PERTUMBUHAN ekonomi Indonesia pada kuartal III-2020 terkontraksi hingga minus 3,49% secara tahunan atau year on year (yoy). Dengan catatan tersebut, ekonomi Indonesia resmi resesi secara teknikal, karena dua kuartal berturut-turut secara tahunan telah minus.
Meski demikian, Indonesia sejatinya telah mengalami banyak perbaikan dan kemajuan ekonomi dibandingkan dengan kuartal II ketika awal pandemi terjadi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa secara Q to Q pertumbuhan ekonomi RI mencapai 5,05%. Kendati begitu, pertumbuhan tersebut secara tahunan masih berada di level negatif -3,49%. Belanja pemerintah pada kuartal III 2020 tumbuh 9,76% dan memberi kontribusi senilai 9,69% terhadap output perekonomian. Sementara itu, sektor konsumsi rumah tangga yang menjadi tumpuan perekonomian nasional pada kuartal III 2020 tercatat secara tahunan masih tumbuh -4,04%.
Membangkitkan perekonomian di tengah pandemi memang tidak mudah. Kebijakan pemerintah melalui pemulihan ekonomi nasional (PEN) terbukti efektif dalam membangkitkan pelemahan ekonomi nasional yang sempat membayangi Indonesia sejak awal pandemi, Maret 2020. Hingga kuartal III 2020 pemerintah telah membelanjakan APBN senilai Rp1.840,9 triliun atau 67,2% dari total belanja negara. Angka tersebut mengalami kenaikan 15,4% jika dibandingkan periode yang sama 2019. Khusus untuk program Penanganan Covid-19 dan PEN, belanja yang sudah tersalurkan hingga 2 November lalu telah terealisasi Rp366,86 triliun atau sekitar 52,8% dari total pagu Rp695,2 triliun. Pada kuartal keempat, sisa anggaran wajib terus disalurkan untuk menstimulasi perekonomian.
Sinergi Sektor Keuangan dan Riil
Sebagai lembaga intermediasi, perbankan memiliki peranan penting dalam perekonomian suatu negara. Bank memiliki peran strategis untuk menjembatani kebutuhan modal antara pemilik dana dan peminjam dana. Bank juga dapat mendukung sektor riil, baik dalam rangka peningkatan iklim usaha dan iklim investasi maupun penciptaan lapangan kerja. Karena itu, jika fungsi intermediasi perbankan tidak berjalan optimal, secara langsung hal tersebut akan berdampak pada kinerja ekonomi.
Pandemi Covid-19 yang belum juga usai kini mulai memberikan dampak negatif bagi fungsi intermediasi perbankan. Tak dapat dimungkiri bahwa pandemi telah melemahkan fungsi intermediasi sektor keuangan. Data menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit bank umum pada Agustus 2020 hanya berhenti di angka 1,04% (yoy), di mana angka tersebut merupakan pertumbuhan kredit terendah sejak 2018. Tak hanya itu, hasil survei juga mengindikasikan pertumbuhan kredit akan melambat untuk keseluruhan 2020. Responden memperkirakan pertumbuhan kredit pada 2020 sebesar 2,5% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan realisasi kredit pada 2019 sebesar 6,1% (yoy).
Di sisi lain, pada Agustus 2020 pertumbuhan DPK justru mencapai 11,64% (yoy), di mana angka tersebut merupakan pertumbuhan DPK tertinggi sejak 2018. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) perbankan didorong oleh pertumbuhan DPK BUKU 4 yang mencapai 15,37% (yoy). Peningkatan DPK pada Agustus 2020 terjadi pada seluruh jenis DPK dan berdasarkan golongan nasabahnya, peningkatan terjadi pada nasabah korporasi dan perorangan.
Rendahnya angka pertumbuhan kredit dan tingginya pertumbuhan DPK tak lain akibat permintaan domestik yang belum kuat dan kehati-hatian perbankan akibat berlanjutnya pandemi Covid-19. Saat ini masyarakat lebih memilih pendapatannya ditabung untuk berjaga-jaga daripada untuk konsumsi atau investasi. Hal tersebut yang kini menyebabkan pertumbuhan DPK lebih tinggi daripada pertumbuhan kredit.
Secara spesifik nyatanya tidak semua bank mengalami penurunan kredit di masa pandemi. Di antara berbagai bank yang kini mengalami masalah kredit, sejumlah bank daerah justru mencatat pertumbuhan kredit paling mumpuni dibandingkan kelompok lainnya. Segmen konsumsi, terutama penyaluran kredit kepada ASN jadi penopangnya. OJK mencatat sampai September 2020 pertumbuhan kredit bank daerah mencapai 2,73% (yoy), melampaui pertumbuhan kelompok bank lain yang masih tercatat negatif. Selain bank daerah, beberapa bank milik pemerintah lainnya juga tercatat mengalami pertumbuhan penyaluran kredit. Kenaikan kredit di tengah lesunya permintaan kredit, salah satunya disebabkan penempatan dana pemerintah kepada berbagai bank BUMN yang totalnya mencapai Rp30 triliun yang harus disalurkan menjadi kredit sebesar tiga kali lipat dalam tempo tiga bulan.
Bagi bank yang kini mengalami penurunan permintaan kredit akibat pandemi, mereka cenderung melepas sebagian dana ke instrumen surat berharga semisal obligasi atau surat berharga negara (SBN). Tentunya, cara itu dilakukan semata-mata untuk mengelola likuiditas ada di level yang normal. Langkah yang diambil oleh perbankan yang kini memiliki kelebihan dana untuk membeli surat berharga negara menjadi solusi yang tepat mengingat anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) kini membutuhkan dukungan. Di sisi perbankan sendiri, penempatan dana di SBN dinilai cukup menguntungkan karena harganya yang berfluktuasi mengikuti pasar.
Membangun Confidence Pelaku Ekonomi
Survei lain yang dirilis oleh Bank Indonesia (BI) terkait permintaan dan penawaran bank menunjukkan bahwa permintaan pembiayaan korporasi telah mulai meningkat pada September 2020. Peningkatan permintaan terutama terjadi pada kredit korporasi. Para responden survei pun memperkirakan permintaan kredit masih akan tumbuh dalam tiga bulan ke depan, meskipun melambat. Peningkatan kebutuhan pembiayaan terutama dialami sektor pertambangan, pengadaan listrik, gas, dan air, konstruksi, jasa keuangan dan real estat. Sebaliknya, kenaikan permintaan kredit oleh industri pertanian, pengolahan, perdagangan, penyedia akomodasi, serta jasa perusahaan, pendidikan, kesehatan, dan lainnya akan melambat.
Sejatinya, pertumbuhan kredit akan mengikuti tren pemulihan ekonomi. Jika pemulihan ekonomi berjalan lambat, kredit juga akan sulit tumbuh. Artinya, intermediasi perbankan diperkirakan akan membaik sejalan dengan prospek perbaikan kinerja korporasi dan pemulihan ekonomi domestik, serta konsistensi sinergi kebijakan yang ditempuh. Adapun kinerja korporasi triwulan III 2020 terindikasi secara perlahan membaik. Hal ini tecermin dari peningkatan penjualan, kemampuan bayar, serta penerimaan perpajakan terutama pada sektor industri dan perdagangan.
Pada intinya, kunci dari pemulihan fungsi intermediasi sektor perbankan saat ini adalah dengan membangun confidence para pelaku ekonomi sehingga seluruh sendi perekonomian dapat kembali berjalan sebagaimana mestinya. Selain itu, koordinasi yang baik antarlembaga terkait di antaranya Bank Indonesia, OJK, Lembaga Penjamin Simpanan, hingga Kementrian Keuangan sangat diperlukan untuk memperkuat stabilitas sistem keuangan serta mendorong penyaluran kredit dan pembiayaan bagi pemulihan ekonomi nasional. Semoga.
Prof Candra Fajri Ananda PhD
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia