USAHA Mikro Kecil Menengah (UMKM) adalah aktor penting dalam perekonomian Tanah Air. Pada beberapa tahun terakhir sektor UMKM telah berhasil menjelma menjadi sumber penggerak ekonomi baru di Indonesia.
Kontribusi UMKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tercatat mencapai 61,41%. Melalui dominasi tersebut, UMKM berhasil menyerap hampir 97% total tenaga kerja nasional dan dari sisi jumlah unit usaha memiliki proporsi 99,99% dari total pelaku usaha di Indonesia, sekitar 62,9 juta unit, sementara usaha besar berjumlah 5.400 unit saja (0,01%). Oleh sebab itu, tak berlebihan jika mengatakan bahwa ekonomi Indonesia tumbuh pesat lewat sektor UMKM.
Peran UMKM terhadap perekonomian dan penyerapan tenaga kerja memang tidak lagi diragukan. Akan tetapi, dalam sektor perpajakan, UMKM belum mencerminkan kontribusi yang dominan sebagaimana pengaruhnya terhadap perekonomian dan penyerapan tenaga kerja.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (2019), kontribusi PPh final UMKM berjumlah Rp7,5 triliun, atau hanya sekitar 1,1% dari total penerimaan PPh secara keseluruhan di tahun yang sama sebesar Rp711,2 triliun. Sejatinya, besarnya kuantitas pelaku UMKM memiliki potensi wajib pajak yang sangat besar untuk mampu membantu negara dalam mendorong penerimaan nasional.
Salah satu penyebab rendahnya kontribusi pajak dari UMKM adalah karena tak sedikit dari pelaku UMKM yang memiliki kemampuan terbatas dalam pembukuan dan menjalani administrasi perpajakan. Hal tersebut menyebabkan pelaku UMKM kesusahan dalam melaksanakan kewajiban mereka sebagai wajib pajak.
Sebagaimana namanya, UMKM merupakan usaha dengan modal yang relatif kecil. Modal utama dari UMKM salah satunya adalah kreativitas dan sumber daya manusia. Maka tak heran jika banyak dari usaha berskala mikro di Indonesia yang belum mengerti mengenai laporan keuangan dan perpajakan, sehingga kontribusi UMKM terhadap pajak masihlah kecil.
Selain itu, rendahnya jumlah UMKM yang terdaftar pada sistem DJP pun merupakan salah satu penyebab rendahnya kontribusi UMKM terhadap pajak. Dari banyaknya UMKM yang beredar di Indonesia, hanya sebagian kecil yang terdaftar sehingga Wajib Pajak UMKM yang menyetor dan melaporkan pajak pun sedikit.
Pajak dan Peningkatan Kelas Bisnis UMKM
Pajak merupakan pungutan wajib dari rakyat untuk negara. Tak dapat dielakkan bahwa kontribusi UMKM dalam mendorong penerimaan negara melalui perpajakan sangat diharapkan dapat terus meningkat.
Meski demikian, pemungutan pajak yang dibebankan pada UMKM tidak serta merta ditujukan untuk membebani para pelaku UMKM, namun sebagai dorongan yang dapat membuka kesempatan luas bagi UMKM untuk “naik kelas” menjadi kegiatan ekonomi formal. Apabila UMKM dapat menjadi lembaga formal, maka potensi terhadap penerimaan pajak akan meningkat.
Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk memberikan kemudahan pajak bagi pelaku UMKM. Salah satunya adalah penurunan tarif Pajak UMKM melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018, Pemerintah berharap pelaku UMKM dapat “naik kelas” dari sektor ekonomi informal ke sektor ekonomi formal, memiliki izin usaha, terorganisir dengan baik minimal memiliki pembukuan, akses ke permodalan lebih luas, teknologi yang digunakan juga lebih maju, sehingga hasil produksi dan pemasarannya dapat lebih maju.
Hambatan yang kerap dihadapi para pelaku UMKM dalam mengembangkan usahanya saat ini adalah kurang baiknya pengelolaan laporan keuangan. Hal ini sering menjadi kambing hitam tutupnya suatu bidang usaha apalagi yang baru dirintis.
Padahal, laporan keuangan merupakan kunci keberhasilan UMKM. Bahkan, hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan pengelolaan keuangan yang buruk, maka dimungkinkan sebanyak 80% usahanya terancam akan mengalami kerugian bahkan hingga penutupan usaha di tahun ke lima karena kurang sehatnya keuangan pada perusahaan.
Pajak yang dikenakan oleh pemerintah pada UMKM sejatinya juga turut memberikan upaya perbaikan dalam sistim tata kelola keuangan bagi para pelaku usaha UMKM. Pemerintah berupaya menyediakan aplikasi guna mempermudah UMKM dalam menyusun laporan keuangan, karena pembukuan laporan keuangan merupakan dasar bagi keberlangsungan usaha dan berguna untuk pelaporan pajak.
Namun, pengetahuan mengenai digitalisasi juga masih terbatas sehingga Kemenkop dan UKM berupaya untuk melakukan perbaikan kualitas SDM. Pemerintah juga ikut melakukan penguatan database UMKM dan memberikan pelatihan terkait digitalisasi untuk meningkatkan kontribusinya terhadap penerimaan pajak.
Signifikansi Bankable dalam UMKM
Apabila ditelaah lebih lanjut, salah satu permasalahan umum yang banyak terjadi dalam UMKM adalah terkait prospek usaha yang kurang jelas serta perencanaan, visi dan misi yang belum tetap. Hal ini terjadi karena umumnya UMKM bersifat income gathering yaitu menaikkan pendapatan, dengan ciri-ciri usaha milik keluarga, menggunakan teknologi yang masih relatif sederhana, kurang memiliki akses permodalan (bankable), dan tidak ada pemisahan modal usaha dengan kebutuhan pribadi.
Kemampuan UMKM dalam mengakses permodalan memiliki hubungan searah dengan kemampuan UMKM dalam meningkatkan produktivitas dan daya saing. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa modal usaha berpengaruh positif terhadap pengembangan UMKM.
Modal usaha yang dimaksud adalah modal usaha yang digunakan dalam menunjang usaha serta kemudahan untuk mendapatkannya. Semakin mudah untuk mendapatkan modal usaha dan semakin besar jumlah modal yang didapatkan, maka dapat memberikan peningkatan dan perkembangan usaha. Meski demikian, ironisnya di Indonesia masih terdapat lebih dari 50 juta UMKM di Indonesia dinilai tidak bankable.
Peningkatan kualitas dan daya saing UMKM kini mutlak diperlukan. Pemberdayaan UMKM di tengah arus globalisasi dan tingginya persaingan membuat UMKM harus mampu mengadapai tantangan global, seperti meningkatkan inovasi produk dan jasa, pengembangan sumber daya manusia dan teknologi, serta perluasan area pemasaran.
Demi dapat mencapai peningkatan kualitas dan daya saing bagi UMKM, maka perbaikan manajemen dan tata kelola UMKM perlu segera ditingkatkan. Data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2020) menunjukkan bahwa kontribusi UMKM terhadap ekspor hanya sebesar 14,37%. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan negara lainnya di Asia, seperti Singapura (41%), Malaysia (18%), Thailand (29%), Jepang (25%), dan Tiongkok (60%).
Pada dasarnya di balik regulasi pajak yang dikenakan bagi UMKM adalah untuk memaksa UMKM dapat memiliki tata kelola usaha yang lebih baik, selain juga untuk mendorong kontribusinya bagi penerimaan negara. Peningkatan kelas bagi UMKM Indonesia yang sebagian besar masih berada di sektor informal perlu segera dilakukan agar akses permodalan lebih mudah didapatkan sehingga UMKM lebih mudah pula meningkatkan usaha dan daya saingnya.
Di sisi lain, berbagai hal yang dilakukan oleh pemerintah tersebut diharapkan dapat meningkatkan kontribusi Wajib Pajak UMKM terhadap pajak negara. Hal tersebut akan sangat membantu bagi negara karena akan meningkatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dapat digunakan untuk melakukan pembangunan negara. Semoga.
Prof Candra Fajri Ananda PhD
Staf Khusus Kementerian Keuangan Republik Indonesia