiga tahun sejak Covid-19 ditetapkan sebagai pandemi, kasus demi kasus masih terus bermunculan. Bahkan, masyarakat dunia harus siap hidup berdampingan dengan virus Corona dalam jangka waktu yang lama.
Meskipun tantangan yang dihadapi dalam tiga tahun terakhir ini sangat berat, pemerintahan Jokowi-Ma’ruf nyatanya berhasil mengelola tantangan tersebut. Dari berbagai aspek kehidupan, Indonesia termasuk berhasil menangani pandemi. Terlebih dalam aspek ekonomi, dampak pandemi ke perekonomian Indonesia relatif moderat.
Bahkan, pemulihan ekonomi Indonesia relatif paling kuat. Pada kuartal II-2022, pertumbuhan ekonomi Indonesia telah mencapai 5,44% (year-on-year/yoy). Di saat negara lain masih berkutat pada pemulihan ekonomi, dalam tiga triwulan terakhir, Indonesia selalu berhasil mencatatkan pertumbuhan ekonomi di atas 5% (yoy). Capaian tersebut telah kembali ke level sebelum pandemi, bahkan sedikit lebih baik.
Namun demikian, pemerintah harus tetap waspada mengingat tantangan ekonomi global tak ada habisnya. Dalam beberapa waktu terakhir, ketika kondisi ekonomi berangsur pulih dari terjangan pandemi, harga minyak global melonjak naik. Sebab ia menjadi kebutuhan utama manusia, kenaikan harganya tentu saja menjadi masalah pelik.
Bahkan, pada Maret 2022 harga minyak menyentuh US$127 per barel, harga tertinggi dalam 14 tahun terakhir. Tingginya harga minyak mentah tentu membawa kompleksitas tersendiri dalam perekonomian nasional, sehingga keputusan sulit harus diambil, yaitu penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
Tantangan lain datang dari tingginya inflasi. Mayoritas negara di dunia saat ini sedang menghadapi laju inflasi yang tinggi. Bahkan, beberapa negara maju, seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, dan kawasan Eropa, sedang mengalami salah satu periode inflasi tertinggi dalam sejarahnya. Dampak lanjutan dari tingginya laju inflasi tersebut adalah pengetatan kebijakan moneter.
The Fed, bank sentral AS, telah menaikkan suku bunga acuan hingga 300 bps sepanjang 2022 ini. Demikian pula dengan Bank of England yang menaikkan suku bunga acuan sebesar 200 bps pada periode yang sama. Setali tiga uang, sejumlah bank sentral lainnya juga menaikkan suku bunga acuan untuk mengendalikan laju inflasi.
Pengetatan kebijakan moneter global tersebut tentu telah berdampak pada perekonomian. Sejumlah indikator ekonomi terpantau mulai melambat. Aktivitas di sektor manufaktur global, penjualan ritel, dan consumer confidence kembali memasuki tren penurunan.
Di sektor keuangan, sejumlah negara menghadapi pelemahan nilai tukar signifikan terhadap Dolar AS. Berkaca pada situasi tersebut, sejumlah negara diperkirakan akan masuk ke periode resesi. Survei yang dilansir Bloomberg menunjukkan adanya probability cukup tinggi terjadi resesi di sejumlah negara maju, seperti AS, Inggris, dan Eropa. Bahkan, China yang selama ini cukup resilien terhadap krisis ekonomi juga mulai mengalami perlambatan.
Proyeksi yang sama juga dikeluarkan oleh International Monetary Fund (IMF) melalui World Economic Outlook(WEO) edisi Oktober 2022. Dalam laporan tersebut, IMF menyatakan bahwa risiko terjadinya resesi pada tahun 2023 mendatang semakin meningkat. Bahkan, negara-negara yang diproyeksikan akan jatuh ke jurang resesi semakin bertambah banyak dibanding laporan pada periode sebelumnya.
Sejumlah negara maju tercatat di daftar tersebut, antara lain AS, Jerman, Inggris, Prancis, Jepang, Rusia, dan Italia. Untuk Indonesia, IMF mempertahankan proyeksi ekonomi sebesar 5,3% pada 2022 dan sedikit memangkas pertumbuhan ekonomi 2023 menjadi 5%, jauh di atas pertumbuhan ekonomi global yang sebesar 2,7% pada 2023 mendatang.
Tantangan-tantangan tersebut mau tidak mau akan mewarnai periode akhir pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden. Untuk itu, beberapa respons kebijakan akan terus disiapkan untuk mengantisipasi risiko global yang semakin eskalatif. Sekaligus menyiapkan soft landing bagi Pemerintahan periode ini.
Kebijakan Fiskal: Waspada, Responsif, Optimis
Respons kebijakan utama tentu berasal dari kebijakan fiskal. Desain kebijakan fiskal dirancang dalam mode waspada, antisipatif dan responsif untuk mengantisipasi arah ekonomi global yang semakin tidak menentu, walaupun kita semua harus optimistis bisa mengatasi semua tantangan.
APBN sebagai shock absorber akan terus digunakan untuk mengendalikan risiko, menjaga daya beli masyarakat, dan menjaga momentum pemulihan ekonomi melalui penguatan belanja prioritas. Optimalisasi belanja negara juga terus dilakukan oleh pemerintah, termasuk penguatan kebijakan subsidi dan kompensasi, serta belanja perlindungan sosial menjadi beberapa prioritas utama untuk melindungi daya beli masyarakat.
Terkait dengan daya beli masyarakat, sejumlah indikator konsumsi masih menunjukkan tren positif. Angka penjualan penjualan ritel pada bulan Agustus 2022 tumbuh sebesar 4,9% (yoy). Selain itu, consumer confidence Indonesia pada September 2022 masih berada pada level optimis, yaitu 117,2.
Konsumen masih optimis terhadap perekonomian Indonesia saat ini maupun ekspektasi ke depan. Satu hal lain yang menenangkan adalah ekspektasi terhadap penghasilan konsumen ke depan yang relatif stabil.
Belanja negara yang berkualitas tentu membutuhkan pendapatan negara yang optimal. Untuk itu, pendapatan negara akan terus didorong, namun dengan tetap menjaga iklim investasi. Beberapa kebijakan di sektor pendapatan antara lain melanjutkan reformasi perpajakan, inovasi layanan, dan optimalisasi pengelolaan aset negara, termasuk percepatan RUU Cipta Kerja.
Kebijakan pendapatan dan belanja yang optimal akan mendukung upaya konsolidasi fiskal pada 2023 mendatang, dengan defisit anggaran yang ditetapkan sebesar kurang dari 3% terhadap PDB.
Bagaimana dengan sektor keuangan? Pemerintah dan otoritas di sektor keuangan akan terus menjaga stabilitas karena tingginya risiko yang datang dari gonjang ganjing sektor keuangan global.
Pemerintah bersama dengan Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam lingkup Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) akan terus melakukan koordinasi ketat untuk memantau dan menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan di tengah tingginya tingkat risiko.
Di tengah situasi perekonomian yang semakin menantang, koordinasi solid antarotoritas akan menjadi penentu mulus tidaknya pembangunan ekonomi Indonesia pada tahun-tahun mendatang.
Pada akhirnya, kredibilitas kebijakan menjadi kunci bagi kinerja perekonomian suatu negara. Hal tersebut telah terbukti sepanjang tiga tahun Pemerintahan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin. Konsistensi dan komitmen akan menentukan kredibilitas kebijakan yang akan dibuat.
Kita juga belajar, bahwa dalam suasana krisis, game changer atas sistuasi yang terjadi adalah kehadiran dan kebijakan pemerintah. Kita semua berharap momentum pemulihan, percepatan transformasi strukutural tetap terus terjaga dan secara konsisten dijalankan, amin.
Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Selasa, 18 Oktober 2022 – 14:46 WIB oleh Candra Fajri Ananda