Kebijakan kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) dirasa kurang efektif dalam menekan angka prevalensi merokok. Sebaliknya, hal ini justru lebih banyak berdampak pada penurunan jumlah pabrikan rokok dan peningkatan peredaran rokok ilegal.
Direktur Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Prof Candra Fajri Ananda mengatakan, dalam menentukan kebijakan cukai, pemerintah saat ini bersandar pada empat pilar kebijakan. Mulai dari pengendalian konsumsi, keberlangsungan tenaga kerja, optimalisasi penerimaan negara, dan peredaran rokok ilegal.
Mekanisme harga, sehingga terjadi kenaikan tarif cukai menjadi tumpuan dalam pengendalian konsumsi, termasuk juga dalam upaya pengenjotan pendapatan negara agar lebih besar.
“Dalam hal pengendalian konsumsi dan optimalisasi penerimaan negara, pemerintah masih bertumpu pada mekanisme harga, sehingga kenaikan tarif cukai dilakukan setiap tahun,” katanya pada Focus Group Discussion Merajut Keseimbangan Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia, Selasa (30/8/2022).
Secara empiris, pria yang juga staf khusus Kementerian Keuangan ini menilai, kebijakan tarif cukai yang naik ini hanya berhasil menekan secara signifikan penurunan prevalensi perokok usia dini sampai 3,81 persen di tahun 2021 dan capaian ini sudah sesuai target RPJMN 2019-2024.
Namun, indikator prevalensi perokok usia kurang lebih 15 tahun, tidak mengalami perubahan yang signifikan selama hampir 15 tahun sejak 2007. Hal ini menjadi indikasi bahwa kebijakan kenaikan cukai untuk menekan prevalensi merokok kurang efektif.
Kebijakan cukai yang dilakukan selama ini, justru lebih banyak menyebabkan trade off, dimana kenaikan tarif cukai dan harga rokok yang excessive setiap tahunnya, lebih banyak berdampak pada penurunan jumlah pabrikan rokok. Selain itu, juga terjadi peningkatan peredaran rokok ilegal dibandingkan dengan penurunan jumlah prevalensi merokok.
Data pada tahun 2007, tercatat pabrikan rokok mencapai 4793. Jumlah ini menurun drastis ditahun 2021, yang kini menyisakan 1003 pabrikan rokok. Guru Besar Ilmu Ekonomi FEB UB ini juga mengatakan, volume produksi IHT menunjukkan tren penurunan dan juga penurunan pertumbuhan produksi. Data Direktorat Bea cukai, dari tahun 2019, menunjukkan volume produksi turun sekitar 30 miliar batang.
Untuk itu, pihaknya menilai, kebijakan cukai perlu di-review kembali, mengingat IHT memiliki peran strategis di dalam perekonomian yang ditunjukkan dengan kontribusinya pada penerimaan negara yang mencapai kurang lebih 13 persen dari total penerimaan pajak.
Disisi lain, data Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPRRI), IHT menyerap tenaga kerja sangat tinggi, bahkan mencapai 6 juta orang. Jumlah ini sepanjang rantai pasok, mulai dari tenaga kerja langsung di pabrik rokok sekitar 230.920 tenaga kerja, disektor pertanian tembakau menyerap 1,7 juta petani tembakau dan petani cengkeh, serta sebanyak 2,9 juta pedagang eceran dan lini distribusi.
“Posisi strategis IHT ini juga diperkuat dengan IHT sebagai salah satu industri yang asli (heritage) Indonesia yang masih bertahan dan dengan kandungan local content yang tinggi,”ucapnya.
Urgensi eksistensi IHT mendapat tantangan cukup besar dari sisi isu kesehatan, kebijakan tarif, dan peredaran rokok ilegal. Masih terus ada pertarungan antar kepentingan yang berkesinambungan, seperti halnya pendapat DPR. Untuk itu, dia berujar, kehadiran pemerintah sebagai regulator harus mampu mempertimbangkan berbagai interest group dalam kerangka kedaulatan kepentingan nasional.
“Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) FEB-UB secara intens dan berkelanjutan concern mengkaji berbagai permasalahan tersebut. Pada 2022, kajian PPKE fokus pada kenaikan harga rokok terhadap keseimbangan prioritas kebijakan IHT di Indonesia,” tuturnya.
Kajian yang telah dilakukan, bahwa kebijakan harga tidak selalu serta merta membuat perokok untuk berhenti merokok. 4 provinsi telah disurvei dengan 1.600 responden. Hasilnya, menunjukkan bahwa sekitar 95 persen responden akan tetap merokok meskipun harga rokok naik.
Hasil survei tersebut semakin memperkuat argumen bahwa kenaikan harga rokok tidak efektif menurunkan angka prevalensi merokok pada usia 15 tahun keatas. Kembali lagi, jika variabel harga rokok bukanlah faktor utama yang menyebabkan seseorang memutuskan berhenti merokok.
Selama 10 tahun terakhir, kenaikan tarif cukai dan harga rokok terjadi secara signifikan hampir di semua golongan. Dalam 10 tahun terakhir, kenaikan harga rokok jenis sigaret mesin (SKM & SPM) Gol.1 mengalami perubahan harga hingga 168 persen, sigaret mesin (SKM & SPM) Gol.2 mengalami perubahan harga hingga 247 persen.
Kenaikan tertinggi jika dilihat terjadi pada jenis rokok sigaret mesin (SKM & SPM). Hal ini terjadi selam hampir 10 tahun terakhir. Imbasnya, seperti diketahui sebelumnya, terjadi penurunan signifikan pada jumlah pabrikan rokok.
Kenaikan tarif cukai sebesar 23 persen dan HJE meningkat 35 persen di tahun 2020 (PMK 152/2019) berdampak pada penurunan volume produksi rokok hingga minus 9,7 persen, dan memicu peningkatan peredaran rokok ilegal menjadi 4,8 persen.
Pertumbuhan volume produksi IHT dipengaruhi oleh permintaan terhadap produk tersebut. Berdasarkan hasil fitting test terhadap data, nilai koefisien harga rokok Gol.1 terhadap konsumsi rokok memiliki hubungan negatif yang paling tinggi di antara golongan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan harga rokok dapat memberikan dampak penurunan terbesar pada gol.1.
Hal ini selaras dengan data DJBC (2021) yang menunjukkan bahwa penurunan produksi terbesar terjadi di gol.1 ketika terjadi kenaikan harga rokok di tahun 2020.
Di sisi lain, elastisitas harga rokok pada Gol.3 menunjukkan hubungan positif, sehingga kenaikan harga rokok mendorong kenaikan volume produksi rokok paling besar di Gol.3. Fenomena tersebut juga menunjukkan bahwa kenaikan harga rokok tidak akan serta merta menurunkan konsumsi rokok karena konsumen akan beralih pada jenis rokok yang lebih murah.
Kenaikan harga rokok dan tarif cukai yang eksesif berdampak pada penurunan pertumbuhan penerimaan CHT karena terjadi penurunan vol.produksi akibat penurunan permintaan. Kenaikan harga rokok di Gol.1 menyebabkan terjadinya penurunan vol. produksi rokok Gol.1 karena konsumen berpindah pada jenis rokok yang lebih murah (Gol.2 dan Gol.3). Oleh sebab itu, kenaikan tarif cukai sebesar 23 persen dan kenaikan HJE sebesar 35 persen di tahun 2020 (PMK 152/2019) menyebabkan penurunan pertumbuhan penerimaan CHT di tahun 2020. Penurunan penerimaan CHT terbesar terjadi pada rokok golongan 1.
Kemudian, hasil penelitian menunjukkan bahwa harga rokok telah melewati titik maksimum untuk menurunkan angka prevalensi merokok. Kenaikan harga rokok hanya berdampak pada berkurangnya volume produksi rokok legal, namun tidak konsumsi secara agregat, mengingat masih adanya peredaran rokok ilegal.
Menurut Prof Candra, hasil simulasi menunjukan bahwa jika pemerintah memaksa menaikkan tarif cukai dan harga rokok melebihi batas maksimum untuk mendorong penerimaan CHT dan penurunan konsumsi rokok, maka berdampak pada penurunan jumlah pabrik rokok dan kenaikan peredaran rokok ilegal.
Pada simulasi tersebut jumlah pabrik rokok turun hingga tersisa 831 pabrik karena adanya penurunan volume produksi akibat adanya penurunan permintaan terhadap rokok legal.
Dari sisi review regulasi, kata dia, pelonggaran kebijakan cukai efektif menurunkan angka peredaran rokok ilegal, menjaga keberlangsungan IHT, dan meningkatkan pertumbuhan penerimaan CHT dengan mempertahankan PMK 156/2018 dan regulasi lainnya seperti PP 109/2012.
Untuk itu, pihaknya menegaskan, agar pemerintah perlu bijak dalam mempertimbangkan dan berhati-hati dalam pengambilan kebijakan cukai di waktu mendatang. Koordinasi intens dengan mempertimbangkan berbagai sisi yang terlibat dalam kebijakan cukai di indonesia sangat diperlukan. Hal ini tentunya untuk menentukan road map Kebijakan yang berkeadilan, bagi semua pihak, mulai dari
Bukan hanya itu, disampaikannya juga, optimalisasi penerimaan negara dari cukai hasil tembakau, maka pemerintah harus meningkatkan pencegahan, pengawasan, dan penindakan untuk memerangi peredaran rokok ilegal secara masif. Pemerintah juga harus inovatif dalam menggenjot penerimaan negara dengan menambah alternatif barang yang memang dikenakan cukai. Sebab, tarif cukai rokok saat ini telah mencapai titik maksimal dalam berkontribusi dan mendorong penerimaan cukai.