Setiap saat kita membaca berita Pandemic Covid-19, terakhirnya kita berpendapat sama bahwa kita semua belum tahu kapan Pandemi ini berakhir. Sebagai kota yang menawarkan jasa, berupa wisata dan industri ikutan lainnya seperti restaurant, café, penginapan (hotel, guest house, termasuk kos-kos an) bahkan usaha travel dan persewaan kendaraan, Malang Raya terdampak secara langsung dan terus mencari jurus/strategi untuk cepat pulih, setidaknya sama dengan kondisi pada tahun 2019. Secara umum kita bisa mengatakan, Pariwisata di Malang Raya, dengan lokomotif Kota Batu, telah mampu mengangkat Malang Raya sebagai wilayah tujuan wisata primadona di Indonesia. Hal itu terlihat dari perkembangan jumlah wisatawan yang terus meningkat secara signifikan.
Dari analisis ekonomi regional, perkembangan wilayah Malang Raya ini telah mendorong spesialisasi yang menarik. Pariwisata di Kota Batu, mengkhususkan pada wisata alam dan buatan yang dikaitkan kehidupan modern. Kabupaten Malang turut tergerak membangun pariwisatanya berbasis pada alam (pantai, tracking), budaya, dan sejarah. Sementara Kota Malang, berfokus pada layanan penginapan, kuliner dan belanja serta pendidikan. Kolaborasi produktif ini sangat penting didalam pengembangan wilayah, yang tidak bersifat backwash effect, dimana perkembangan satu daerah malah mengeksploitasi daerah lainnya. Hal sebaliknya, bagaimana perkembangan satu daerah mampu mengangkat daerah lainnya untuk tumbuh dan berkembang (spread effects). Dengan demikian, fakta ini memperkuat keyakinan bahwa pariwisata dapat diandalkan sebagai lokomotif dalam memulihkan dan menggerakkkan perekonomian Malang Raya.
Namun demikian, wabah pandemic Covid-19 yang berlangsung sejak Maret 2020 sampai sekarang telah meluluh lantakan sektor pariwisata dan sektor pendukungnya di Malang Raya. Kondisi ini ditunjukkan dengan penurunan jumlah kunjungan wisatawan ke Kota Batu yang mencapai 70% pada tahun 2020 atau hanya sekitar 2,5 juta wisatawan, padahal tahun 2019 jumlah wisatawan mencapai 7,2 juta wisatawan. Hal senada juga terjadi di Kota Malang, dimana penurunan jumlah wisatawan pada tahun 2020 mencapai sekitar 66%, angka ini sangat jauh dari capaian tahun 2019 yang mampu menarik ± 5 juta wisatawan.
Keterpurukan pariwisata Malang Raya di 2020 masih berlanjut menjelang purnanya semester I-2021. Kebijakan pada pembatasan mobilitas masyarakat melalui PPKM Mikro dan pengetatan mudik Lebaran Idul Fitri berkontribusi pada kurang bergairahnya wisata Malang Raya. Dibalik keterpurukan ini, pemerintah daerah, pelaku wisata, dan stakeholders memiliki kesempatan untuk terus berbenah dan berinovasi didalam mengembangkan daya tarik wisata. Salah satu peluang yang terus dapat dikembangkan adalah wisata halal. Global Muslim Travel Index (GMTI) memproyeksikan sampai dengan tahun 2030 akan terdapat 230 juta wisatawan muslim di seluruh dunia. Hal ini menjadi peluang yang cukup besar bagi pariwisata Indonesia, sehingga mulai 2015 Kementerian Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif tergerak secara sistematis menangkap peluang tersebut untuk mendorong wisata halal di daerah.
Kerja keras ini telah membuahkan hasil, dimana pada tahun 2019 Indonesia bersama dengan Malaysia meraih posisi prestise pada tingkat global, yaitu menduduki peringkat pertama sebagai destinasi wisata halal dunia versi GMTI. Kriteria penilaian wisata halal antara lain: accessibility, communication, environment, dan service. Keberhasilan Indonesia ini didukung oleh destinasi wisata yang dikembangkan di daerah, dimana 10 terbaik destinasi wisata halal adalah Lombok (NTB), Aceh, Riau & Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Sumatera Barat, Jawa Barat, DIY, Jawa Tengah, Malang Raya, dan Sulawesi Selatan.
Secara konsep, wisata halal tidak dapat dipisahkan dari konsep Syariah. Seluruh aktifitas produk wisata, termasuk layanan dari seluruh ikutan produknya berbasis pada Syariah Islam. Beberapa contoh layanan maupun produk wisata halal dapat meliputi halal trip, halal resort, halal hotel, halal restaurant, dan lainnya. Malang Raya sebagai salah satu destinasi wisata halal unggulan di Indonesia tentunya harus mampu memanfaatkan peluang dan trend wisata halal ini untuk menambah daya saing wisata.
Salah satu kunci awal mewujudkan wisata halal adalah dengan sertifikasi halal untuk produk dan layanan wisata. Sebagai upaya perlindungan konsumen, pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) memberikan payung kuat untuk mendorong produk-produk makanan, minuman, kosmetik, dan produk lainnya untuk bersertifikasi halal. Hal ini diperkuat pula dengan PP 39/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. Dalam proses sertifikasi halal, pelaku usaha harus berhubungan dengan 3 lembaga, diantaranya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Dalam upaya mendorong peningkatan pelaku usaha mendapatkan sertifikasi halal, pemerintah daerah harus meningkatkan pendampingan, fasilitasi, dan pendanaan (bahkan subsidi) bagi pelaku usaha untuk menyiapkan dokumen dan mendapatkan kemudahan layanan dalam proses mendapatkan sertifikasi halal. Kerjasama dengan LPH perlu terus ditingkatkan, dalam hal ini penyedia pendampingan untuk seritifikasi halal yang ada di beberapa Perguruan Tinggi seperti di UB, UIN Malang, Universitas Negeri Malang serta beberapa Perguruan Tinggi di Malang, menjadi krusial perannya dalam mengisi jalan panjang menuju Malang Raya sebagai wilayah halal. Saat ini, sudah diwujudan kehalalan produk, dimulai dengan program “juleha” (Juru Sembelih Halal) yang dilakukan oleh kota Malang. Tentunya, program ini harus diperluas, tidak hanya untuk proses halal daging ayam tetapi diperluas pada bahan-bahan produksi, proses makanan, yang dilakukan oleh pelaku usaha. Untuk itu, dalam tahap awal Pemerintah daerah, perlu turun tangan secara langsung baik dalam sosialisasi termasuk juga memperkuat Lembaga, seperti “Juleha” dan Lembaga yang ada di perguruan tinggi, untuk mewujudkan proses sertifikasi halal yang mudah dan mampu di akses oleh seluruh pelaku usaha dan jejaringnya.
Dalam perwujudan wisata halal, pemerintah daerah juga dapat mendorong pengelolaan destinasi wisata untuk lebih menjaga destinasi wisata (termasuk rumah makan dan pusat perbelanjaan) mendekati ketentuan Syariah Islam. Misalnya, tersedianya fasilitas ibadah secara memadai dan mudah diakses, pelarangan penjualan minuman berakohol, dan lainnya. Selain itu, perlu optimalisasi peran Tourist Information Center sebagai bagian dari komunikasi dengan wisatawan. Informasi terkait tempat ibadah, produk dan restoran halal serta hotel Syariah maupun hotel konvesional yang layak dan syar’i. Rambu-rambu, petunjuk arah, maupun papan informasi dapat ditambah dengan Bahasa yang digunakan oleh kaum muslim di dunia. Tourist Information Center juga diintegrasikan dengan teknologi informasi dan bisa di aplikasikan dalam mobil phone yang bisa memberikan kemudahan akses wisatawan untuk mendapatkan informasi.
Halal dan Peningkatan value produk
Saat ini, jika kita sedang berada di negara non muslim, misal di Tokyo, kita bisa menggunakan aplikasi yang menunjukkan dimana lokasi dan bahkan tempat sholat (masjid/musholla) yang paling dekat dengan posisi kita saat itu. Menjadi sangat menarik, mengapa banyak negara non-muslim yang berusaha mendapatkan sertifikasi halal atas produk wisatanya, restaurant, fasilitas ibadah, termasuk travel nya. Saat saya tanyakan alasannya, mereka menjawab dengan senyum, dengan adanya sertifikasi halal, maka bisa dipastikan makanan nya sehat dan bersih. Sehingga, sertifikasi halal bagi mereka menjadi guidance saat mereka kebingungan mencari makanan yang sehat dan bersih di wilayah asing bagi mereka. Demikian juga wisatawan di Thailand, mereka memerlukan hotel yang sehat dan bersih, dan sertifikasi halal yang dimiliki hotel akan menjadi faktor utama didalam memutuskan menginap disana.
Dengan demikian, sertifikasi Halal, merupakan salah satu strategi bagi para pengusaha untuk memberikan value yang lebih pada produk yang mereka jual. Artinya halal tidak hanya dalam perspektif agama, tetapi dalam perspektif kehidupan yang makin glamours, serba cepat, dan complicated, label halal menjadikan keputusan membeli semakin mudah dana aman.
Berbagai upaya dalam optimalisasi potensi wisata halal akan semakin memperkuat branding wisata halal bagi Malang Raya. Digital Marketing, e-commerce, terus diperkuat dengan saling mengintegrasikan dan membangun kolaborasi mutualisme bagi semua stakeholder pariwisata. Kerjasama antar pemerintah daerah di Malang Raya harus diperkuat, di bidang Perencanaan, implementasi program, dengan tujuan untuk mengambil ceruk yang lebih besar di dalam memenangkan hati wisatawan global, baik muslim dan non-muslim. Mewujudkan dan aktualisasi nilai-nilai agama melalui wisata halal secara tidak langsung akan membentuk halal city termasuk masyarakat madani di dalamnya. Harapan semua, Wisata bangkit ekonomi terungkit. Wallahu’alam.
Candra Fajri Ananda
*Penulis adalah Guru Besar Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Brawijaya sekaligus Staf Khusus Menteri Keuangan