PADA hakikatnya, kebijakan fiskal adalah bentuk intervensi pemerintah dalam proses pembangunan sistem ekonomi yang sehat dan stabil. Konsep normatif yang sering kali diusung ialah apa pun akan dilakukan pemerintah selama kualitas pertumbuhan ekonomi terjaga dan tidak ada legal formal yang dilanggar.
Keikutsertaan pemerintah dalam pembangunan dijalankan melalui tiga fungsi dasar kebijakan fiskal, yakni distribusi, alokasi, dan stabilisasi. Dengan adanya kekuatan fiskal inilah pemerintah memiliki bargaining power di hadapan mitra-mitra pembangunannya (misal: pengusaha, masyarakat, atau bahkan antarpemerintah).
Nah, untuk menjalankan tiga fungsi tersebut, pemerintah tentu membutuhkan stok modal yang mumpuni. Dari dua teori tersebut, kita dapat menarik sebuah premis bahwa tanpa adanya kebijakan/kapasitas fiskal, keberadaan pemerintah akan sangat mungkin cenderung “diabaikan” (ignored) oleh mitra-mitranya. Fenomena tersebut sudah sangat umum terjadi di hampir seluruh negara berkembang.
Dan pada 2019 ini, kapasitas fiskal pemerintah dari sisi penerimaan sangat mungkin akan terganggu dengan adanya beberapa dinamika internal dan global. Dalam dua pekan terakhir, ruang komunikasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) cukup sibuk karena berita mengenai insentif perpajakan.
Dua pekan yang lalu, pemerintah tengah mengkaji rencana penurunan Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari 25% menjadi 20%. Sepekan berselang, pemerintah kembali menyampaikan wacana akan menerbitkan insentif fiskal di sektor transportasi udara dan properti.
Transportasi udara kabarnya akan diberikan insentif pada tiga biaya yang terdiri atas jasa sewa, perawatan, dan perbaikan pesawat. Pemerintah berwacana akan melakukan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 69 Tahun 2015 dengan membebaskan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jasa sewa pesawat dari luar negeri, agar maskapai dalam negeri kembali kompetitif dari sisi layanan harga.
Wacana ini menjadi respons atas keluhan yang tiada henti diembuskan konsumen atas mahalnya harga tiket pesawat. Sebagaimana telah kita ketahui, beban mahal atas tiket pesawat telah berimbas pada inflasi berbagai komoditi dan menghambat kinerja sektor pariwisata beserta produk-produk pendukungnya.
Adapun skema insentif untuk sektor properti bahkan sudah mulai digulirkan sejak Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 92 Tahun 2019 diterbitkan. PMK ini membahas pemangkasan tarif PPh 22 untuk hunian mewah, perubahan batas nilai hunian mewah yang terkena PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah), serta juga menyinggung terkait penurunan PPh kendaraan bermotor dengan harga di atas Rp2 miliar. Alibi yang digunakan pemerintah ialah dengan mempertimbangkan kinerja industri properti domestik di kelas high-end yang pertumbuhannya tergolong paling rendah dibandingkan kelas lainnya.
Menurut catatan Kemenkeu, sektor properti memiliki multiplier effect yang cukup berdampak terhadap perekonomian dalam negeri, mulai sektor konstruksi, keuangan, perdagangan, hingga makanan-minuman, sehingga mereka juga layak di-inject agar kembali berdaya baik dari sisi mikro maupun makro. Dalam kacamata normatif, memang efforts tersebut relatif linier dengan upaya meningkatkan daya beli atau investasi masyarakat.
Akan tetapi, perlu kita tinjau kembali bagaimana nanti dampaknya minimal dari dua sisi; yang pertama terkait dengan efektivitas kebijakan dan yang kedua tentu terkait dengan dampak terhadap kantong penerimaan negara. Jangan sampai kebijakan yang akan dilaksanakan nanti ibarat kata pepatah, jauh api dari panggang. Alih-alih hendak merangsang pertumbuhan ekonomi, justru derajat politik pemerintah bisa turun sebab kantong keuangannya yang terancam kembang-kempis.
Patut Waspada
Alasan pemerintah untuk mengkaji penurunan PPh Badan karena daya saing tarif sebenarnya cukup masuk akal. Jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, tarif PPh Badan Indonesia memang tergolong tinggi sebesar 25%.
Persentase tersebut hanya lebih rendah daripada Filipina yang mematok PPh Badan sebesar 30% dan Thailand yang angkanya persis dengan kita, sedangkan tetangga lainnya berada di bawah Indonesia mulai Singapura (17%), Vietnam (20%), dan Malaysia (24%). Jika dibandingkan dengan negara-negara anggota OECD, persentase kita juga masih di atas rata-rata kelompok tersebut yang hanya 23,69%.
Beberapa negara Eropa juga menjadi rujukan atas tarif yang lebih mahal bahkan di atas 30%. Namun, kondisinya cukup timpang dibandingkan dengan Indonesia, karena di negara-negara tersebut layanan publiknya relatif memenuhi ekspektasi masyarakat (revenue-spending) sehingga tarif berapa pun akan lebih diterima objek pajak.
Oleh karena itu, yang patut kita perhatikan, apakah benar penurunan PPh Badan ini akan langsung menarik minat banyak investor ke Indonesia? Jawaban sederhananya, belum tentu demikian.
Kalau boleh jujur, faktor tarif pajak bisa dibilang hanya irisan kecil jika dibandingkan indikator-indikator daya saing lainnya. Penurunan tarif tidak akan serta-merta membuat Indonesia menjadi “kembang desa” karena kita masih memiliki banyak pekerjaan rumah (PR) mulai layanan publik dan pemberantasan KKN, konsistensi kebijakan, tingkat suku bunga kredit, administrasi perpajakan, harga properti, ketersediaan infrastruktur yang efisien (khususnya transportasi, informasi dan komunikasi, energi, dan air bersih), kebergantungan bahan baku dan barang modal dari impor, adaptasi teknologi, kualitas SDM yang memadai, iklim persaingan, dan sebagainya.
Jadi menurut pandangan penulis, jika pemerintah tidak berupaya simultan pada PR-PR lainnya maka dampak dari penurunan PPh Badan ini bisa jadi akan tergolong sangat kecil dan masih jauh dari yang diharapkan. Justru yang perlu kita waspadai bersama adalah dampaknya terhadap potensi penurunan (shortfall) penerimaan negara, terutama dari komponen pajak.
Shortfall penerimaan memang sudah menjadi bagian dari dinamika fiskal ketika pemerintah memberikan insentif berupa pengurangan pajak (tax allowance). Kondisinya mungkin akan berbeda jika insentif tax allowance tersebut diimbangi dengan kenaikan basis pajak (tax base) atau kepatuhan pajak (tax compliance).
Nah, di Indonesia sendiri kita masih memiliki PR yang berat untuk menuntaskan persoalan data perpajakan dan tingkat kepatuhan. Bahkan menurut survei Ease Doing of Business 2019, yang salah satu indikatornya merangkum tentang paying taxes, posisi kita tercecer di urutan 112 dari 140 negara dunia.
Oleh karena itu, banyak pengamat yang memprediksi tahun ini potensi shortfall akan lebih menguat ketimbang melahirkan disiplin pajak. Kredibilitas pemerintah juga bisa akan jebol karena target pertumbuhan pajak di tahun ini sudah sangat ambisius di atas 15%.
Sebagai informasi tambahan, target penerimaan pajak tahun ini mencapai Rp1.577,6 triliun. Angka realisasi per Mei baru sebesar Rp496,6 triliun atau hanya tumbuh 2,4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Melihat gap antara target dan realisasi pertumbuhan yang sangat jomplang, pemerintah perlu extra-effort agar wacana tersebut akan berjalan komprehensif sesuai dengan ekspektasi yang dibutuhkan. Apalagi, realisasi pertumbuhan ekonomi juga belum searah dengan target sebagaimana yang tertuang dalam APBN 2019.
Faktor lain yang juga mengkhawatirkan adalah kinerja ekspor-impor yang kompak mengalami perlambatan, yakni masing-masing -9,23% dan -6,60% selama Januari–Mei 2019 (yoy). Hasil ini sebagian besar menunjukkan lesunya pergerakan ekonomi di tahun berjalan. Jika tidak segera ditanggulangi, kondisinya tentu akan lebih mengkhawatirkan lagi ke depannya.
Penulis ingin menyampai saran kepada pemerintah bahwa untuk memperbaiki kapasitas perekonomian kita secara luas maka kita perlu memastikan bahwa orientasi kebijakan disusun secara konsisten, berorientasi masa depan, dan menyesuaikan dengan karakteristik objek yang terlibat dalam kebijakan tersebut.
Wacana tax allowance mungkin disambut positif oleh para pengusaha karena akan meringankan sebagian beban pengeluaran. Akan tetapi, hal tersebut akan lebih ideal lagi jika mereka juga “diringankan” dari sisi beban biaya produksi dan/atau kualitas tenaga kerja yang lebih bersaing.
Dalam perspektif fiskal, ancaman atas dampak kebijakan ini adalah penurunan penerimaan dan pada giliran berikutnya bisa menghambat pencapaian target pertumbuhan ekonomi.
Langkah yang lebih urgent sebenarnya ialah bagaimana caranya kepatuhan pajak bisa lebih meningkat atau fokus terhadap peningkatan modal sosial dengan wajib pajak. Untuk itu, pemerintah perlu berhati-hati dalam “mengawal” semua kebijakan fiskal, termasuk di dalamnya wacana mengenai pemberian tax allowance ini.
Candra Fajri Ananda Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya