Bunga Rendah, Pertumbuhan Melesat?

Get Ready to PKM: Upgrading PKM I Incredible 2016
25 September 2016
Bulan ini FEB UB Memperoleh 205 Kuota Wisudawan
27 September 2016

Saat ini kita tengah berdebar debar menanti perkembangan kinerja beberapa isu strategis sepanjang kuartal III 2016.

Yang paling awal disorot biasanya kinerja pertumbuhan ekonomi, baru setelahnya perhatian akan mengalir terhadap indikator dari lingkungan kesejahteraan sosial seperti tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan.

Tahun ini terasa lebih spesial karena kita punya hajatan besar berupa amnesti pajak yang konon selain untuk menambal shortfall pajak 2016 yang diproyeksi cukup besar, juga untuk mendorong reformasi sistem perpajakan Indonesia.
Berhubung periode pertama pengajuan pengampunan pajak akan berakhir tepat Jumat pekan ini (30/9/2016), beberapa hari ke depan pemerintah (dengan Ditjen Pajak sebagai ujung tombaknya) harus rela berlari sekencang-kencangnya agar hasil akhir di tahap pertama ini berdampak positif terhadap perkembangan politis dan ekonomis.

Di awal pembukaan semester II 2016, kita sudah disuguhi beberapa atraksi yang dapat mengubah peta kinerja pembangunan di sisa tahun 2016. Yang pertama tentu terkait dengan kebijakan pemangkasan anggaran yang membuat ruang fiskal pemerintah pusat dan daerah menjadi lebih sesak.

Yang kedua, deflasi 0,02% pada Agustus yang memiliki banyak makna tersirat terhadap kondisi pasar di sektor riil. Kita perlu berhati- hati menanggapi kedua kondisi anomali tersebut agar tidak terperosok ke jebakan psikologis ekonomi. Keberlangsungan amnesti pajak sepertinya didorong menjadi bumper untuk melindungi posisi keuangan negara dari defisit yang tidak terkendali sekaligus memperbesar daya investasi melalui produk repatriasi.

Gelagat positif sempat mengemuka pada realisasi penerimaan pajak berkat partisipasi beberapa taipan besar untuk mengajukan pengampunan pajak. Namun di tengah jalan, tantangan eksternal mulai muncul dari Singapura yang berkepentingan menjaga 40% aset perbankannya yang bersumber dari WNI. Berita tersebut direspons cepat oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang pekan lalu mengundang wajib pajak potensial dari kalangan pengusaha.

Hasil pertemuan tersebut turut menggodok beberapa isu terbaru seperti kemungkinan akan diperpanjangnya tahap pertama pemberlakuan pengampunan pajak dari rencana semula di pengujung September yang akan direvisi hingga akhir Desember.

Kita jangan terburu-buru meragukan konsistensi kebijakan pemerintah, karena kelonggaran yang ditawarkan hanya pada penyelesaian proses administrasinya, sedangkan pembayaran tebusan dan pengajuan amnesti masih konsisten akan berakhir pada bulan ini jika pemohon menginginkan tarif paling rendah.

Dengan melihat dinamika yang ada memang membuat kita harus rela bersikap realistis karena kita sama-sama melihat masih terbuka peluang yang cukup lebar bagi kesuksesan program amnesti pajak.

Bahkan firma terkemuka sekelas JP Morgan yang pamornya sudah sangat mendunia memuji perjalanan amnesti pajak di Indonesia sebagai salah satu yang paling sukses di dunia, ukurannya dihitung berdasarkan total uang yang dihasilkan dan jumlah partisipan yang terlibat di dalamnya sehingga belum saatnya bagi kita untuk memupus harapan positif terhadap kesuksesan program amnesti pajak.

Bala Bantuan dari Sektor Moneter

Di tengah program amnesti pajak, BI dan OJK selaku otoritas moneter tidak ingin sekadar berpangku tangan. Mereka tengah mengembangkan strategi penyaluran kredit agar mendukung kinerja investasi semakin positif. Minggu lalu, BI merespons rendahnya kualitas penyaluran kredit dengan menurunkan suku bunga acuan BI 7-days Repo sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5%.

BI juga merilis pemangkasan suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 4,25% dan Lending Facility turun 25 bps menjadi 5,75%. Rentetan kebijakan ini ditujukan agar kinerja penyaluran kredit kembali lebih bergairah dan berkualitas seiring dengan kondisi makroekonomi yang relatif sudah stabil.

Indikator kestabilan ini tecermin dari inflasi yang rendah, defisit transaksi berjalan yang terkendali, dan nilai tukar rupiah yang tampak semakin stabil. Perbaikan kinerja sektor kredit bisa menambah kumpulan asa bagi pemerintah agar target pertumbuhan ekonomi tetap berjalan sesuai dengan ekspektasi.

Dalam pandangan BI, pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2016 masih relatif baik meskipun tidak cukup kuat seperti proyeksi sebelumnya. Investasi di sektor swasta masih sangat mungkin memilih untuk wait and see terhadap kondisi permintaan pasar, terlebih dengan capaian deflasi 0,02% pada Agustus lalu.

Dengan kondisi fiskal yang masih kembang-kempis dan beberapa anomali kebijakan yang terjadi hingga saat ini, memang perlu ada terobosan yang jitu agar momentum pembangunan makroekonomi tetap terjaga positif.

Respons dari otoritas moneter bisa dibilang sudah cukup sinkron untuk menyambut aliran dana yang tengah menggelembung dari hasil amnesti pajak. Nah , yang sekarang perlu dilakukan adalah bagaimana tindak lanjut yang diperlukan agar kumpulan dana ini tidak sia-sia. Kebijakan lanjutan ini berpeluang membuka keterkaitan peran yang kuat antara otoritas moneter (BI dan OJK) beserta kalangan pemerintah yang berwenang sebagai otoritas fiskal.

Pertama, perlu ada evaluasi yang komprehensif seputar penyebab rendahnya kualitas kredit terutama di sepanjang tahun 2016. Kalau diukur dari kinerja non-performing loan (NPL) yang menjadi indikator kredit macet perbankan, OJK merilis kredit modal kerja menjadi sektor yang paling bermasalah jika dibandingkan dengan kredit konsumsi dan investasi untuk periode Juli 2016.

Namun bukan berarti sektor ini perlu dihindari, karena nilai benefit -nya terhadap sisi lain ekonomi masih sangat tinggi.

Hal yang perlu dievaluasi sebenarnya mengapa kinerja NPL di beberapa sektor masih cukup tinggi? Apakah memang benar karena dampak ekonomi eksternal yang tak kunjung menemui titik akhir, atau justru karena memang ada yang masalah pada pengelolaan dari sisi perusahaan?

Kedua, perbankan juga harus konsisten menyambut pemangkasan berbagai suku bunga acuan dari BI dengan menyelenggarakan sistem kredit relevan. Terkait dengan kinerja kredit dari sisi perbankan, yang perlu diprioritaskan adalah tingkat efisiensi Net Interest Margin (NIM) agar nominal bunga riil yang diterima debitor juga menjadi lebih rendah.

OJK (2016) mengungkap, NIM perbankan di Indonesia besarnya sekitar 5,4% dan termasuk paling tinggi di dunia yang memiliki rata-rata NIM antara 1-3%. Fakta ini menjadi pukulan telak bagi kinerjadaya saingperbankandan sangat berdampak pada permintaan kredit domestik.

Kalangan perbankan mengaku NIM kita cukup tinggi karena disebabkan menurunnya kualitas penyaluran kredit dan kenaikan biaya cadangan perbankan, sehingga ada kecenderungan mereka akan mengoptimalkan atau menyubstitusi profit dengan menerapkan NIM yang tinggi.

Ketiga, perbankan perlu didorong untuk lebih fokus dalam upaya ekstensifikasi akses kredit. Misalnya dengan menambah alokasi Kredit Usaha Rakyat (KUR) terhadap sektor UMKM.

Potensi KUR bagi UMKM sangat tinggi karena didukung jumlah pelaku usaha di dalamnya yang sangat mendominasi peta kontribusi berdasarkan skala ekonomi. Apalagi rata-rata pelaku UMKM memiliki akses permodalan yang relatif cekak untuk bisa mengembangkan kapasitas usahanya.

Namun risiko kredit terhadap sektor ini juga tidak bisa dikatakan kecil karena mayoritas UMKM rata-rata belum tanggap terhadap kaidah literasi keuangan. Keunggulan UMKM ialah relatif lebih safe dari guncangan ekonomi eksternal jika dibandingkan dengan sektor pertambangan yang selama ini menjadi sektor unggulan penyaluran kredit.

Dalam perkembangannya hingga saat ini, sudah ada beberapa institusi keuangan yang sedang mengembangkan model pemeringkatan (rating ) bagi UMKM, yang bertujuan menyusun basis data UMKM untuk menunjang kelayakan pembiayaan.

Pola ini akan membantu perbankan untuk mengukur risiko kredit terhadap UMKM. Dan keempat, menjawab catatan ketiga di atas, peran pemerintah masih amat dibutuhkan khususnya dalam pengembangan UMKM. Kalau pemerintah tidak turun tangan, yang penulis khawatirkan perbankan akan semakin enggan mengembangkan akses kreditnya.

Pemerintah dapat berbagi peran pengembangan akses kredit dengan menjaga kinerja UMKM tetap progresif, agar mereka juga mampu menjaga kelancaran sistem kredit. Dari sisi mikro, peran pemerintah dapat diwujudkan dengan pembinaan manajerial bagi UMKM (pengembangan modal, SDM, produksi, pemasaran, dan kelembagaan) yang secara keseluruhan dapat mendorong UMKM lebih well literate.

Sedangkan dari sisi makro, pemerintah dapat menunjang dengan melakukan pengembangan infrastruktur, layanan birokrasi yang efektif dan efisien. Dengan demikian momentum amnesti pajak bisa menjadi landasan yang kuat untuk menggairahkan kembali investasi di beberapa sektor strategis.

Dengan mulai progresifnya hasil penerimaan dari program amnesti pajak, pemerintah dan otoritas moneter memang perlu segera berembuk untuk menentukan langkah selanjutnya.

Langkah BI untuk menurunkan suku bunga acuan serta OJK yang berupaya untuk terus menekan NIM sudah sangat sinkron dengan kebijakan pemerintah yang tengah concern terhadap pengembangan infrastruktur dan beberapa jenis deregulasi investasi.

Kalau memang semua proses ini berjalan lancar, pengembangan investasi dan akselerasi pertumbuhan ekonomi akan kembali kepada jalur yang sebenarnya. Karena itu kita tidak perlu risau kembali akan realisasi ideide kesejahteraan dan keadilan dalam berekonomi yang memang merupakan cita-cita tertinggi dari rangkaian kebijakan ekonomi-politik di Indonesia.

Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

Di upload oleh : agus widyatama
Di upload oleh : agus widyatama
Pengelola Sistem Informasi dan Kehumasan (PSIK FEB UB)