Budaya dan Pembangunan

SELAMA ini kinerja pembangunan sering kali diukur dengan melihat indikator fundamental makroekonomi. Pertumbuhan ekonomi sering kali didewakan sebagai parameter keberhasilannya. Dan hingga saat ini hal itu masih bertahan sebagai patron khususnya oleh masyarakat awam. Kita sama-sama tahu bahwa sebagian besar masyarakat kita masih butuh edukasi untuk membantu memahami bagaimana sebaiknya menyikapi sebuah hasil pembangunan. Untuk itu tulisan ini dibuat sebagai bagian dari edukasi bahwa indikator pembangunan tidak cukup dinilai secara parsial.

Selain itu strategi pembangunan yang dapat digunakan juga relatif banyak dan beragam sehingga kita bisa berdiskusi secara praktis dan ilmiah bagaimana sebaiknya menata kebijakan yang lebih empiris dan komprehensif. Jika menggunakan perspektif nasional, pemerintah pusat selalu merilis asumsi makroekonomi sebagai muara dari kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun. Adapun asumsi makroekonomi yang saat ini digunakan adalah pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, tingkat suku bunga surat perbendaharaan negara (SPN) 3 bulan, nilai tukar rupiah, harga minyak mentah, serta lifting minyak dan gas. Di luar itu sebetulnya masih ada indikator lainnya seperti indeks pembangunan manusia (IPM), kemiskinan, ketimpangan pendapatan, kinerja pasar keuangan, dan indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH). Yang terbaru, beberapa pemerintah daerah juga sudah mulai memasukkan indeks kebahagiaan (happiness index) sebagai parameter keberhasilan. Nah, fakta yang menarik adalah bahwa dana transfer ke daerah yang jumlahnya terus meningkat setiap tahunnya ternyata tidak selalu linier dengan makna keberhasilan. Peningkatan IPM dan penanganan kemiskinan tidak cukup signifikan, malahan jurang ketimpangan menjadi kian lebar bila dibandingkan dengan sebelum era desentralisasi diterapkan. Sejak 2010 hingga 2017, kenaikan angka IPM cukup lempeng di kisaran 0,56-0,65 basis poin (bps) per tahun. Padahal peningkatan dana perimbangan sendiri sudah sangat signifikan dengan rata-rata 11,51% per tahun sejak 2010 silam. Sementara itu kemampuan untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan juga terlihat menurun selama satu dekade terakhir.

Jika periode 2009-2013 rata-rata jumlah penduduk miskin dapat diturunkan sebanyak 1.282 orang per tahun, pada 2014-2018 jumlahnya malah kian kgecil dengan hanya berkurang sebanyak 576 orang per tahun. Adapun terkait indikator ketimpangan pendapatan yang direfleksikan indeks gini juga kian lebar, terutama dalam kurun waktu 2000-2010. Namun akhir-akhir ini mulai tampak ada perbaikan kendati faktor penyebabnya masih bersifat paradoksal. Dari rekaman tersebut, kita bisa sedikit menyimpulkan bahwa sebenarnya ada beberapa masalah pembangunan yang lebih mendasar dan belum tertuntaskan. Kita boleh berbangga dengan capaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil di kisaran 5-6% per tahun. Akan tetapi masih banyak indikator yang tercatat cukup keropos dan lambat laun akan menggerogoti kualitas pembangunan kita.

Dari capaian indeks gini saja sudah menandakan bahwa kue pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati segelintir pihak. Adapun indikator IPM dan kemiskinan menjadi gambaran bahwa sistem pembangunan kita belum mampu mengatasi sendi-sendi utama permasalahan masyarakat, khususnya terkait dengan akses untuk hidup berkualitas dan pendapatan/pengeluaran yang layak. Bagaimana langkah kita selanjutnya? Sering TerlupakanJika kita ilustrasikan layaknya sebuah aliran sungai, maka IPM dapat kita posisikan sebagai hulu dan tingkat kesejahteraan (pendapatan dan konsumsi) merupakan hilir/muaranya. Hal ini telah diperkuat melalui data statistik, bahwa daerah dengan IPM terendah sekaligus menjadi daerah dengan rasio (persentase) kemiskinan tertinggi. Bila kita sandingkan kedua indikator tersebut, maka Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan tiga daerah dengan nilai IPM terendah sekaligus daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi secara nasional pada 2017. Hal yang sama juga terjadi pada kabupaten/kota di Jawa Timur di mana Sampang dan Bangkalan menjadi dua daerah dengan tingkat IPM terendah dan tingkat kemiskinan tertinggi pada tahun yang sama. Fenomena tersebut menjadi sebuah temuan yang menarik dan mendorong pada sebuah pemikiran bahwa pembangunan tidak cukup diselesaikan melalui bantuan dana pembiayaan, target pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan secara fisik (infrastruktur). Sebab ada pula persoalan-persoalan sosial seperti terkait perilaku masyarakat (human behaviour) yang tidak kalah penting untuk mendukung kualitas pembangunan di sebuah daerah. Faktor sosial budaya sering kali terlupakan untuk turut dikemas sebagai paket utuh dari sebuah pembangunan. Padahal budaya seringkali memengaruhi bagaimana perilaku masyarakat di dalam gaya hidupnya, misalnya untuk kehidupan sosial maupun berekonomi. Korelasi antara sosial budaya dan kualitas pembangunan memang terkadang sulit dideskripsikan melalui pendekatan statistik. Pasalnya produk budaya cenderung lebih dekat sebagai data kualitatif (non-numerik), sedangkan indikator kualitas pembangunan “dipaksa” untuk serba-terukur (numerik). Beberapa antropolog mendefinisikan budaya sebagai paket pengetahuan, kepercayaan, seni, norma/moral, pengalaman, dan kebiasaan yang bersifat turun-temurun dalam suatu organisasi/komunitas masyarakat. Belum ada tanda-tanda bagaimana produk budaya bisa kita olah sebagai potensi pembangunan. Akan tetapi jika terjemahan budaya kita daur ulang sebagai cara/perilaku individu untuk merefleksikan ide abstrak, tentang tata cara mengisi konsep-konsep kehidupannya, dari situlah kita berkesempatan untuk memandu agar produk budaya bisa mendukung peningkatan kualitas pembangunan.

Budaya bisa menjadi jembatan untuk menginfiltrasi kebiasaan-kebiasaan baru yang tujuannya adalah membangun karakteristik masyarakat setempat yang lebih ekonomis dan tidak resisten terhadap dinamika zaman. Berdasarkan karakteristik daerah yang IPM-nya relatif rendah tadi, kebanyakan aktivitas ekonominya masih dikelola secara tradisional sehingga butuh dukungan untuk meningkatkan nilai tambah ekonominya. Cara yang pertama, bisa melalui peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat. Budaya dalam pendidikan memberikan peluang terbukanya cakrawala baru dan pengetahuan yang lebih mendalam. Tujuannya adalah melahirkan kreativitas sehingga pilihan produksinya menjadi lebih beragam dan mampu memberikan nilai tambah terhadap potensi lokalnya. Misalnya untuk daerah dengan karakteristik agraris, dalam dinamikanya seringkali menjadi pihak yang kurang diuntungkan karena mereka relatif awam dengan tetek bengekmekanisme pasar.

Oleh karena itu mereka perlu dididik, misalnya dengan menjalankan industrialisasi produk pertanian (agroindustri). Tujuannya adalah untuk meningkatkan nilai tambah (shifting produksi) dan mengendalikan keseimbangan pasar supply-demand. Selain itu juga tidak mengubah struktur dan gejolak sosial secara ekstrem karena pertanian masih menjadi budaya ekonomi masyarakat setempat. Budaya sehat juga tidak kalah penting untuk menjaga produktivitas masyarakat. Semakin terjaga kesehatan masyarakat, kesempatan untuk berproduksi dan menghasilkan pendapatan akan semakin besar Cara yang kedua adalah pendekatan melalui lembaga sosial baik yang bersifat formal maupun informal. Bagi masyarakat yang hidupnya masih berkomunitas, lembaga sosial dianggap sebagai mata air yang mampu memengaruhi gaya pandangan/respons masyarakat terhadap suatu isu kehidupan.

Misalnya keberadaan kelompok pengajian/rohani, pondok pesantren, atau sekolah-sekolah yang berbasis keragaman sosial. Untuk itu budaya hidup yang sehat, produktif, dan kreatif perlu dimasukkan sebagai kurikulum pelengkap di samping ajaran khas yang mereka terapkan. Tujuannya agar mereka juga sadar bahwa budaya yang berkemajuan ini tidak kalah penting untuk menjaga kontinuitas kehidupan.

Candra Fajri Ananda Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

Scroll to Top
Skip to content