BADAI susulan terlahir dari berita mengenai neraca perdagangan. Minggu lalu neraca perdagangan kita selama April 2019 dilaporkan mengalami defisit yang cukup hebat hingga USD2,5 miliar. Angka tersebut dianggap sebagai sebuah sejarah baru karena nilai defisitnya menjadi yang terparah sejak Indonesia merdeka.
Nilai ekspor tercatat menurun baik secara month to month (10,8%) maupun year on year (13,1%). Secara kumulatif selama Januari-April 2019 juga tercatat mengalami penurunan 9,39% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (yoy). Sebaliknya, nilai impor April 2019 justru meningkat 12,25%, namun secara kumulatif (Januari-April 2019) nilainya justru turun 7,24% dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya.
Angka-angka tersebut ikut menggambarkan bahwa kinerja ekspor kita semakin sulit diharapkan untuk mendukung perbaikan dalam jangka pendek. Posisi ini tentu menjadi pekerjaan rumah (PR) yang cukup berat bagi kita semua karena situasinya tidak terbatas menyangkut ekspor dan impor.
Neraca perdagangan adalah salah satu faktor fundamental makroekonomi yang berfungsi menahan perekonomian dari guncangan ekonomi eksternal dan internal. Sementara variabel lainnya di tataran makroekonomi seperti tingkat inflasi, suku bunga, dan kurs rupiah tampaknya masih dalam level yang aman dan terkendali (stabil).
Para menteri di bidang ekonomi kita harapkan dapat fokus merangkai kebijakan insentif untuk membuka jalan keluar. Tentu kebijakan yang disusun di setiap bidang tersebut diharapkan bisa berjalan harmonis sehingga tidak justru memperparah tatanan akibat desain kelembagaan yang kurang efektif atau malah tumpang tindih.
Koordinasi lintas kementerian akan menjadi salah satu faktor penentunya. Beberapa kasuistik seputar impor seringkali menimbulkan polemik misalnya terkait impor pangan yang diwarnai disharmoni kebijakan antara menteri perdagangan dan kepala Bulog. Apalagi tensi ketegangan bertambah setelah beberapa kali impor dilakukan pada momentum yang kurang tepat.
Tahun lalu impor pangan bahkan dilakukan pada saat menjelang panen raya dan melahirkan banjir kritikan. Kendati dari beberapa sisi kebijakan impor sangat dibutuhkan untuk menjaga keamanan stok pangan, hasilnya akan keluar dari ekspektasi awal jika impor justru membuat excess supply dan pada gilirannya akan mendistorsi harga pangan lokal. Pada akhirnya kebijakan impor justru bersifat demotivated, terutama pada pelaku ekonomi dalam negeri.
Dalam situasi yang lain, hasil kebijakan Bank Indonesia (BI) melalui 7 days repo rate (7DRR) dan tingkat bunga umum terlihat masih terkendali dengan baik. Akan tetapi tingkat loan deposit ratio (LDR)-nya secara nasional tampak sedang menurun.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga (LDR) bank umum menurun dari 93,35% pada Februari 2019 menjadi 93,27% pada Maret 2019. Pada saat bersamaan pertumbuhan kredit cenderung melambat dari 12,13% menjadi 11,55% pada Februari 2019 (yoy).
Sementara itu, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) justru sebaliknya, mengalami kenaikan terbatas dari 6,57% menjadi 7,18% (yoy). Hal ini menggambarkan daya beli yang menurun atau pasar tengah mengalami kelesuan sehingga kita perlu usaha bersama dan serius untuk segera mengatasinya.
Untuk menggenjot laju pertumbuhan kredit sementara ini mungkin juga akan terengah-engah karena ketatnya likuiditas perbankan. Alokasi dana perbankan yang terserap untuk pembiayaan infrastruktur sudah sangat besar sehingga menghimpit alokasi untuk kredit sektor lainnya.
Adapun karakteristik pembiayaan infrastruktur sendiri cenderung kurang fleksibel untuk mengatasi persoalan jangka pendek karena jumlahnya relatif besar dan proses pengembaliannya tidak bisa dalam waktu sekejap. Persaingan antara DPK perbankan vs obligasi ritel pemerintah semakin tidak tertahan dengan kian agresifnya pemerintah menghimpun dana masyarakat melalui kupon obligasi yang ditawarkan lebih tinggi.
Tingkat likuiditas mungkin akan semakin menipis dengan kondisi neraca perdagangan yang defisit sehingga akan membuat banyak valuta asing yang berhamburan ke luar negeri untuk membiayai impor. Hal ini juga belum termasuk dengan potensi “kaburnya” para pemodal asing akibat sentimen negatif yang berasal dari dalam dan luar negeri.
Bagaimanapun kondisinya, perekonomian Indonesia harus diupayakan tetap mampu menyala dan bergairah. Langkah pertama yang perlu dikerjakan pemerintah adalah menjaga inflasi dengan ketat, terutama melalui stabilitas distribusi dan produksi selama masa Ramadhan dan Lebaran.
BI memprediksi kebutuhan uang tunai selama Ramadhan dan Lebaran 2019 mencapai sekitar Rp217,1 triliun, lebih tinggi sekitar 13,5% dibanding tahun lalu yang sebesar Rp191,3 triliun. Prediksi ini juga memberikan gambaran bahwa perputaran uang dan transaksi penjualan dalam beberapa pekan mendatang akan berjalan cukup masif.
Karena itu, sub-sub organisasi pemerintah yang berwenang mengendalikan rantai pasokan perlu bekerja ekstra mengawasi ketersediaan dan distribusi antardaerah, terutama untuk Bulog karena pada umumnya momentum sekarang ini akan membuat konsumsi pangan mengalami lonjakan signifikan.
Berikutnya, langkah BI dengan mempertahankan BI Rate tetap pada angka 6% sudah sangat tepat agar tingkat suku bunga perbankan tidak terkoreksi naik. Justru momentum-momentum seperti ini diharapkan mampu meningkatkan kredit, terutama yang dapat mendorong produktivitas domestik. BI (dan juga pemerintah) harus berani berperang terbuka melawan keresahan masyarakat supaya mereka tetap melakukan produksi dan konsumsi.
Dua hal tersebut (produksi dan konsumsi) merupakan jalan keluar yang paling logis untuk saat ini agar roda perekonomian kita tidak macet. Pemerintah juga perlu mengoreksi agar situasi yang terjadi saat ini tidak berlangsung lama, khususnya terkait pemulihan daya saing investasi dan produksi dalam negeri.
Langkah lainnya yang mungkin cukup urgen untuk segera dilakukan adalah pemerintah perlu segera mencairkan tunjangan hari raya (THR) seperti yang sudah dijanjikan. THR sangat dibutuhkan untuk menginjeksi perekonomian, khususnya untuk mendorong konsumsi yang cenderung statis saat ini.
Jika pemerintah belum berani mencairkan THR, sektor swasta bisa jadi akan melakukan hal yang serupa karena berkaca pada bentuk kehati-hatian pemerintah dalam pengelolaan keuangan. Di luar itu pemerintah juga perlu mengawasi transaksi daring (online) yang menjual lebih banyak produk impor ketimbang hasil produksi dalam negeri.
Impor barang konsumsi selama April 2019 kemarin melesat 24,12% (mtm), padahal pertumbuhan konsumsi kita sendiri relatif stagnan di kisaran 5%. Tentu angka-angka seperti ini dapat dibilang “ajaib” karena bisa jadi banyak transaksi yang belum terawasi/terkendali.
Mengingat penikmat transaksi online jumlahnya akan sangat mungkin meningkat dengan berbagai macam kemudahan yang ditawarkan, sudah barang tentu pemerintah perlu berhati-hati agar kita tidak semakin terjebak pada distribusi impor. Selain akan membebani neraca perdagangan, impor yang berlebihan juga akan dapat mematikan produksi domestik terutama pada produk-produk yang homogen.
Peran kementerian di lingkup perekonomian sangat penting untuk mengkaji kembali kesiapan pasar Indonesia menghadapi gempuran semacam ini. Jika dibiarkan bebas, tidak dipungkiri pasar produksi dalam negeri akan segera tergerus secara cepat dan pasti.
Kita semua harus segera bangkit kembali seperti reformasi kebangkitan 20 Mei 1908 silam. Berbagai proyek-proyek daya saing yang sudah difasilitasi pemerintah perlu kita manfaatkan dengan baik, sembari membenahi kekurangan-kekurangan yang masih kita hadapi. Mudah-mudahan kita tidak surut semangatnya untuk mengejar kemenangan bersama. Semoga!
Candra Fajri Ananda Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya