Pandemi dan perlambatan ekonomi adalah keniscayaan yang tak terpisahkan. Kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat selama pandemi telah berimplikasi terhadap penurunan aktivitas ekonomi secara nasional dan global sehingga berpengaruh besar terhadap capaian penerimaan pajak selama tahun 2020 hingga periode triwulan I tahun 2021. Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa seluruh penerimaan neto jenis pajak mayoritas masih mengalami kontraksi. Realisasi penerimaan pajak hingga akhir Maret 2021 masih terkontraksi hingga 5,6% (yoy). Realisasi penerimaan pajak pada kuartal I – 2021 baru mencapai Rp 228,1 triliun atau 18,6% dari target pagu dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Rp 1.229,6 triliun. Di sisi lain, ketika penerimaan pajak masih tertekan, belanja negara telah mencapai Rp523 triliun. Alhasil kas negara mengalami defisit Rp144 triliun, yang salah satunya berasal dari pembiayaan utang, demi menopang belanja. Meski tertatih dengan beban belanja yang kini lebih besar daripada penerimaan, pemerintah yakin bahwa defisit anggaran dibutuhkan semata-mata untuk menambal akselerasi pemulihan ekonomi nasional pada 2021. Data Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa realisasi belanja hingga 31 Maret 2021 telah mengalami peningkatan hingga 15% bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang hanya Rp452,4 triliun. Hal tersebut menunjukkan bukti nyata bahwa APBN 2021 masih bekerja luar biasa keras di semua elemen untuk mendukung kebangkitan ekonomi nasional di masa pandemi. Berada dalam situasi extra – ordinary seperti saat ini, kecepatan dan ketepatan dalam kebijakan adalah kunci keberhasilan melawan pelemahan ekonomi akibat pandemi. Keberhasilan program pemerintah dalam mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional tidak cukup hanya dengan menggali dan mempersiapkan dana PEN saja, tetapi dibutuhkan relasi yang serasi dan kerja sama di antara pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam menstimulus pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu upaya pemerintah pusat untuk menggali penerimaan demi menopang percepatan pemulihan ekonomi nasional sejatinya perlu diimbangi dengan kecepatan dan ketepatan eksekusi dari pemerintah daerah melalui belanja produktifnya.
Hambatan Belanja Daerah Perekonomian nasional terbentuk oleh perekonomian daerah. Sementara perekonomian daerah tidak hanya dipengaruhi oleh pembangunan yang dibiayai oleh proyek-proyek APBN, tetapi juga APBD. Pada dasarnya APBD mengalami penerimaan yang tinggi meski di masa pandemi. Besarnya penerimaan daerah dipengaruhi oleh makin besarnya transfer dari pemerintah pusat ke APBD. Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa hingga Maret 2021 pemerintah pusat telah merealisasi transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) sebesar Rp172,96 triliun atau 21,7% dari pagu. Ironisnya, Data Kementerian Keuangan mencatat bahwa simpanan pemda pada Maret 2021 mengalami peningkatan hingga Rp18,39 triliun. Angka tersebut meningkat 11,22% dari bulan sebelumnya. Nilai tersebut terus meningkat dari awal tahun 2021. Secara berturut-turut dari Januari adalah Rp133,50 triliun, Rp163,95 triliun, dan Rp182,33 triliun. Apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, simpanan pemda pada Maret 2021 meningkat Rp4,81 triliun atau 2,71%. Adapun jumlah tabungan pemda pada Maret tahun lalu sebesar Rp177,52 triliun. Artinya, dengan nilai Rp172,96 triliun yang telah digelontorkan oleh pemerintah pusat, realitasnya pemda baru membelanjakannya hanya sebesar Rp98,9 triliun. Padahal daerah seharusnya melakukan sinkronisasi belanja sebagaimana yang telah dijalankan pusat untuk melakukan belanja dengan cepat. Sejatinya dana yang mengendap di daerah merupakan masalah klasik yang kerap terjadi di Indonesia. Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi di lapangan ditemukan fakta bahwa rendahnya penyerapan anggaran di pemerintah daerah selama ini salah satunya akibat lemahnya koordinasi antara perencanaan dan pelaksanaan anggaran. Sementara untuk dana desa masih banyak ditemui permasalahan serupa mulai dari pencairan, perencanaan, penggunaan hingga pelaporan dana desa. Salah satu permasalahan yang sering ditemui adalah kesulitan perangkat desa dalam menyusun perencanaan penggunaan dana desa. Akibatnya hal tersebut menyebabkan keterlambatan dalam pencairan dana desa. Terlebih lagi kini di masa pandemi terdapat realokasi dan re-focusing yang memaksa pemerintah daerah untuk melakukan banyak penyesuaian di dalamnya. Ironisnya, meski pandemi telah terjadi lebih dari satu tahun, tak sedikit birokrasi yang hingga saat ini belum bisa beradaptasi dengan kondisi yang ada. Alhasil dana yang seharusnya digunakan untuk program percepatan pembangunan tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara optimal oleh pemerintah daerah. Peningkatan Kualitas Perencanaan Perencanaan pembangunan daerah disusun untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan. Perencanaan (termasuk penganggaran) merupakan tahap awal dari serangkaian aktivitas (siklus) pengelolaan keuangan daerah sehingga apabila perencanaan yang dibuat tidak baik, keluaran ataupun hasil juga tidak dapat tepat sasaran. Maka tak aneh jika permasalahan perencanaan yang terjadi di sebagian besar daerah saat ini mengakibatkan penggunaan dana desa yang tidak efektif atau bahkan tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Oleh sebab itu, untuk memperbaiki penyerapan anggaran di setiap pemerintah daerah, peningkatan kualitas perencanaan di tiap daerah merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan pemerintah daerah.
Kini pemerintah daerah juga perlu memiliki skala prioritas dalam menggunakan APBD dengan tetap memperhatikan keselarasan dengan pemerintah pusat. Selanjutnya, guna mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional, pemerintah daerah juga perlu memprioritaskan belanja yang diarahkan pada perlindungan sosial untuk menyukseskan program pemulihan ekonomi nasional sesuai kewenangan desa. Selain itu prioritas belanja daerah juga perlu diarahkan pada belanja modal sehingga manfaatnya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat luas dan juga bermanfaat bagi jangka panjang. Semoga.
Candra Fajri Ananda Staf Ahli Menteri Keuangan RI