Ancaman Inflasi Imbas Invasi Rusia ke Ukraina

Candra Fajri Ananda

Staf Khusus Menteri Keuangan RI

Konflik antara Rusia dan Ukraina memanas seiring operasi militer khusus yang dilakukan oleh Rusia. Eskalasi ketegangan di antara kedua negara ini diprediksi berimbas pada ekonomi global ketika dunia mulai bangkit di tengah pandemi Covid-19 yang masih melanda.

Masalah geopolitik yang terjadi saat ini akan berimbas pada upaya pemulihan ekonomi global. Invasi Rusia terhadap Ukraina berpotensi menghambat aliran perdagangan dunia. Meskipun Ukraina bukan termasuk negara dengan size dan intensitas perdagangan yang besar, keterlibatan negara lain, terutama NATO, dapat memberikan efek domino yang berarti pada ekonomi dunia.

Pasalnya, sumber daya negara Eropa dan Amerika Serikat (AS) berpotensi akan bergeser ke perang Rusia-Ukraina. Hal ini selanjutnya akan menghambat proses pemulihan ekonomi negara-negara anggota NATO yang maju. Invasi Rusia secara tidak langsung dapat menghambat perekonomian global dalam derajat tertentu.

Hingga kini invasi Rusia ke Ukraina masih berlangsung dan tentu akan berimbas pada pertumbuhan ekonomi global yang ujungnya akan memengaruhi dan memperlambat pemulihan ekonomi, terutama emerging market seperti Indonesia. Jika konflik terus berlanjut dan negara-negara lain bereaksi dengan memblokade aliran komoditas Rusia seperti minyak bumi, nikel, aluminium, paladium, dan gandum, ini akan berdampak kuat pada peningkatan harga komoditas dunia ke level yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Dampak terhadap Ekonomi Indonesia

Perekonomian Indonesia pada 2021 telah lepas dari resesi dan mampu tumbuh positif di level 3,69%. Capaian pertumbuhan ekonomi ini sekaligus menandakan bahwa fase pemulihan ekonomi nasional berjalan tahun lalu. Pada 2022 target pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah 5,2%, menyiratkan upaya pemulihan ekonomi yang lebih akseleratif sehingga dapat segera menjalankan agenda transformasi ekonomi.

Akan tetapi perang, khususnya Rusia dan Ukraina, yang memicu kenaikan harga minyak dunia lebih tinggi dapat menjadi batu sandungan bagi pemulihan ekonomi nasional dan meningkatkan ketidakpastian dunia bisnis. Lembaga kajian ekonomi dan keuangan, Institute for Development of Economics and Finance (Indef), memproyeksikan ekonomi Indonesia akan turun 0,014% akibat konflik Rusia dan Ukraina yang saat ini tengah berlangsung. Karena itu, penting bagi Indonesia untuk dapat menjaga momentum pemulihan ekonomi di tengah geopolitik global yang memanas dan kenaikan harga minyak dunia.

Selanjutnya ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina yang memanas turut menjadikan harga minyak mentah dunia mulai mendidih, yang akan berimplikasi langsung terhadap belanja subsidi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), mengingat Indonesia sebagai negara importir minyak.

Indonesia memiliki ketergantungan minyak cukup besar terhadap luar negeri, di antaranya 27% bahan bakar minyak (BBM) impor, bahan bakar bensin 56%, dan elpiji 85%. Pada APBN diasumsikan bahwa harga minyak acuan pada 2022 senilai USD63 per barel. Di sisi lain, saat ini tercatat bahwa minyak mentah jenis Brent dan jenis light sweet masing-masing menguat 2,43% dan 1,97% sepanjang pekan. Kini harga minyak mentah dunia Brent sudah menembus di atas USD100 per barrel yang mendorong kenaikan harga minyak sawit mentah (CPO) sebesar USD1.550 per ton dan harga batubara di atas USD350 per ton.

Kenaikan harga minyak secara terus-menerus akibat perang Rusia-Ukraina menjadi sangat dilematis karena secara langsung dapat memicu terjadinya inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat di tengah pemulihan ekonomi nasional pascapandemi Covid-19. Adapun kenaikan harga komoditas dunia: CPO, batubara, serta gas akan mendorong perbaikan pada penerimaan negara.

Di lain sisi, kenaikan harga minyak memicu kenaikan harga barang lain. Diprediksikan harga komoditas lain juga akan mengikuti seperti daging akan naik hingga 0,07%, ekstraksi (gas dan listrik) 0,19%, pangan 0,05%, makanan olahan 0,08%, serta transportasi dan komunikasi 0,1%. Karena itu, pengendalian inflasi mutlak diperlukan untuk menjaga daya beli masyarakat. Apalagi kontribusi konsumsi pada pertumbuhan PDB mencapai 58%.

Menjaga Kestabilan Ekonomi Dalam Negeri

Di tengah tantangan ketidakpastian ekonomi global yang kian meningkat akibat perubahan geopolitik saat ini, Indonesia tetap harus menjaga optimisme dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi di atas 5%. Karena itu, pemerintah perlu terus memastikan stabilitas harga kebutuhan pokok masyarakat dapat terjaga dengan baik hingga akhir tahun.

Kenaikan harga minyak dan ancaman terjadinya inflasi dapat diatasi dengan antisipasi kenaikan biaya logistik. Di tengah semakin melonjaknya harga minyak global, Indonesia diharapkan dapat tetap menjaga penyaluran subsidi energi, meskipun di sisi lain beban subsidi energi dalam APBN mengalami lonjakan. Pada Januari 2022 subsidi energi telah mencapai Rp10,2 triliun. Angka tersebut empat kali lipat lebih besar dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp2,3 triliun.

Selain itu, sebagai pemegang Presidensi G-20, Indonesia perlu aktif menjaga stabilitas perekonomian dunia. Pemerintah, melalui G-20, dapat mendorong kerja sama seluruh negara serta menyuarakan ajakan perdamaian untuk mencegah peperangan kian luas. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah menjembatani perbedaan kepentingan AS, NATO, dan Rusia di Ukraina. Berkaitan dengan konflik tersebut, Indonesia harus bergerak cepat dengan melakukan pendekatan ke negara-negara anggota G-20 untuk bersama-sama mencegah peperangan agar tidak meluas serta mendorong realisasi kerja sama yang sudah disepakati.

Indonesia dengan politik luar negeri bebas aktif tidak boleh sekadar menjadi penonton, tetapi harus mengambil berbagai inisiatif agar perdamaian tercipta sehingga perekonomian dapat turut terjaga. Semoga.

Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Senin, 07 Maret 2022 – 15:18 WIB oleh Koran SINDO dengan judul “Ancaman Inflasi Imbas Invasi Rusia ke Ukraina”.

Scroll to Top
Skip to content