BERITA tentang ditolaknya laporan buku tahunan PT. Garuda Indonesia oleh dua komisarisnya cukup mengagetkan dan menarik untuk disimak. Sebagai perusahaan penerbangan pelat merah, kiprah mereka dalam pelayanan publik beberapa kali tampak sangat membanggakan, mulai dari apresiasi on time performance, penilaian sebagai maskapai bintang 5 hingga World’s Best Airline 2018. Akan tetapi di balik kemegahan itu semua ternyata tersimpan permasalahan dalam pengelolaan manajemen dan keuangan. Kendati demikian Menteri BUMN mengaku bahwa laporan keuangan yang disusun manajemen PT Garuda Indonesia sudah mendapat persetujuan dari OJK dan memperoleh predikat wajar dari auditor independen. Hanya saja penolakan dua komisaris pada saat rapat umum pemegang saham (RUPS) yang lalu berhasil memantik reaksi publik, ada apa dengan Garuda?
Pasang-Surut Operasional bisnis Garuda memang tengah banyak mendapat sorotan lantaran skema pengelolaannya yang sering kali dinilai tidak cukup efisien. Kinerja bisnis Garuda dalam lima tahun terakhir tercatat 2 kali mengalami kerugian, yakni pada 2014 dan 2017. Berdasarkan laporan keuangan tahunan Garuda Indonesia, pada 2014 yang lalu angka kerugian mencapai USD369 juta. Dua tahun berikutnya mulai membukukan profit bersih masing-masing sebesar USD78 juta dan USD9,36 juta. Pada 2017 juga Garuda mencatat kerugian sebesar USD213 juta. Dan pada akhirnya di tahun kemarin Garuda kembali mencatat keuntungan tipis sebesar USD5,01 juta. Konsultan penerbangan dari CommunicAvia menilai Garuda bisa terus “buntung” jika terus nekat melayani rute-rute yang tidak menguntungkan. Hal ini bisa diukur dari biaya untuk setiap kursi yang tersedia per kilometer (cost per available seat kilometre/CASK) untuk penerbangan domestik yang butuh USD7,4 sen pada 2018, sedangkan angka idealnya hanya berkisar USD6–6,5 sen. Efisiensi masih sangat bisa dilakukan Garuda lantaran pada rute internasionalnya mereka hanya butuh CASK sebesar USD5,66 sen. Jika ditelaah lebih mendalam, kantong bisnis Garuda yang pada tahun lalu terselamatkan dari kerugian lebih disebabkan adanya tambahan pendapatan dari hak pemasangan peralatan layanan konektivitas dan hiburan dalam pesawat yang nilainya cukup besar, yakni sekitar USD239,94 juta atau setara 86% dari total pendapatan lain-lain sebesar USD279 juta yang mencakup klaim asuransi, keuntungan revaluasi properti, keuntungan pelepasan aset, beserta sumber-sumber penerimaan lainnya. Pendapatan tersebut berasal dari hasil slot iklan yang masuk melalui fasilitas internet gratis di pesawat (free inflight connectivity) yang merupakan buah perjanjian kerja sama antara Garuda Indonesia Group dan PT Mahata Aero Teknologi selaku penyedia layanan internet. Tanpa pendapatan tersebut, mungkin keuntungan Garuda akan lebih kecil lagi (atau bahkan defisit) karena jumlah penumpangnya mengalami penurunan pada 2018. Secara detail, jumlah penumpang domestik turun 1,4% dari 19,2 juta pada 2017 menjadi 18,9 juta pada 2018. Jumlah penumpang internasional juga mengalami penurunan sebanyak 1,9%. Padahal jumlah penumpang maskapai penerbangan lain tengah mengalami pertumbuhan. Dari sisi tingkat keterisian penumpang juga tergolong cukup rendah, yaitu untuk penumpang domestik sebesar 74,6% dan internasional hanya terisi 71,9%. Distribusi pasar (market share) turut mengalami nasib serupa. Market share Garuda di pasar domestik turun dari 28,8% pada 2017 menjadi 26,9% pada 2018, sedangkan untuk lingkup internasional juga mengalami penurunan dari 25,7% menjadi 24% pada periode pengamatan yang sama. Tantangan lain juga bisa muncul dari biaya avtur, biaya bandara, biaya pemeliharaan, ataupun risiko kurs rupiah. Kondisi yang dialami Garuda mengingatkan kita betapa pentingnya good corporate governance sekalipun perusahaan itu merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kita tentu masih ingat ada begitu banyak memori mengenai BUMN andalan yang menjadi kebanggaan bersama seperti Pertamina, Industri Kereta Api (Inka), beberapa BUMN di bidang infrastruktur, asuransi, dan perbankan serta (tentu saja) Garuda Indonesia yang dalam sekian periode mampu menghasilkan citra dan dividen yang menguntungkan bagi perekonomian Indonesia. Dengan kondisi yang sekarang menyeruak dari tubuh Garuda, bisa jadi setelah ini akan banyak yang tergelitik untuk mengamati secara kritis bagaimana portofolio bisnis akan dijalankan pada BUMN beserta perusahaan milik daerah (BUMD). Kita tentu berharap seluruh BUMN dan BUMD mampu menjadi backbone yang kuat bagi perekonomian Indonesia di posisi masing-masing. Dan tentu saja dengan pengelolaan keuangan yang transparan, akuntabel, kredibel, serta profitable. Lalu bagaimana caranya? Pertama, kita melihat semakin banyak BUMN dan BUMD yang mulai kelimpungan karena sulit untuk terus eksis dan bersaing, terutama dengan pihak swasta. Penulis melihat model bisnis yang dijalankan sebagian besar perusahaan plat merah kurang dikelola secara efisien karena diisi dengan sistem yang “campur aduk”. Ada sebagian faktor yang disebabkan manajemen yang kurang capable, ada pula yang merasa aman karena ketika modalnya semakin terbatas masih bisa menuntut penyertaan modal dari APBN/D serta sekarang (yang mungkin bukan rahasia umum lagi) ada pula BUMN/D yang dikelola sebagai bagian dari alat politik. Solusinya cukup sederhana, yakni kembalikan bisnis BUMN pada idealismenya dan ajak mereka untuk menatap masa depan yang lebih cerah. Memang sebagian BUMN/D didirikan tidak untuk bisnis yang profit oriented, tetapi roda operasionalnya tetap harus dijalankan hingga mencapai tujuan pendiriannya. Restrukturisasi manajemen bisa menjadi solusi agar jajaran direksi dan komisionernya dapat diisi oleh orang-orang profesional yang memang memiliki kompetensi yang sesuai dengan core business yang dijalankan sehingga keberadaan BUMN dan BUMD tidak justru diminishing return terhadap kondisi ideal yang diharapkan masyarakat Indonesia. Kedua, misteri-misteri akuntansi yang selama ini bersembunyi (atau disembunyikan) mestinya mulai diungkap satu per satu. Pada saat Dahlan Iskan ditunjuk menjadi Menteri BUMN, ada cerita menarik bahwa BUMN “X” memiliki keuntungan secara akuntansi (tertulis), tetapi pada realitasnya justru mereka tengah mengalami kerugian.
Keberanian melantaikan BUMN dan BUMD ke bursa efek mestinya juga diimbangi dengan semangat untuk mengelola secara kredibel. Insiden yang menerpa Garuda bisa jadi pelajaran penting ke depannya, apalagi kebetulan dua komisioner yang menolak laporan keuangan adalah mereka yang memegang sebagian saham PT Garuda Indonesia. Kepercayaan publik tetap akan sangat dibutuhkan negara dalam pembangunan. Jangan sampai mencederainya hingga masyarakat merasa enggan untuk ikut memilikinya. Ketiga, ada baiknya jika BUMN dan BUMD juga dikelola sebagai soko guru perekonomian. Jejaring antara BUMN dan BUMN, BUMN dan BUMD, atau BUMN/D dan masyarakat perlu dibangun dan difasilitasi sebagai bagian dari hulu dan hilir yang sifatnya berkasih. Kriterianya cukup sederhana, yaitu terpusat pada bagaimana sistem operasional yang menawarkan efisiensi, profit, dan stabilitas dalam jangka panjang. BUMN/D perlu menjalankan skema bisnis yang dinamis agar sesuai dengan kebutuhan pasar. Untuk itu inovasi juga perlu dijalankan oleh BUMN/D. Selain itu juga perlu memerhatikan dan memanfaatkan potensi lokal sebagai bagian dari jantung hidupnya. Misalnya ketika minyak fosil ketersediaannya sudah tidak lagi efisien dalam jangka panjang, mereka perlu menghidupkan sumber daya alternatif yang terbarukan seperti energi matahari, air, angin, atau hasil olahan pertanian. Gerakan-gerakan untuk menghidupkan energi alternatif memang sudah dimulai di beberapa wilayah dan tindakan tersebut juga butuh political will yang kuat agar dapat segera dimassalkan. BUMN/D juga bisa berdampak banyak terhadap ekonomi lokal melalui pemberdayaan usaha mikro dan kecil yang hidup di sekitar lokasi perusahaan. Caranya bisa dengan melakukan pendampingan bisnis melalui corporate social responsibility (CSR), menjadikan mereka sebagai mitra perusahaan, atau bahkan sekadar menampung mereka sebagai penyedia makanan/minuman yang dapat dinikmati karyawan BUMN/D.
Candra Fajri Ananda Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya