Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
Saat ini orang melihat pandemi sudah mereda. Banyak yang berharap pandemi ini berakhir menjadi endemi . Namun ternyata ancaman berikutnya muncul dengan krisis yang lain.
Ancaman krisis energi, pangan, dan keuangan di berbagai negara kini justru muncul di tengah upaya pemulihan ekonomi masing-masing. Otoritas pemerintahan di negara-negara di dunia pun dihadapkan pada kondisi perekonomian yang menimbulkan pilihan kebijakan (policy trade-off) yang sulit dan tidak memberikan banyak pilihan (mix policy). Indonesia saat ini dihadapkan padadua pilihankebijakan.Pertama, mengembalikan stabilitas harga atau pengendalian inflasi di tengah inflasi perekonomian dunia yang sedang tinggi. Dalam kondisi ini, melakukan pengetatan kebijakan moneter atau fiskal tentu akan berdampak negatif terhadap target pertumbuhan.
Pilihan kedua adalah tetap mendukung akselerasi pemulihan ekonomi setelah terpukul pandemi melalui kebijakan subsidi atau relaksasi perpajakan. Berhadapan dengan dua pilihan tak mudah itu, pemerintah diharapkan bisa mencari formula dengan kalkulasi tepat agar risiko global tak sampai menggiring Indonesia pada kondisi stagflasi, yaitu fenomena inflasi tinggi dan tingkat produksi tetap atau bahkan menurun sebagaimana sempat terjadi di beberapa negara saat ini.
Uni Eropa dengan share perdagangan sebesar 11,46% mengalami inflasi sebesar 7,5% (yoy) pada Maret 2022. China yang merupakan mitra dagang terbesar Indonesia denganshareperdagangan 20,24% mencatatkan inflasi 2,1% (yoy) pada April 2022 yang merupakan level tertinggi sejak November 2021. Tak hanya itu, ancaman inflasi juga tak luput dari koreksi IMF terhadap angka proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2022 yang diturunkan dari 4,4% menjadi 3,6% dengan inflasi yang diperkirakan meningkat dari 3,9% menjadi 5,7% untuk kelompok negara maju dan dari 5,9% menjadi 8,7% untuk kelompok negara berkembang.
Di Indonesia, tingkat inflasi per April 2022 tercatat 0,95% terhadap Maret (mtm), tertinggi sejak Januari 2019. Apabila dihitung secara tahunan, inflasi mencapai 3,47%.
Nilai ini pun lebih tinggi bila dibandingkan dengan inflasi pada bulan sebelumnya yang sebesar 2,64% (yoy). Meski demikian tingkat inflasi Indonesia masih sesuai dengan sasarannya, berada pada rentang yang diasumsikan dalam APBN 2022 sebesar 2–4%.
Tantangan Ekonomi Inflasi dipandang sebagai salah satu faktor terpenting yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Ada berbagai pandangan mengenai dampak inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi, antara lain dikemukakan oleh para tokoh perspektif struktural danKeynesianyang percaya bahwa inflasi tidak berbahaya bagi pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain Monetarist berpendapat bahwa inflasi berbahaya bagi pertumbuhan ekonomi. Hal ini didukung oleh peristiwa pada 1970 di mana negara-negara dengan inflasi tinggi seperti Amerika Latin mulai mengalami penurunan tingkat pertumbuhan.
Peningkatan inflasi yang terus terjadi di berbagai negara, mengarah pada desakan kebijakan peningkatan tingkat suku bunga. Bank sentral memiliki seperangkat kebijakan yang mampu memengaruhi tingkat inflasi guna mengatur stabilitas harga dan pertumbuhan ekonomi. Tak aneh karena bank sentral adalah pemegang otoritas tertinggi dalam menentukan kebijakan moneter. Maka, atas kewenangan tersebut, bank sentral juga dapat memanipulasi suku bunga jangka pendek untuk memengaruhi tingkat inflasi dalam perekonomian.
Peningkatan suku bunga masih diyakini mampu menjadi formula efektif untuk menurunkan tingginya inflasi. Para ekonom meyakini bahwa ketika suku bunga naik, permintaan terhadap pinjaman akan menurun karena masyarakat lebih memilih untuk menabung dengan harapan tingkat pengembalian dari tabungan lebih tinggi.
Hal itu selanjutnya akan berimbas pada lebih sedikitnya jumlah uang yang dibelanjakan sehingga terjadi perlambatan perekonomian dan inflasi mengalami penurunan. Data menunjukkan bahwa pejabat pembuat kebijakan The Fed, bank sentral AS, telah menanggapi kenaikan inflasi ini dengan dua kali menaikkan suku bunga, termasuk kenaikan agresif 50 basis poin (bps) pada pekan lalu. Meski demikian The Fed masih membuka peluang untuk menaikkan suku bunga 50 bps dalam beberapa waktu ke depan. Sementara itu bank sentral Inggris juga telah merilis kebijakan kenaikan suku bunga sebanyak dua kali yang masing-masing sebesar 25 bps.
Ancaman inflasi di tengah proses pemulihan ekonomi membawa dilema yang tak mudah dihadapi. Formula menaikkan tingkat suku bunga mutlak dapat mengganggu proses pemulihan ekonomi. Pasalnya, selama masa pemulihan ekonomi, BI telah mempertahankan suku bunga rendah dan longgarnya likuiditas demi mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pada kondisi ini, prinsip kehati-hatian sangat diperlukan untuk menentukan langkah kebijakan dalam menaikkan tingkat suku bunga. Di India, Moody’s Analytics mencatat bahwa bank sentral India mengambil pendekatan lebih hati-hati walaupun inflasi sudah di atas tingkat kenyamanan hingga semester I/2022. Selain itu India tetap fokus pada pemulihan ekonomi domestik sebagai upaya meredam inflasi yang sudah bergerak naik.
Di Indonesia, perbankan saat ini masih terkendala perkembangan sektor riil yang masih tumbuh rendah. Bank Indonesia mencatat bahwa pertumbuhan kredit per Desember 2021 baru pada angka 4,9% (yoy). Oleh sebab itu jika tingkat bunga harus meningkat untuk meredam tekanan inflasi, peran APBN semakin besar dan penting untuk menggerakkan sektor riil.
Stabilisasi Ekonomi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah kunci penopangdaya beli masyarakatdan peredam inflasi (shock absorber). Peran APBN dipastikan dapat menurunkan tensi kenaikan harga berbagai komoditas yang dipicu ketidakpastian perekonomian global. Anggaran belanja yang dikeluarkan pemerintah melalui bantuan sosial merupakan salah satu formula belanja yang diharapkan dapat menopang daya beli masyarakat selama terjadi ancaman inflasi. Baru-baru ini pemerintah juga telah merevisi jumlah anggaran untuk kompensasi energi dari Rp18,5 triliun menjadi Rp234,6 triliun.
Dengan demikian, total anggaran untuk subsidi dan kompensasi energi melonjak dari Rp152,5 triliun menjadi Rp443,6 triliun. Sejalan dengan itu, pemerintah juga menambah anggaran untuk perlindungan sosial sebesar Rp18,6 triliun guna menjaga daya beli di tengah ancaman lonjakan inflasi.
Sebagai aktor penting, program subsidi dan perlindungan sosial dari APBN akan terus diberikan seperti Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan sembako, Kartu Prakerja, BLT Desa, Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), serta program subsidi bunga bagi masyarakat untuk meningkatkan usahanya (UMKM) dengan pendanaan murah melalui program Kredit Umi (Kredit Ultramikro) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Melalui berbagai upaya dan formula desain kebijakan yang disiapkan, sepatutnya kita terus optimistis bahwa gejolak inflasi tak akan mampu menghantam ekonomi di Indonesia. Upaya membangun kebersamaan, semangat nasionalisme, serta pencegahan kegiatan ekonomi yang mengancam mekanisme seperti penimbunan barang, korupsi maupun kejahatan ekonomi lainnya perlu terus diperangi guna mewujudkan Indonesia bersih. Berbagai bentuk usaha tersebut semakin meyakinkan kita bisa mewujudkan ekonomi Indonesia yang tangguh dan berkeadilan. Semoga.
Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Senin, 23 Mei 2022 – 09:06 WIB oleh Koran SINDO dengan judul “APBN Penjaga Ekonomi”