KONSEP “growth pole” atau dikenal sebagai konsep “kutub pertumbuhan” yang dibangun oleh ahli ekonomi Prancis, Francois Perroux, menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di tiap daerah tidak terjadi di sembarang tempat, melainkan di lokasi tertentu. Karena itu, untuk mencapai tingkat pendapatan tinggi, maka harus dibangun beberapa tempat pusat kegiatan ekonomi yang disebut dengan kutub pertumbuhan.
Teori growth pole merupakan teori yang menjadi dasar dalam strategi dan kebijaksanaan pembangunan industri daerah yang banyak dijalankan di berbagai negara berkembang maupun negara maju. Pada awalnya konsep ini dianggap penting karena memberikan kerangka rekonsiliasi antara pembangunan ekonomi regional di wilayah pusat (kota) dan hinterland-nya.
Akan tetapi, faktanya tidak seperti yang diharapkan karena dampak backwash effect lebih besar daripada spread effect sehingga pengurasan sumber daya hinterland oleh pusat menjadi sangat menonjol dan mendorong ketimpangan yang makin lebar.
Idealnya, pembangunan ekonomi yang dilakukan selain menciptakan pertumbuhan setinggi-tingginya, harus pula ikut menghapus dan mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan tingkat pengangguran, sekaligus menciptakan tambahan pendapatan masyarakat bagi rumah tangga.
Dampak Konsep Growth Pole di Indonesia
Konsep growth pole juga diadopsi dalam strategi pembangunan wilayah di Indonesia. Sayangnya, konsep itu lebih banyak memberikan pengaruh backwash effect di sebagian besar wilayah Indonesia.
Backwash effect yang terjadi di Indonesia terlihat melalui terbentuknya megaurban di berbagai wilayah yang sulit dibatasi, seperti Jabodetabek dan wilayah Gerbangkertosusila. Lebih lanjut backwash effect yang terjadi di Indonesia menimbulkan terjadinya ketimpangan wilayah, terutama dalam hal kesejahteraan antara kota-kota utama dan wilayah di sekitarnya. Karena itu, ada kecenderungan masyarakat untuk mendekati kawasan potensial/sumber penghidupan, yaitu menuju kota-kota utama tersebut.
Beberapa hasil kajian, di antaranya hasil penelitian Sukwika (2018) menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat kesenjangan ekonomi (PDRB per kapita) antarprovinsi selama periode 2011–2015 yang diperlihatkan oleh angka Indeks Williamson sebesar 0,7. Hal tersebut juga sejalan dengan hasil penelitian Mahardiki & Santoso (2013) yang menunjukkan bahwa rata-rata ketimpangan PDRB per kapita antarprovinsi di Indonesia selama periode 2006–2011 mencapai nilai 0,796.
Di luar infrastruktur, Indonesia perlu melakukan pemerataan kualitas SDM jika hendak mengurangi ketimpangan antarwilayah. Penyediaan pendidikan yang lebih baik secara merata di berbagai wilayah di Indonesia akan memberikan akses lebih besar bagi setiap generasi muda di setiap wilayah untuk mampu meningkatkan kualitas SDM. Semua orang memiliki kesempatan sama untuk mendapat pendidikan.
Kondisi saat ini menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia masih belum merata. Di perkotaan, pendidikan bisa dijangkau dengan mudah mulai dari SD, SMP, hingga SMA/K.
Sebaliknya, jenjang pendidikan di setiap perdesaan sebagian besar hanya ada tingkat SD. Ketika mereka akan melanjutkan ke jenjang SMP atau SMA/K, mereka harus keluar dari perdesaan dan membutuhkan waktu untuk menempuh perjalanan jauh menuju ke sekolah.
Selain akses jalan yang jauh, biaya pendidikan mahal juga menjadi alasan mereka di perdesaan tidak melanjutkan pendidikan dari SD ke jenjang berikutnya. Mereka lebih memilih bekerja setelah lulus tingkat sekolah dasar.
Data menunjukkan bahwa angka partisipasi kasar pendidikan masyarakat kota lebih tinggi daripada di desa. Semakin tinggi jenjang pendidikan, masyarakat desa makin tertinggal. Data menunjukkan 60% penduduk perkotaan tamat SMP/sederajat. Sebaliknya, lebih dari separuh penduduk perdesaan berpendidikan rendah (tidak/hanya tamat SD dan tidak pernah sekolah).
Dengan begitu, rata-rata lama sekolah mereka yang tinggal di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat perdesaan. Penduduk perkotaan secara rata-rata menyelesaikan pendidikan dasar 9 tahun, sedangkan penduduk perdesaan rata-rata hanya bersekolah sampai kelas 1 SMP/sederajat atau kelas 7.
Pemerataan Infrastruktur dan Kualitas SDM
Proses pemerataan kualitas SDM dengan pemerataan infrastruktur memiliki keterkaitan erat dalam menunjang pemerataan pertumbuhan di berbagai daerah. Tak heran jika kualitas SDM di Indonesia masih belum merata, mengingat pembangunan sejumlah infrastruktur di beberapa daerah juga masih belum merata.
Banyak daerah di Indonesia yang masih memiliki keterbatasan fasilitas transportasi maupun fasilitas jaringan. Pemerintah perlu terus berjuang untuk memungkinkan akses transportasi, jaringan listrik, maupun jaringan internet bisa dijangkau oleh seluruh masyarakat di Indonesia. Masyarakat Indonesia berhak mendapat akses yang sama di mana pun mereka berada.
Dukungan pemerintah untuk menciptakan spread effect dari konsep growth pole dapat dicapai melalui pemberian insentif oleh pemerintah bagi wilayah-wilayah yang menjadi pusat pertumbuhan. Memasukkan peran daerah sebagai pusat pertumbuhan dalam formula dana transfer, terutama karena menanggung daerah lain, bisa dijadikan insentif daerah.
Selain itu, menjadi keharusan bagi pemerintah untuk menyediakan infrastruktur dasar yang memadai dengan dasar Standar Pelayanan Minimum (SPM) di bidang pendidikan dan kesehatan di seluruh wilayah Indonesia. Melalui ketersediaan infrastruktur yang memadai serta pemerataan kualitas SDM di setiap daerah, maka diyakini ketimpangan ekonomi akan bisa ditekan.
Sejak 2016 hingga 2018, ICOR sebagai ukuran efisiensi investasi di Indonesia mengalami perbaikan, yakni mencapai level 6,3%. Meski demikian, angka ini masih jauh lebih besar dibandingkan negara sekawasan.
Diketahui, ICOR Malaysia pada periode yang sama hanya berada di level 4,6%, disusul Thailand sebesar 4,5%, dan terendah Filipina sebesar 3,7%. Semakin rendah ICOR itu menunjukkan bahwa investasi di wilayah tersebut semakin efisien.
Data di atas cukup menjadi cermin bagi Indonesia untuk segera melakukan evaluasi dan perbaikan konsep pembangunan. Konsep growth pole memerlukan dukungan pemerataan pembangunan infrastruktur. Tetapi, pemerataan pembangunan infrastruktur bisa menjadi hal yang sia-sia jika dilakukan tanpa diikuti dengan perbaikan SPM di bidang pendidikan dan kesehatan serta peningkatan efektivitas kualitas pengelolaan belanja di setiap daerah.
Candra Fajri Ananda
Dosen dan Guru Besar FEB Universitas Brawijaya