SELAMA ini pemahaman kebanyakan pihak menganggap bahwa parameter keberhasilan pembangunan selalu pada seberapa banyak/cepat pertumbuhan atau kenaikan nilai tambah output seluruh aktivitas ekonomi pada periode tertentu. Dalam arti sederhana, pertumbuhan ekonomi seakan-akan diposisikan sebagai tujuan utama segala kegiatan pembangunan.
Memang dalam beberapa hal pertumbuhan menjadi sinyal adanya perubahan dan naiknya nilai aktivitas ekonomi di suatu wilayah. Semakin banyak volume aktivitas ekonomi tentu secara normatif akan menjamin kian lebarnya kesempatan kerja bagi masyarakat.
Akan tetapi dalam beberapa kasus justru kondisinya tidak selalu bersifat linier dengan indikator-indikator makroekonomi lainnya. Hal itu seperti halnya yang tengah terjadi di Indonesia dan beberapa provinsi besar di dalamnya.
Tatkala ekonomi kita terus tumbuh dengan kadar kecepatan yang naik-turun, tren ketimpangan pendapatan antarwilayah dan kelompok pendapatan justru ikut melonjak di sela-sela prestasi pertumbuhan. Kalau sudah demikian, tandanya proses pertumbuhan ekonomi kita sedang kurang terkawal dengan baik.
Jika tidak kita evaluasi dan segera mencari solusinya, penulis khawatir ke depannya hal-hal yang kurang terperhatikan seperti ini akan membuat kinerja pembangunan kita terpelanting dari jalur yang semestinya dilalui. Minimal konflik akibat kecemburuan sosial akan terus mengganggu stabilitas sosial dan juga mungkin akan menghambat aktivitas bisnis dalam negeri. Kita tentu tidak ingin hal-hal yang seperti ini pelan-pelan terus menggerogoti perjuangan kita.
Beberapa ihwal mendasar yang membuat pertumbuhan kita tidak sepenuhnya menunjang pemerataan adalah akibat kita yang lebih terpusat pada orientasi peningkatan output. Kita kurang adil dengan terkadang tidak berpikir tentang berapa banyak masyarakat yang terlibat, termasuk siapa saja yang memiliki dan menguasai sumber daya ekonomi, apalagi seberapa besar kerusakan lingkungan yang ditimbulkan atas aktivitas ekonomi yang dilakukan.
Dengan demikian beberapa pihak, khususnya yang termasuk golongan marginal, nyaris tidak terdengar bagaimana kiprahnya dalam pertumbuhan ekonomi. Pembangunan sosial ekonomi yang menjurus pada ketimpangan menandakan belum terbentuknya skema pertumbuhan ekonomi inklusif. Pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati segelintir orang kendati telah mengeksploitasi banyak sumber daya ekonomi yang tersedia di dalam negeri.
Paradigma pembangunan yang muncul belakangan ini seperti menguat untuk mendukung adanya fokus penurunan ketimpangan. Pemerataan pembangunan didorong menjadi isu yang lebih utama dalam membangun suatu wilayah dan negara.
Dalam kondisi eksisting, beberapa negara digambarkan lebih banyak menggunakan instrumen negara yang ada di garda depannya dengan berorientasi yang lebih condong pada pertumbuhan yang semakin tinggi. Dan ternyata dalam praktiknya negara-negara berkembang lebih banyak menghadapi tantangan internal, terutama kesiapan kelembagaan, peraturan, dan hukum yang kurang berwibawa untuk menjadi kerangka regulasi bagi seluruh aktivitas ekonomi dan sosial politik.
Dampaknya sebagian perilaku pasar menjadi sangat kejam dan penuh ketidakadilan. Kerusakan sosial dan lingkungan menjadi permasalahan yang tiap hari persoalannya kian menumpuk. Kalau tidak ada instrumen publik yang membatasinya, sepertinya kita akan sulit memenuhi ekspektasi pembangunan berkelanjutan.
Hal yang lebih membuat hati ini teriris adalah kebijakan industrialisasi yang kecenderungannya lebih banyak memakan eksistensi sektor-sektor lainnya, terutama sektor pertanian. Lahan pertanian sudah sangat banyak yang dikonversi untuk membangun sarana dan prasarana industri, mulai dari gedung industri, akses transportasi, hingga berbagai jenis infrastruktur lainnya.
Memang ada sebagian petani yang mampu terlibat dalam industrialisasi dengan menjadi buruh pabrikan, tetapi tidak sedikit yang lantas kehilangan mata pencaharian dan jati diri sosialnya. Petani-petani kita banyak yang sekadar hanya menjadi penonton ketika ribuan beton ditanam di bekas lahan usahanya atas nama “pembangunan”.
Fenomena-fenomena ini yang sering kali diangkat menjadi topik diskusi dan kebijakan oleh para ahli di bidang sosial ekonomi. Ketimpangan dan faktor-faktor sosial yang imbalance bukan hanya akibat mekanisme pasar yang terlalu kanibal.
Kebijakan struktural pun tak kalah berdosanya. Andaikan jenis-jenis industri lebih mengutamakan penggunaan sumber daya lokal (mulai dari SDA, SDM, dan kultur setempat), disertai adanya integrasi antarsektor dan ada tindakan yang menjembatani fase transisinya (misalnya dari petani tradisional menjadi petani industri), mungkin industrialisasi akan menjadi karpet merah bagi pertumbuhan ekonomi inklusif.
Ada indikasi bahwa munculnya ketimpangan disebabkan tidak diikutsertakannya sumber daya lokal dengan jumlah yang proporsional dalam pembangunan. Karenanya yang menikmati pembangunan tidak cukup banyak atau bahkan terkesan seperti sengaja “meninggalkan”.
Pemerataan dan Fungsi Negara Pemerataan, partisipasi, dan budaya negara yang bersih menjadi isu penting di dalam pembangunan di negara-negara berkembang. Terutama setelah negara-negara dengan sistem ekonomi yang tidak melulu mengejar pertumbuhan sebagai tujuan utama menunjukkan tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi.
Apalagi saat ini ukuran-ukuran keberhasilan disusun lebih komprehensif seperti happiness index (indeks kebahagiaan) yang menggambarkan hubungan antara pembangunan ekonomi dan dampaknya terhadap stabilitas mental sosial masyarakat sebagai referensi keberhasilan. Hasilnya pun terbilang mengagetkan, negara seperti Selandia Baru dan Finlandia merupakan negara dengan tingkat kebahagiaan yang sangat tinggi di dunia.
Sebagian besar negara-negara dengan happiness index yang tinggi ternyata juga menjadi negara dengan CPI (Corruption Perception Index) yang sangat rendah. Sepertinya pola-pola pembangunan seperti ini yang lantas perlu kita gubah.
Upaya ke depan bisa diawali dengan mencari bagaimana cara agar kita mampu mewujudkan sistem pemerintahan yang selalu hadir di tengah-tengah kebutuhan masyarakat. Kita juga berharap agar tata kelola pemerintahan dapat berjalan dengan baik dan bersih. Dalam 10 bulan ke depan kita akan menghadapi fase penting di dalam penyelenggaraan negara yang lebih bersih, lebih kuat, dan lebih berwibawa.
Momentum Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 akan menjadi sangat menentukan karena kita diberi ruang untuk memilih siapa saja wakil-wakil kita di kursi eksekutif dan legislatif. Track record calon-calon pemimpin sudah layak mulai kita gali baik secara personal maupun komunal (partai yang menaungi atau mendukungnya) sebagai bahan pertimbangan. Karena nyaris semua politisi sulit untuk bertindak normatif sehingga kita perlu mempertimbangkan mana calon yang paling sedikit mudaratnya ketika yang ideal sulit didapatkan.
Adapun hubungan antara pemerintahan dan pembangunan itu memiliki banyak jalan relasi. Pertama, pemerintah memiliki sumber daya kekuasaan untuk mengelola SDM (aparatur sipil negara/ASN) dan keuangan negara untuk mencapai visi-misinya.
Di dalam pengelolaan itu sendiri terdapat pola perencanaan, administrasi pelaksanaan, evaluasi kinerja hingga nanti sampai pertanggungjawaban penggunaan sumber daya negara. Jika kita memiliki karakter pemimpin yang kurang selaras dengan visi pembangunan nasional (yang riil, di luar visi-misi yang dicapai kandidat/partisan politik), kita patut khawatir persoalan yang terjadi pada bangsa kita akan tertunda (atau bahkan lebih parah) lagi pengentasannya.
Kedua, pemerintah memiliki hak untuk menyelenggarakan birokrasi beserta produk-produk turunannya (regulasi atau peraturan perundang-undangan). Otomatis kewenangan tersebut bisa berpeluang ganda, yakni melahirkan insentif (dorongan) dan/atau hambatan khususnya terhadap lapangan usaha.
Kendati pemerintah sering kali mengungkapkan bahwa peraturan dibuat untuk mendorong perekonomian kita menjadi tertib dan terarah, pada kenyataannya belum tentu selalu berjalan relevan. Jika pemerintah tidak memperhatikan dengan saksama, daya saing investasi dan produksi beserta dampak-dampak positif lainnya akan menjadi terhambat.
Nah, untuk ke depannya ada baiknya jika kebijakan pemerintah lebih terfokus pada aspek pendidikan, peningkatan skills SDM, dan infrastruktur (aksesibilitas, konektivitas) sebagai kunci pembangunan. Pembangunan secara fisik melalui proyek-proyek infrastruktur belum tentu linier dengan proses pemerataan pembangunan. Karena bagaimanapun ada faktor SDM yang fungsinya nanti sebagai pengelola sarana-prasarana yang telah dibangun agar memiliki nilai tambah yang optimal.
Ketiganya harus dibangun secara merata agar kapasitas daya pembangunan tidak timpang seperti yang terjadi saat ini. Alhasil pemerintah juga perlu melakukan tindakan asimetris dengan mempertimbangkan kondisi eksisting. Bagi daerah dan individu yang sedang tertinggal, ada baiknya terus didorong dengan alokasi kebijakan yang bermuara pada peningkatan produktivitas dan pendapatan.
Sementara bagi daerah atau individu yang terbilang sudah cukup mapan, tinggal diarahkan untuk menjaga stabilitas kinerjanya dan syukur-syukur bisa berkolaborasi dengan yang tertinggal agar ada transfer knowledge, ability, dan mentality. Dengan infrastruktur yang baik, kita berharap akan memperbaiki sistem distribusi, logistik, dan tata niaga yang lebih baik.
Selain itu bertujuan agar biaya transaksi bisa kian ditekan dan memperbaiki daya saing produksi kita. Faktor SDM yang didukung pendidikan yang baik akan memudahkan kita untuk mewujudkan tata kelola yang baik––bisa dari sisi usaha swasta dan/atau birokrasi pemerintah agar kinerjanya menjadi lebih efektif dan efisien.
Demokrasi yang sedang kita bangun ini semoga ke depannya dapat menjadi lebih berkualitas (bernorma dan bertata nilai). Salah satu ciri utama keberhasilan berdemokrasi adalah ketika semakin banyak pihak yang terlibat dan merasa bahagia dengan apa yang sedang dibangun secara bersama-sama, baik oleh pemerintah maupun oleh swasta. Jika pemerataan masih sulit diselesaikan, patut kita pertanyakan apa yang salah dari sistem demokrasi kita?
Candra Fajri Ananda Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya