Dialektika Anggaran Nasional

Show Your Idea and Become Creativepreneur
6 September 2016
Ordik Mahasiswa Baru Pascasarjana FEB UB Tahun 2016/2017
6 September 2016

Berbagai polemik terkait pengelolaan keuangan negara akhir-akhir ini semakin menarik untuk dianalisis.

Kebijakan amnesti pajak masih merupakan bahan diskusi yang hangat di masyarakat, apalagi kebijakan ini belum menunjukkan hasil seperti diinginkan pemerintah. Antusiasme tinggi masyarakat ini menarik, terutama sifat kritis terhadap kinerja APBN 2016 yang mengkhawatirkan.

Dalam kenyataannya, sebagaimana banyak dilansir media dan pernyataan menteri keuangan (menkeu), posisi penerimaan negara sedang tidak dalam top perform sehingga pemerintah terpaksa memangkas (menunda) anggaran pemerintah.

Kebijakan ini tentu bukan yang terbaik (first best condition), tetapi ini pilihan tersulit yang harus diambil pemerintah di tengah pilihan kebijakan yang tidak terlalu banyak. Kenapa ini kebijakan tersulit? Berdasarkan pengalaman beberapa tahun terakhir, anggaran pemerintah ini sangat besar perannya pada capaian pertumbuhan ekonomi, pengurangan tingkat kemiskinan dan pengangguran.

Dampak psikis yang kemungkinan muncul berupa tingkat kepercayaan pada proyek-proyek pemerintah, yang tentu bisa berdampak pada kestabilan politik, kualitas layanan publik, dan ujungnya tentu pada kestabilan perekonomian. Jika dilihat pada posisi penerimaan negara, sementara ini memang kita pantas untuk terus ketar-ketir.

Kondisi neraca penerimaan negara hingga Senin (29/8) pekan lalu tingkat persentasenya cenderung masih lesu. Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) mengumumkan realisasi penerimaan dari sektor pajak masih terkumpul sekitar Rp596 triliun (44% dari target APBN 2016).

Persentase realisasi penerimaan dana tebusan dari program amnesti pajak pun masih terhitung seret, di mana posisi penerimaan hingga penghujung Agustus kemarin baru mencapai Rp4,32 triliun atau sekitar 2,6%. Dana repatriasi yang diharapkan mampu mengongkosi kebutuhan investasi dalam negeri hingga saat ini hanya terkumpul Rp12,6 triliun.

Total dana yang berputar dari kebijakan ini (dana repatriasi dan deklarasi) tercatat terhimpun Rp204 triliun. Lingkungan Istana saat ini boleh dibilang tengah berusaha ”menenangkan diri” dengan mengeluarkan opini bahwa pergerakan dana amnesti pajak akan memuncak pada September ini.

Alasannya, masih banyak wajib pajak yang pada bulan kemarin aktif berkonsultasi mengenai proses pengajuan amnesti pajak, serta tarif dana tebusan yang dianggap paling murah bila dibandingkan ketika harus membayar setelah September berakhir.

Menkeu dari jauh-jauh hari memang sudah memperkirakan shortfall penerimaan pajak kita di penghujung 2016 akan mencapai Rp219 triliun (14,23%). Dengan begitu, asumsi defisit fiskal lagi-lagi bergerak ke atas (naik) dari sebelumnya 2,35% menjadi 2,5%. Persentase penerimaan yang masih relatif kecil hingga asumsi shortfallpajak, yang kemudian menjustifikasi ide menkeu untuk mengajukan kebijakan pemotongan anggaran belanja pusat dan dana transfer daerah.

Imbas dari kebijakan inilah yang kemudian menggelindingkan berbagai polemik lanjutan. Dari kacamata akademik, mungkin saja kebijakan ini memang menjadi pilihan yang terbaik untuk menyelamatkan keseimbangan APBN2016 dari ancaman defisit yang tidak terkendali. Namun, ide ini akan memiliki makna yang berbeda jika ditarik ke arah pandangan sosial politik.

Bagaimanapun berita mengenai pemotongan anggaran bisa saja melemahkan semangat investasi karena pemerintah dianggap mengurangi proporsi belanja pembangunan. Belum lagi dengan guncangan psikis pada pemerintah daerah yangbisasaja tengah”patahhati” karena ketersediaan alokasi belanja daerahnya turut mengalami revisi di tengah jalan.

Jika berkaca pada beberapa pengalaman sebelumnya, biasanya setelah ini pemerintah akan melakukan utang luar negeri (ULN) untuk mengamankan defisit APBN. Namun, kelemahannya seringkali kebijakan ini akan disertaijejakperdebatanyangpanjang sehingga efek politiknya menjadi sering tidak terduga.

Alternatif yang paling aman, mungkin pemerintah bisa memilih untuk lebih mengoptimalkan terbitnya surat utang (obligasi). Masyarakat perlu diberi kelonggaran untuk lebih terlibat aktif menopang dana pembangunan. Kebijakan potensial ini yang menurut pandangan penulis masih dilakukan dengan strategi yang cukup ”kering” sehingga capaiannya belum banyak menumbuhkan alternatif pendanaan.

Berangkat dari berbagai latar belakang tersebut, ada beberapa pandangan yang menurut penulis perlu mendapat perhatian dari pemerintah. Beberapa pandangan ini tidak hanya terkait langsung dengan keuangan negara, melainkan juga menyinggung beberapa sisi kebijakan lainnya yang secara tidak langsung akan bermuara pada penyehatan keuangan negara.

Pertama, optimalisasi penerimaan dari obligasi perlu ditingkatkan untuk tahapan pemulihan APBN. Strategi ini akan mengerucut pada seberapa besar modal sosial pemerintah terhadap sektor swasta dan sektor nonpemerintah lainnya karena capaian pendapatan dari obligasi sangat bergantung pada tingkat kepercayaan publik terkait dengan upaya pengelolaan di dalamnya.

Kalau pemerintah memang tengah berniat memperbesar kuota pendapatan dari obligasi, pemerintah perlu mempertebal keyakinan publik bahwa aktivitas investasi obligasinya akan memberikan profit dan benefit yang maksimal. Kata kuncinya, harus diiringi perubahan kelembagaan, peningkatan transparansi pengelolaan keuangan, dan proyeksi kegiatan yang marketable untuk dijadikan objek obligasi.

Selain itu, obligasi juga membutuhkan jaminan stabilitas politik terutama pada jenis-jenis proyek yang termasuk kategori jangka panjang. Kedua, kondisi APBN-P 2016 bisa jadi menggambarkan bahwa kita kurang andal dalam proses penyusunan kebijakan fiskal serta perencanaan program dan kegiatan. Indikasinya begitu tampak dari banyaknya revisi di berbagai lini yang terjadi di sepanjang 2016. Untung saja, pemerintah mengambil langkah gesit salah satunya dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2016 tentang Pemberian THR 2016.

Amanat yang terkandung di dalamnya sangat penulis dukung karena kembali menempatkan peran Bappenas sebagai server berbagai lini perencanaan kebijakan, dan diimbangi dengan pendayagunaan Kementerian Keuangan sebagai mitra perencanaan anggarannya. Bagaimanapun memang sudah seharusnya antara perencanaan kebijakan harus terkoneksi kuat dengan proyeksi anggaran di dalamnya.

Apalagi, terdapat keuntungan politis di mana kepala Bappenas yang sekarang pada jabatan sebelumnya menempati posisi menteri keuangan. Dengan latar belakang tersebut, diharapkan mendorong Bappenas untuk lebih mampu mengharmonisasikan antara perencanaan program dan kegiatan dengan proyeksi kemampuan anggaran secara lebih elegan.

Perubahan kelembagaan ini juga diharapkan bisa mengurangi tumpang tindih kebijakan dan anggaran di antara instansi pemerintah. Ketiga, pemangkasan dana transfer daerah memang terkesan seperti memaksa berbagi rasa sakit (sharing the pain) antara pemerintah pusat dan daerah. Ketika pemerintah pusat mengalami pengurangan alokasi belanja, pemerintah daerah menjadi turut merasakan.

Namun, dalam kondisi ini kita tidak bisa hanya menyudutkan pemerintah pusat sebagai biang keresahan karena normatifnya filosofi dari dana transfer daerah (perimbangan) adalah penyeimbang keuangan daerah, bukan sumber pendapatan utama. Ide untuk merestorasi perekonomian perlu diperluas tidak terbatas pada lingkup nasional.

Pemerintah daerah perlu merenungi kembali bahwa sudah seharusnya mereka juga mengembangkan daerahnya untuk lebih mandiri. Tahapan awalnya hampir sama dengan poin kedua, perlu mengakomodasi perubahan fungsi kelembagaan dari Bappeda untuk menjadi pusat perencanaan pembangunan daerah. Nanti Bappeda juga bisa berperan menjadi lokomotif konektivitas antarspasial dan sektoral.

Keempat, aktivitas di sektor riil perlu diberikan berbagai insentif agar semakin menggeliat karena di dalamnya terkandung banyak harapan untuk memperbaiki kinerja makroekonomi. Aktivitas di sektor riil sangat mungkin mendukung geliat di sektor lapangan kerja, perbaikan iklim sosial ekonomi, kinerja ekstensifikasi pajak, serta dapat memacu pertumbuhan ekonomi.

Pemerintah dapat fokus pada pengembangan kualitas SDM dan infrastruktur yang mendukung peningkatan produktivitas. Dari lingkungan regulasi dan birokrasi, perlu ada penyesuaian yang ujung-ujungnya bisa memangkas biaya transaksi.

Hingga saat ini pemerintah memang sudah berusaha keras dengan menerbitkan paket- paket deregulasi kebijakan ekonomi,namun langkah-langkah tersebut belum tentu sudah cukup untuk meningkatkan easy doing of business. Kalau perlu, pemerintah didukung untuk berani melakukan reregulasi (meregulasi ulang) karena bisa jadi kebijakan lama yang dideregulasi sudah tidak cocok dengan kondisi terkini.

Kelima, pemerintah tidak bisa melepaskan peran otoritas moneter untuk menghidupkan investasi di sektor riil. Geliat di sektor riil turut dipengaruhi kuat oleh tingkat suku bunga yang digawangi Bank Indonesia (BI) sehingga pemerintah memang sudah sewajarnya membangun hubungan yang ”romantis” dengan otoritas moneter agar kinerja di sektor riil menjadi lebih dinamis.

Paket Kebijakan Ekonomi Jilid XIII yang memuat investasi di sektor perumahan misalnya, membutuhkan kelonggaran loan to value (LTV) dan financing to value (FTV) dari BI untuk menghidupkan permintaan kredit pemilikan rumah (KPR). Demi proses kelancarannya, pemerintah perlu berkoordinasi dengan BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengatur dinamika supply-demand KPR.

Dengan demikian, fokus penyehatan APBN memang harus dibangun secara menyeluruh karena realisasi pendapatan dan belanja seringkali terbangun seperti hukum kausalitas (sebab-akibat). Jika pemerintah memang menginginkan penerimaan negara bisa optimal, kebijakan belanja pemerintah harus mengarah pada peningkatan kesejahteraan objek penerimaan.

Modal sosial antara pemerintah dan publik juga harus diperkuat untuk menghindari kasus-kasus seperti tax avoidance dan tax evasion yang mengganggu optimalisasi pendapatan negara. Teori yang perlu dipraktikkan untuk saat ini, negara harus hadir untuk kehidupan rakyat, dan rakyat harus dilibatkan untuk pembangunan negara.

CANDRA FAJRI ANANDA Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya