Hantaman ekonomi akibat pandemi Covid-19 tak sekadar meluruhkan stabilitas keuangan nasional, tetapi juga daerah. Krisis kesehatan yang kini terjadi mutlak memaksa pemerintah daerah untuk melakukan realokasi anggaran bagi kesehatan, pemulihan ekonomi, dan perlindungan sosial. Kondisi tersebut bagai buah simalakama bagi pemerintah daerah. Di sisi lain, realokasi anggaran mengakibatkan beberapa belanja infrastruktur di daerah mengalami pengurangan alokasi, sementara kemampuan APBD menjadi makin tertekan.
Berdasarkan Data APBD Tahun 2020 sebelum adanya penyesuaian akibat pandemi Covid-19, kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) seluruh provinsi, kabupaten, dan kota terhadap pendapatan daerah hanya sekitar 26,49%, di mana sumber terbesar berasal dari pajak daerah yang berkontribusi sebesar 71,64%. Masih kecilnya kontribusi PAD terhadap pendapatan daerah serta masih tergantungnya daerah terhadap dana transfer dari pemerintah pusat menjadi pekerjaan rumah bagi semuanya, baik pemerintah pusat maupun daerah. Oleh sebab itu, mengingat beban fiskal pemerintah pusat yang kian meningkat akibat pandemi, maka pemerintah daerah kini perlu memiliki pembiayaan alternatif agar dapat melakukan inovasi dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB) di tengah pandemi tanpa membebani pemerintah pusat.
Sumber pembiayaan alternatif dapat berasal dari pinjaman ataupun kerja sama dengan badan usaha yang sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2018 tentang Kerja Sama Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha. Pinjaman daerah pada dasarnya merupakan salah satu instrumen atau modalitas pembiayaan alternatif yang potensial dan sangat mungkin dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka mengatasi defisit APBD dan keterbatasan kemampuan keuangan daerah. Terdapat dua jenis pinjaman PEN daerah di antaranya pinjaman kegiatan dan pinjaman program. Total komitmen pinjaman PEN daerah sebesar Rp19,1 triliun. Data menunjukkan bahwa hingga Februari 2021 total nilai yang telah dicairkan sebesar Rp8,3 triliun atau sekitar 45% dari total komitmen. Selain itu, hingga Februari 2021 total kegiatan yang disetujui sebanyak 3.111 kegiatan, dengan rata-rata jumlah kegiatan untuk setiap pemerintah daerah sebanyak 103 kegiatan.
Peningkatan Tata Kelola dan SDM
Pembangunan daerah yang baik harus diawali dengan tata kelola pemerintahan yang baik. Tata kelola publik yang baik (good governance) menjadi salah satu upaya dalam bentuk suatu konsep dari implementasi kebijakan pada otonomi daerah dalam rangka mewujudkan suatu pemerintahan yang sehat dan bersih yang diimplementasikan saat ini dengan mengedepankan prinsip partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintah daerah (IGI, 2018). Tata kelola yang baik dapat membantu pihak pemerintah daerah dalam upaya pembangunan perekonomian yang baik sehingga dapat untuk melaporkan informasi keuangan maupun nonkeuangan secara transparan dan akuntabel kepada masyarakat. Mardiasmo (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat tiga mekanisme yang dapat dilakukan pemerintah daerah agar lebih responsif, transparan, dan akuntabel untuk mewujudkan good governance atau tata kelola pemerintahan yang baik, yaitu dengan (1) mendengarkan suara atau aspirasi masyarakat, (2) memperbaiki internal rules dan mekanisme pengendalian, (3) membangun iklim kompetisi dalam memberikan layanan terhadap masyarakat serta marketisasi layanan.
Pinjaman daerah akan berfungsi optimal bagi pembangunan daerah bila disertai dengan tata kelola yang baik. Pembangunan sistem yang baik menjadi penting karena tidak hanya bisa menyinergikan orientasi pembangunan, tapi juga konsekuensinya terhadap tujuan peningkatan kesejahteraan. Sayangnya, tata kelola pemerintah daerah di Indonesia kini masih belum dapat dikatakan baik, mengingat hasil penelitian Transparency International Indonesia (TII) tentang indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia menunjukkan bahwa tahun 2019 IPK Indonesia berada di titik 40. IPK Indonesia menduduki peringkat keempat di antara negara-negara Asia Tenggara. Peringkat pertama ditempati Singapura dengan 85 poin, kedua Brunei Darussalam 60, dan Malaysia 53 (Tempo.co, 23 Januari 2020). Sementara itu, hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 14 tahun (2004-2018), terdapat 104 kepala daerah yang tersandung kasus korupsi yang saat ini ditangani oleh KPK. Temuan tersebut mengindikasikan bahwa tingkat transparansi pemerintah daerah di Indonesia masih rendah. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menunjukkan bahwa selama tahun 2020 saja tindak pidana korupsi telah terjadi di 26 dari 34 provinsi di seluruh Indonesia. Kasus korupsi paling banyak terjadi di Provinsi Jawa Barat dengan 101 kasus, disusul Jawa Timur (93 kasus), Sumatera Utara (73 kasus), Riau dan Kepulauan Riau (64 kasus), kemudian DKI Jakarta (61 kasus).
Transparansi dipandang sebagai sebuah solusi untuk mengurangi peluang terjadinya tindakan korupsi, meningkatkan kinerja keuangan, dan mendorong kepercayaan yang lebih besar kepada pemerintah. Wujud transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah adalah publikasi laporan keuangan secara terbuka, termasuk di internet. Sayangnya, kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang belum merata dalam pengelolaan keuangan negara di Indonesia menjadi salah satu kendala sulitnya tercapai transparansi dan tata kelola keuangan yang baik di pemerintah daerah. Oleh sebab itu, sumber daya manusia (SDM) yang kompeten menjadi hal penting untuk menghasilkan sebuah laporan keuangan berkualitas. Begitu juga di pemerintahan, untuk menghasilkan laporan keuangan daerah yang berkualitas, maka dibutuhkan SDM yang memahami dan kompeten dalam akuntansi pemerintahan, keuangan daerah, maupun organisasi tentang pemerintahan.
Transparansi adalah Kunci
Pemberian pinjaman PEN daerah oleh pemerintah pusat tersebut juga sejalan dengan arah kebijakan pembiayaan dalam APBN, yakni adanya pengembangan pembiayaan kreatif dan inovatif untuk mendukung kebijakan APBN yang counter cyclical dan idealnya diikuti oleh kebijakan APBD yang sejalan. Pemerintah pusat berharap pinjaman daerah dapat memberi manfaat yang besar, terutama adanya pembangunan infrastruktur seperti infrastruktur sosial (rumah sakit, puskesmas, fasilitas kesehatan), Infrastruktur logistik (jalan/jembatan provinsi dan kabupaten atau kota), perumahan mbr (pembangunan rumah masyarakat berpenghasilan rendah), penataan kawasan khusus (alun-alun, destinasi wisata, creative center), serta Infrastruktur lingkungan (irigasi dan drainase).
Di tengah situasi sulit akibat pandemi ini, pembangunan di daerah tidak boleh terhenti karena keterbatasan fiskal akibat pandemi. Pemerintah daerah yang terutama mendapatkan pinjaman dari pemerintah pusat (melalui PT SMI) perlu terus-menerus meningkatkan kualitas SDM yang dimiliki agar kualitas pengelolaan keuangan, transparansi pengelolaan keuangan menjadi lebih baik. Perbaikan di dalam pengelolaan ini akan semakin memperbaiki kepercayaan masyarakat pada pemerintah, yang pada akhirnya partisipasi (termasuk kesediaan membayar pajak) semakin tinggi. Semoga.
Oleh : Prof Chandra Fajri Ananda PhD
Staf Khusus Menteri Keuangan RI