Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
Idul Fitri yang dimaknai sebagai hari kemenangan menandakan dimulainya kehidupan baru tatkala manusia dan bumi telah kembali disucikan untuk merajut kembali kehidupan dengan semangat baru, langkah baru, target baru, kemuliaan dan kemakmuran baru.
Hakikat Idul Fitri adalah raihan spiritual seorang hamba yang beriman setelah berjuang keras dalam “kawah candradimuka” Ramadhan dengan berbagai aktivitas ritual maupun sosial dalam rangka penghambaan diri manusia kepada Tuhannya secara komprehensif. Jika taqwa itu tercapai, akan terwujudlah pribadi-pribadi yang shalih baik secara individual maupun sosial.
Semangat Idul Fitri untuk saling memaafkan dan memulai kembali jalinan silaturrahmi antarmanusia menjadi momentum transformasi nilai dan spirit yang dapat membawa kemajuan bangsa, utamanya meningkatkan produktivitas. Pascahantaman pandemi hingga menyebabkan kontraksi ekonomi, kini perlahan roda ekonomi telah kembali membaik.
Sektor-sektor bisnis yang sempat terpuruk akibat pandemi, kini mulai bangkit seiring mata rantai ekonomi dan bisnis yang juga terus menguat. Hal tersebut menjadi pertanda bahwa optimisme dan harapan untuk perubahan individu dan masyarakat menuju arah yang lebih baik telah kembali.
Oleh karenanya, Idul Fitri seharusnya menjadi momentum transformasi terciptanya semangat baru yang tak hanya memberikan perubahan perbaikan spiritual, namun juga perbaikan etos kerja yang didorong semangat kompetisi global dalam berbagai bidang.
Kementerian Keuangan melaporkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kuartal I/2022 mencatatkan surplus Rp10,3 triliun. Capaian angka surplus tersebut berbanding terbalik dengan tahun sebelumnya yang masih tercatat defisit Rp143,7 triliun. Pendapatan negara di kuartal I saat ini ditopang oleh penerimaan pajak. Pada kuartal I/2022, penerimaan perpajakan sebesar Rp401,8 triliun yang terdiri penerimaan pajak Rp322,5 triliun serta kepabeanan dan cukai Rp79,3 triliun.
Sementara itu, realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencapai Rp99,1 triliun. Meski demikian, masih terjadi kontraksi belanja negara di tengah surplus pendapatan negara. Kementerian Keuangan mencatat realisasi belanja negara pada kuartal I/2022 sebesar Rp484,83 triliun, di mana jumlah tersebut hanya mencapai 17,86% dari target APBN sebesar Rp2.714,2 triliun. Jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya, belanja tersebut mengalami penurunan.
Urgensi Optimalisasi Belanja Pemerintah
Kondisi penurunan belanja di kuartal I/2022 akan berdampak pada capaian pertumbuhan ekonomi kuartal I. Dorongan terhadap belanja masih menjadi salah satu motor utama dalam mencapai target pemulihan ekonomi. Kontribusi tetap belanja pemerintah sekitar 9-10% dari Produk Domestik bruto (PDB).
Data juga menunjukkan bahwa pada kuartal I/2022 pendapatan atau konsumsi rumah tangga masyarakat belum bisa kembali ke era sebelum pandemi. Untuk itu, kuartal II/2022 pemerintah harus mendorong belanja, melalui percepatan pencairan untuk proyek maupun pencairan untuk belanja barang dan jasa yang memiliki daya ungkit bagi peningkatkan konsumsi masyarakat.
Terlebih, kini terdapat hal yang tak terduga terjadi yang dapat mengguncang stabilitas ekonomi nasional, di antaranya seperti konflik Rusia-Ukraina, tinggginya inflasi global, dan juga biaya produksi mengalami kenaikan signifikan karena adanya lonjakan harga komoditas. Oleh sebab itu, pemerintah perlu segera mengupayakan peningkatan belanja mengingat kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi saat ini masih sangat dibutuhkan.
Tak dapat dihindari fakta bahwa upaya peningkatan belanja pemerintah membutuhkan dukungan penerimaan negara yang memadai. Salah satu komponen penerimaan negara berasal dari ekspor komoditas. Selama pandemi, neraca perdagangan Indonesia selalu mengalami surplus.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia sepanjang 2021 kembali mengalami surplus senilai USD35,34 miliar. Surplus tersebut terjadi karena nilai ekspor tercatat USD231,54 miliar dan impor USD196,2 miliar. Bahkan, capaian surplus tersebut menjadi yang terbesar dalam lima tahun terakhir. Selain itu, surplus pada Desember 2021 tersebut menjadi surplus yang terjadi secara beruntun dalam 20 bulan terakhir. Begitu juga dengan penerimaan negara bea keluar dan PNBP seperti non migas, menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam beberapa bulan terakhir. Diversifikasi Komoditas Pertumbuhan Ekonomi Melihat dinamika ekspor impor Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, terlihat betapa penting kita melakukan transformasi struktural, terutama pada sektor industri pengolahan. Kita tidak bisa lagi berharap besar pada ekspor komoditi. Pemerintah perlu mencari alternatif penerimaan melalui diversifikasi komoditas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Salah satunya adalah dengan terus mendorong sektor industri sebagai mesin penggerak pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 63,8% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada kuartal IV/2021 didorong oleh lima sektor lapangan usaha, di mana salah satunya adalah sektor industri. Data menunjukkan bahwa sektor industri memiliki kontribusi terhadap PDB sebesar 18,3%. Berdasarkan laporan BPS itu, harus diakui kinerja sektor industri tetap memberikan kontribusi paling dominan, yakni 76,37% dari total nilai ekspor nasional yang berada di angka USD66,14 miliar, selama periode kuartal I/2022. Prestasi itu tentu sangat membanggakan dan patut terus dipertahankan, bahkan terus didorong.
Transformasi struktural menjadi hal mutlak yang perlu dilakukan pemerintah untuk dapat mendorong potensi sektor industri dalam berkontribusi terhadap penerimaan negara dan pembentukan PDB. Transformasi struktural dapat dicapai melalui peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), dukungan bahan baku dan energi, serta kemudahan akses pembiayaan yang bisa diakses oleh sektor industri hingga kemudahan lain untuk mendukung kegiatan usaha industri. Selain itu, potensi sumber daya alam (SDA) yang tersebar di berbagai wilayah juga perlu dorongan untuk dapat dimanfaatkan melalui hilirisasi.
Sektor industri menjadi penopang utama dalam upaya pemulihan ekonomi nasional. Sektor ini juga merupakan salah satu sektor yang tak hanya mampu mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi namun juga memiliki peranan untuk mengatasi masalah pengangguran.
Maka tak heran sektor industri mampu menjadi mesin penggerak utama sekaligus tulang punggung utama perekonomian nasional yang perlu terus didukung. Oleh karenanya, respons kebijakan yang tepat dengan situasi serta transformasi ekonomi adalah kunci penggerak sektor industri yang harus terus diupayakan, sehingga momentum positif yang ada saat ini dapat dijaga, bahkan terus dipacu. Semoga.
Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Selasa, 10 Mei 2022 – 10:25 WIB oleh Koran SINDO dengan judul “Idul Fitri Titik Nol Menuju Transformasi Struktural”.