GEJOLAK ketidakpastian ekonomi global masih terus berlanjut. Dinamika ketidakpastian ekonomi global yang ditengarai oleh perang dagang China-Amerika Serikat (AS) terus melemahkan pertumbuhan ekonomi global. Banyak faktor yang menyebabkan pertumbuhan global tertekan, salah satunya adalah ketidakpastian negosiasi dagang antara AS-China yang belum juga usai. Ketegangan adu kekuatan dagang AS-China tersebut secara langsung berdampak terhadap prospek pertumbuhan ekonomi dunia dan menuju ketidakpastian yang tinggi.
Bahkan, IMF menyebut bahwa ekonomi global kini berada dalam penurunan yang tersinkronisasi dan diprediksi akan bergerak pada laju yang paling lambat sejak krisis keuangan global terakhir. Beratnya tekanan ekonomi global semakin terlihat nyata dengan adanya perubahan penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia oleh IMF hingga empat kali sepanjang 2019. IMF memproyeksi pertumbuhan ekonomi dunia yang semula disampaikan pada April sebesar 3,2% menjadi 3% akhir tahun ini. Sementara untuk 2020, IMF menurunkan proyeksi 0,2% dari proyeksi awal lebih rendah menjadi 3,4%.Tak hanya itu, sikap pesimistis yang lebih mendalam terhadap pertumbuhan ekonomi global juga ditunjukkan oleh OECD Economic Outlook dalam laporannya yang memprediksi bahwa tahun 2020 ekonomi global hanya tumbuh dalam kisaran 2,9–3%. OECD melihat bahwa perlambatan ekonomi akan melanda berbagai negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang juga terdampak oleh guncangan stabilitas ekonomi global diprediksi oleh Bank Dunia bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akhir tahun ini hanya 5%, turun 0,2% dari yang sebelumnya diperkirakan mampu mencapai 5,2%. Setidaknya, pertumbuhan ekonomi Indonesia di pengujung tahun mampu didorong oleh beberapa faktor musiman pada kuartal IV/2019, di antaranya menguatnya konsumsi rumah tangga serta meningkatnya realisasi belanja pemerintah akhir kuartal setiap tahunnya. Perang dagang yang tak berkesudahan berdampak langsung terhadap kondisi neraca perdagangan Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, defisit perdagangan mencapai USD 2,5 miliar pada April 2019. Angka tersebut merupakan defisit terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Kepala BPS menyebutkan bahwa lonjakan defisit terjadi tak lain karena pengaruh situasi global akibat perang dagang yang memanas dalam sepekan lalu, sehingga permintaan dan harga barang ikut melemah. Sektor manufaktur yang menjadi andalan ekspor menurun 7,83%. Pertanian melemah sekitar 3%, dan juga ekspor tambang mengalami pelemahan terbesar hingga 12,26%. Perang dagang telah memicu ekspor nonmigas Indonesia ke tiga negara utama, yaitu China, Amerika Serikat, dan Jepang, mengalami penurunan. Menjaga Pertumbuhan Ekonomi Dinamika perekonomian dunia akibat perang dagang AS-China memang akan dirasakan hampir semua negara di dunia, terutama bagi negara yang memiliki tingkat forward linkage yang tinggi terhadap AS dan China. Indonesia sebagai salah satu dari negara yang memiliki keterkaitan yang tinggi terhadap salah satu negara tersebut, sejatinya perlu segera memperbaiki kondisi ekonomi domestik untuk mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi negaranya di tengah guncangan ketidakpastian ekonomi dunia. Sejatinya, di balik tantangan berat yang dihadapi neraca perdagangan tersebut, terdapat peluang bagi Indonesia. Perang dagang perlu disikapi dengan meningkatkan efisiensi produksi, dari mengurangi impor terhadap beberapa barang modal sampai bahan baku. Pengurangan impor ini diharapkan akan mendorong masuknya investasi riil di sektor industri dengan dibangunnya industri dari hulu sampai hilir. Tekanan ini juga diharapkan dapat mendorong kemandirian bangsa, mendorong bangsa ini untuk bisa mengolah sumber daya sendiri, menghemat penggunaan sumber daya alam, dan menciptakan sumber daya pengganti. Peningkatan industri tentunya juga akan meningkatkan penerimaan pajak. Di balik perang dagang ini, Indonesia diharapkan dapat mengambil peluang untuk memicu kenaikan pajak, sehingga pajak dapat digunakan sebagai sumber bagi kemandirian bangsa. Sayangnya, hingga pengujung 2019, target perpajakan belum terpenuhi. Perlambatan global memengaruhi ekonomi dalam negeri menjadi salah satu alasannya. Pemerintah sebelumnya menargetkan penerimaan pajak dalam APBN 2019 sebesar Rp1.577 triliun, sedangkan penerimaan pajak pada semester I sebesar Rp603,34 triliun. Angka itu mencapai 38,25% dari target itu. Sebelumnya, risiko shortfall penerimaan pajak diproyeksikan terus berlanjut karena hingga 7 Oktober 2019, realisasi penerimaan pajak hanya Rp912 triliun atau minus 0,31%. Dengan tren penerimaan yang minus 0,32%, realisasi penerimaan pajak tahun ini kemungkinan hanya akan berada pada angka 85–87% atau Rp1.340,8 triliun–1.372,4 triliun dari target penerimaan Rp1.577,5 triliun. Jumlah penerimaan pajak yang sudah dicapai saat ini sebenarnya belum mencapai potensi maksimal yang seharusnya mampu dikumpulkan negara. Belum optimalnya kinerja pemerintah dalam perpajakan terlihat dari tax effort dan tax ratio.
Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa tax effort di Indonesia yang merupakan perbandingan antara jumlah pajak yang diterima dan potensi yang ada, nilainya baru mencapai 43–45%, yang seharusnya negara masih memiliki potensi penerimaan pajak yang bisa digali sekitar 55–57%. Sementara tax ratio, yang merupakan perbandingan antara penerimaan pajak terhadap pendapatan domestik bruto, baru mencapai sekitar 11%. Berdasarkan standar yang ditetapkan IMF, standar tax ratio untuk negara Indonesia minimal 12,5–15%. Menaikkan tax ratio bukanlah perkara mudah. Ada banyak faktor yang memengaruhi pencapaian tax ratio suatu negara, antara lain kondisi ekonomi, regulasi, penegakan hukum, dan kesadaran pajak masyarakat untuk membayar pajak. Salah satu langkah perbaikan perpajakan yang dapat dilakukan yakni melalui tahapan “relaksasi pajak”. Relaksasi pajak merupakan strategi medium term untuk memberikan insentif bagi pertumbuhan ekonomi, khususnya industri pengolahan. Penerimaan pajak dari sektor manufaktur yang kontribusinya mencapai 28,9% terhadap penerimaan justru terkontraksi sebesar 4,8% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Industri manufaktur hingga Agustus 2019 menyumbang penerimaan perpajakan sebesar Rp215,58 triliun. Padahal, pada periode yang sama tahun sebelumnya, sektor ini berhasil tumbuh 13,4%. Perlambatan perdagangan dunia menyebabkan permintaan barang menurun sehingga menekan kinerja ekspor. Hal ini pada akhirnya berdampak pada pendapatan perusahaan sehingga perusahaan pun mengurangi impor atas barang input, sehingga banyak sektor perekonomian termasuk industri manufaktur, tidak mampu membayarkan pajak sebesar yang dibayarkan pada tahun sebelumnya. The Policy Mix Dalam kebijakan suatu negara diperlukan adanya gabungan kebijakan (policy mix) yang saling terkoordinasi dengan baik. Koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter diperlukan untuk menghindari tumpang tindih kebijakan dan kegagalan kebijakan. Koordinasi yang baik dilakukan untuk menghindari informasi yang asimetris (asymmetric information), di mana informasi yang tidak seimbang antara kebijakan pemerintah dan ekspektasi rumah tangga atau perusahaan akan memicu adanya kegagalan kebijakan tersebut. Selain itu, policy mix juga diperlukan untuk menghindari kebijakan yang saling meniadakan sehingga kebijakan menjadi gagal dalam pencapaian tujuan. Selain dari sisi fiskal melalui relaksasi pajak sebagai strategi medium term untuk menstimulusi pertumbuhan industri, pada sisi moneter juga perlu melakukan kebijakan yang mendukung sektor riil untuk tumbuh di tengah ketidakpastian ekonomi global.Menjaga stabilitas nilai rupiah dan menurunkan tingkat suku bunga acuan dapat diharapkan bisa menggairahkan dunia usaha ataupun masyarakat untuk mengambil kredit dan bisa mendorong kinerja perusahaan semakin membaik sehingga perekonomian semakin maju. Bank Indonesia saat ini telah menurunkan tingkat suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate dari level 6% menjadi 5%. Hal tersebut dapat menjadi dukungan untuk mendorong momentum pertumbuhan ekonomi domestik di tengah kondisi ekonomi global yang melambat. Penurunan suku bunga acuan diharapkan mampu mempercepat laju penurunan suku bunga kredit perbankan, sehingga minat rumah tangga dan dunia usaha untuk berekspansi akan meningkat. Selanjutnya, fakta tak terbantahkan bahwa gejolak ekonomi dunia menyebabkan nilai tukar volatil. Padahal, stabilitas nilai tukar menjadi hal yang penting bagi pelaku usaha untuk dapat menjalankan bisnisnya dengan baik. Nilai tukar yang volatil secara drastis tak terkendali akan menyebabkan kesulitan bagi dunia usaha dalam merencanakan usahanya, terutama bagi mereka yang mendatangkan bahan baku dari luar negeri atau menjual barangnya ke pasar ekspor. Oleh karena itu, pengelolaan nilai mata uang yang relatif stabil menjadi salah satu faktor moneter yang mendukung perekonomian secara makro. Menghadapi tantangan ekonomi global memang bukan hal yang mudah, namun jika dilakukan komunikasi dan koordinasi yang baik antarpemangku kebijakan ekonomi, baik dari sisi fiskal maupun moneter, maka bukan hal yang tak mungkin jika tantangan ketidakpastian ekonomi global tersebut akan menjadi peluang bagi Indonesia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih baik pada 2020 ke depan. Semoga!
Candra Fajri Ananda Guru Besar dan Dosen FEB Universitas Brawijaya