Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
Dunia saat ini menghadapi banyak sekali tantangan yang semakin besar di tengah upaya pemulihan ekonomi pascapandemi . Dunia sedang menghadapi kompleksitas ancaman krisis pangan , energi, kesehatan, hingga keuangan. Krisis energi muncul lebih banyak karena invasi Rusia ke Ukraina, yang berdampak kekacauan pasar energi.
Sebagian besar negara Uni Eropa sangat tergantung pada pasokan minyak dan gas alam Rusia, sekitar 40% kebutuhan gas alam mereka didatangkan dari Rusia. Sementara sisanya datang dari Norwegia, (22%), Aljazair (18%), dan Azerbaijan (9%).
Eropa juga membeli LNG dari Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara lain dengan jumlah sekitar 400 juta meter kubik per hari. Seperempat dari total impor minyak Uni Eropa, atau sekitar 2,2 juta barel minyak mentah per hari, masuk lewat jaringan pipa-pipa dari Rusia.
Eropa juga mengimpor 1,2 juta barel produk minyak lainnya dari Rusia. Selain masalah pasokan, dunia juga mengalami masalah pengiriman lintas batas (distribusi) sehingga menyebabkan kenaikan harga pangan di berbagai dunia. Hal ini juga diperberat dengan adanya perubahan iklim yang berdampak pada suplai pangan secara global.
Kini, bayang-bayang lonjakan inflasi tinggi kian jadi kenyataan. Ketidakpastian keuangan dunia akibat fenomena inflasi yang melambung tinggi di berbagai belahan dunia pada mulanya tak lain dipicu pemulihan ekonomi pasca pandemi seiring dengan program stimulus fiskal yang dilakukan berbagai pemerintah di dunia.
Ironsinya, kondisi tersebut kian diperparah dengan terjadinya kekurangan bahan baku dan komoditas seiring dengan krisis pangan dan energi yang terus mendorong inflasi di berbagai negara kian meroket ke level tertinggi.
Menjaga Stabilitas Ekonomi
Tatkala kawasan lain mengalami guncangan ekonomi karena faktor global, kondisi ekonomi Indonesia masih tergolong stabil dibanding berbagai negara lain di dunia. Meski demikian, mitigasi risiko ekonomi tetap diperlukan untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan dari dampak pasar global yang masih belum stabil.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa inflasi di Indonesia masih terkendali dan mendukung stabilitas perekonomian.Indeks Harga Konsumen (IHK)pada Juni 2022 mencapai 0,61% secara (mtm). Angka inflasi bulanan ini lebih tinggi dari bulan sebelumnya, yakni 0,40%.Secara tahunan, inflasi IHK Juni 2022 tercatatmencapai 4,35%(yoy).Angka tersebut merupakan inflasi tertinggi sejak Juni 2017. Berdasarkan komponennya, inflasi Juni 2022 banyak didorong oleh kenaikan harga berbagai komoditas bahan pangan seperti cabai merah dan bawang merah.Meski demikian, inflasi inti masih tetap terjaga di tengah permintaan domestik yang terus meningkatsejalan dengan aktivitas ekonomi dan mobilitas yang semakin membaik pasca pandemi.
Perekonomian Indonesia hingga saat ini secara umum masih ditopang oleh dua komponen utama, yaitu konsumsi rumah tangga dan investasi. Kedua komponen tersebut memiliki kontribusi hingga lebih dari 70% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Data BPS mencatat bahwa sektor konsumsi rumah tangga dan investasi menjadi pendorong terbesar pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I/2022 berdasarkan komponen pengeluaran dengan pertumbuhan masing-masing sebesar 4,34% (yoy) dan 4,09% (yoy). Oleh sebab itu, demi menjaga stabilitas ekonomi domestik di tengah dinamika ekonomi global, maka menjaga daya beli masyarakat adalah kunci pertahanan. Pemerintah perlu terus berupaya agar tekanan ekonomi dari eksternal yang sedang terjadi saat ini tak sampai berdampak pada konsumsi dalam negeri.
Pemulihan ekonomi di balik bayang-bayang risiko geopolitik, inflasi, gejolak pasar keuangan, hingga pelemahan ekonomi negara maju memang tak mudah dihadapi. Meski demikian, seiring meningkatnya aktivitas masyarakat, pemulihan ekonomi optimis berjalan menguat. Hingga saat ini data menunjukkan bahwa Mobility Index Indonesia bulan Mei mengalami peningkatan tajam di angka 18,6. Mobilitas masyarakat meningkat seiring dengan kondisi pandemi yang terkendali dan momen mudik pada Hari Raya Idulfitri. Retail sales index tercatat 5,4%, terus meningkat sejalan dengan optimisme dan mobilitas masyarakat.
Sementara, pertumbuhan impor bahan baku masih menunjukkan tren positif di angka 33,9% dan barang modal sebesar 29,2%. Angka tersebut cukup mencerminkan bahwa masih adanya penguatan produksi dalam negeri. Selain itu, kapasitas produksi manufaktur Indonesia juga menunjukkan peningkatan mendekati level sebelum pandemi. Mandiri Spending index juga tercatat pada level tertinggi sejak Januari 2020 yaitu mencapai 149,2. Artinya, kelompok masyarakat, terutama menengah-atas, melakukan pengeluaran dengan menggunakan kartu kredit yang menunjukkan kenaikan aktivitas ekonomi.
Berbagai capaian tren positif ekonomi yang dimiliki Indonesia di tengah gejolak ekonomi global merupakan suatu tren yang cukup baik. Data telah menunjukkan bahwa peningkatan konsumsi dan produksi seiring dengan peningkatan aktivitas masyarakat selanjutnya dipastikan dapat memacu kian tumbuhnya investasi yang pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Oleh sebab itu, bukan hal yang tak mungkin jika masyarakat harus tetap optimis bahwa pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua masih akan sangat kuat di sekitar 4,8% hingga 5,3% meski dinamika ekonomi global masih membayangi.
Kesehatan APBN dan Gaji ke-13
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi andalan di tengah ancaman berbagai krisis global yang sedang terjadi. Pemerintah dapat memainkan peran APBN sebagaishock absorber(peredam kejutan) dari dampak kenaikan harga komoditas energi dan pangan untuk menjaga daya beli masyarakat.
Kebijakan tersebut juga disinergikan dengan langkah penyehatan APBN sejalan dengan meningkatnya penerimaan negara sebagai dampak kenaikan harga komoditas. Saat ini, APBN Indonesia dalam posisi yang sangat baik untuk memainkan strategi tersebut.
Pada kuartal I/2022, kondisi APBN sangat sehat di mana realisasi pendapatan negara semester I mencapai sebesar Rp1.317,2 triliun atau tumbuh 48,5% (yoy) (mencapai 58,1% dari target Pagu Perpres Nomor 98 Tahun 2022). Di sisi lain, realisasi belanja negara mencapai Rp1.243,6 triliun atau lebih tinggi 6,3% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, dengan persentase penyerapannya mencapai 40,0% terhadap pagu Perpres Nomor 98 Tahun 2022. Berdasarkan perkembangan pendapatan dan belanja negara tersebut, APBN semester I/2022 mencatatkan surplus Rp73,6 triliun atau sekitar 0,39% terhadap PDB.
Demi menjaga daya beli masyarakat, belanja negara pada semester I sudah mencapai 46,7% tumbuh 5,8% (yoy). Pemerintah memberikan tambahan Gaji ke-13 (G-13) sebagai penghargaan bagi para aparatur negara, para pensiunan yang tetap memberikan layanan kepada masyarakat dalam suasana pandemi apapun risikonya. Total penerima G-13 ini sebanyak 8,76 juta orang, yang diharapkan mampu mendorong konsumsi rumah tangga dan pemerintah untuk mendukung capaian target pertumbuhan ekonomi 2022. Mereka ini adalah 1,79 juta pegawai termasuk TNI, POLRI, aparatur daerah 3,65 juta dan pensiunan sebesar 3,32 juta.
Sejatinya, struktur perekonomian Indonesia masih belum berubah, tetap bertumpu pada konsumsi dan sedikit sektor jasa, terutama pariwisata. Upaya pemerintah mempertahankan konsumsi melalui gaji ke-13, BLT, kredit bersubsidi, subsidi listrik, BBM adalah untuk tetap mempertahankan tingkat konsumsi dan mempertahankan momentum proses pemulihan ekonomi.
Berdasarkan sudut pandang investor, kondisi makro ekonomi Indonesia saat ini secara konsisten cukup stabil untuk berinvestasi di tengah volatilitas global yang terjadi. Hal ini cukup memacu optimisme Indonesia terhadap potensi ekonomi ke depan melalui peningkatan sisi konsumsi dan investasi, di mana faktor tersebut merupakan komponen terbesar pendorong roda perekonomian nasional. Semoga.
Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Senin, 04 Juli 2022 – 19:50 WIB oleh Candra Fajri Ananda dengan judul “G-13: Pemulihan Ekonomi?”.