DARI berbagai sistem perekonomian yang paling mainstream yang dikembangkan di seluruh negara, dapat kita akui bahwa sistem kapitalisme menjadi yang favorit daripada sistem-sistem lainnya. Kendati demikian pelaksanaannya tidak dapat dikatakan seragam. Tentu ada modifikasi di berbagai sisi agar implikasinya sesuai dengan konsep/kultur pembangunan di negara tersebut. Sistem kapitalisme begitu mengagungkan persaingan sebagai jalan menuju level kesejahteraan yang optimum.
Proses persaingan dikelola melalui mekanisme pasar yang tidak terbatas (bebas/liberal), peran pemerintah hanya sebatas regulator dan/atau pengawas persaingan. Semua pelaku dari latar belakang apa pun berhak mengikuti arena persaingan, tetapi mereka juga dituntut dapat memaksimalkan segala sumber dayanya untuk mampu bertahan atau bahkan menjadi penguasa pasar. Dengan demikian penerima manfaat (konsumen) berhak memiliki pilihan yang memanjakan, baik dari sisi harga maupun kualitas produk/layanan. Dengan metode inilah para pengampu teori kapitalisme berharap semua pelaku akan berjuang sekuat-kuatnya untuk meningkatkan kreativitas dan efisiensi usahanya. Akan tetapi dalam praktiknya ternyata tidak semua negara mampu mengelola mekanisme pasar dengan sempurna. Tidak sedikit negara yang kemudian justru direpotkan karena proses persaingan yang tidak berjalan dengan sehat. Banyak pelaku yang kemudian saling sikut demi memonopoli pasar. Akibatnya mulai muncul perilaku rent-seeking dan berbagai bentuk kecurangan lain demi keuntungan segelintir pihak. Jadi persaingan dalam ekonomi tidak lagi murni melalui kualitas/layanan produk yang dihasilkan, melainkan mulai melibatkan si invisible hand. Bahkan kanibalisme sering tak terhindarkan karena sejumlah pelaku sulit mengimbangi persaingan. Pada saat persaingan tidak lagi dinikmati banyak orang, mekanisme pasar justru akan menimbulkan konflik dan krisis multidimensi. Tahap ini yang kemudian dikenal sebagai kegagalan pasar. Kondisi pasar juga tidak akan mampu lagi mengalokasikan sumber dayanya secara efisien. Sebagai kritik atas teori kapitalisme tersebut, teori Keynesian mulai bermunculan untuk memperbaiki kondisi pasar yang tidak sehat. Dalam teori tersebut sistem ekonomi mulai menggabungkan peran pemerintah dan pasar dalam proporsi yang lebih berimbang. Apalagi masalah pembangunan juga menyangkut persoalan sosial seperti kemiskinan, ketimpangan, dan pengangguran yang nyaris tidak pernah dihiraukan para kapitalis. Untuk itu perlu ada campur tangan pemerintah dan negara melalui kebijakan afirmatif dan progresif. Namun dalam proses penyusunan kebijakan, pemerintah juga sangat membutuhkan informasi yang valid dan data yang akurat agar intervensinya dapat dilakukan dengan tepat sasaran, tepat waktu, dan dalam jangka durasi yang ideal. Tanpa seperangkat informasi tersebut, yang patut dikhawatirkan kebijakan pemerintah justru akan menjadi bumerang di lain hari kemudian. Intervensi pemerintah mutlak sangat dibutuhkan dalam perekonomian jangka panjang. Proses intervensi pemerintah dapat dilakukan melalui regulasi dan kebijakan fiskal. Dalam hal kebijakan ekonomi makro, kerangka kebijakan fiskal jangka panjang sangat dibutuhkan untuk menyisir potensi dinamika yang akan terjadi di masa mendatang. Kebijakan fiskal yang diampu pemerintah akan sangat ideal jika mampu menjawab kebutuhan di setiap jenjang antarwaktu. Dan untuk saat ini persoalan pemerintah bisa dibilang mengerucut pada kebutuhan infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) yang memadai. Keduanya bisa dibilang akan menjadi faktor kunci untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan tantangan persaingan global. Nah, mengenai kedua persoalan tersebut, pemerintah tengah menghadapi pekerjaan yang relatif berat karena beban yang tinggi untuk memenuhi standar yang dibutuhkan. Kendati proyek-proyek infrastruktur sudah digenjot sangat masif sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Presiden Joko Widodo (Jokowi), tampaknya tingkat pertumbuhan kita belum mampu terangkat secara signifikan. Kedua presiden memiliki kasus yang sama untuk layanan infrastruktur, yakni dari sisi pembiayaan dan sistem transportasi yang efisien untuk menjamin mobilitas dan koneksitas antarwilayah serta stabilisasi harga berjalan dengan optimal. Kebijakan utang yang terpaksa digunakan pemerintah mengingat keterbatasan APBN justru menjadi buah simalakama karena diwarnai dengan isu-isu politik. Akibatnya proyek-proyek infrastruktur belum berbicara banyak untuk memacu investasi dan menopang pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Lain cerita dengan kebutuhan SDM berkualitas, kita saat ini tengah berpacu dengan waktu untuk memenuhi target sebelum bonus demografi diproyeksikan terjadi di 2020. Peningkatan kualitas SDM utamanya dapat dipenuhi melalui dua jalan strategis, yakni penguatan di sektor pendidikan dan kesehatan. Kedua sektor juga menghadapi persoalan yang beragam untuk mencapai titik optimal. Padahal alokasi dana pendidikan sudah di-earmarked hingga minimum sudah mencapai 20% dari APBN, bahkan di tingkat daerah pun ditata sedemikian rupa melalui APBD. Sudah berulang kali kurikulum dan kebijakan pendukung di sektor pendidikan mengalami perombakan demi mencapai progresivitas. Akan tetapi hasilnya belum tampak memuaskan berdasarkan indikator daya saing di sektor pendidikan maupun dampak lanjutan dari sisi pengentasan kemiskinan dan pengangguran. Berdasarkan survei Programme for International Student Assessment (PISA) yang diterbitkan OECD pada 2015, Indonesia berada di peringkat ke-64 dari ke-72 dunia untuk pendidikan sains, teknologi, teknik, dan matematika. Keempat bidang pendidikan tersebut sering kali dianggap sebagai bibit-bibit inovasi dalam pembangunan. Kita masih relatif tertinggal bila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga di ASEAN, termasuk Vietnam yang berada di urutan kedelapan dunia. Beberapa jurnal menyimpulkan sedikitnya ada 3 persoalan utama di sektor pendidikan yang belum teratasi, yakni kurikulum pendidikan, kurangnya tenaga pendidikan berkualitas, dan pemerataan pendidikan. Selain itu kemampuan literasi kita masih sangat terbatas untuk menunjang berbagai pengetahuan. Bahkan menurut The World Most Literate Nation Study, Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara. Persoalan semakin runyam ketika hasil pendidikan dikaitkan dengan dunia ketenagakerjaan. Pasalnya berdasarkan struktur pengangguran terbuka di Indonesia (BPS, 2019), komposisi terbesar justru ditempati tenaga kerja berpendidikan SMA/SMK (52,31%) dan alumni perguruan tinggi (13,58%). Dengan demikian kita patut mengevaluasi kembali sistem pendidikan kita agar tidak justru menimbulkan masalah baru di kehidupan sosial. Bisa jadi faktor kuncinya selain karena tiga persoalan utama sebelumnya, juga disebabkan kurikulum yang berganti-ganti secara cepat, tetapi minim kreativitas dan koneksitas dengan dunia kerja.
Akibatnya semakin banyak warga yang berpendidikan tinggi, jumlah lapangan pekerjaan justru semakin terbatas bagi mereka. Kita juga perlu mengakomodasi agar kemampuan mereka juga mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang nilai ekonominya setara dengan strata pendidikan yang mereka miliki. Semestinya kita perlu fokus agar anggaran yang relatif besar tersebut memacu kualitas SDM yang lebih baik. Nah, kebijakan zonasi pendidikan yang sekarang diterapkan ini menjadi ramai diperbincangkan karena lingkungan yang belum terbiasa dengan kebijakan tersebut. Pertanyaannya sekarang, benarkah ini nanti akan menjadi solusi untuk pemerataan pendidikan ataukah justru (lagi-lagi) akan menimbulkan masalah baru bagi stakeholder-nya? Bagaimana pula dengan perkembangan pendidikan di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), apakah sudah didesain agar mereka juga menikmati pendidikan yang berkualitas? Mudah-mudahan kebijakan yang baru bisa menjadi solusi. Di luar itu semua, kita juga berharap kebijakan-kebijakan yang ada dapat mendukung secara simultan harga diri Indonesia di mata internasional. Salah satu contohnya terkait dengan kasus ekspor yang kian menurun dan masih bergantung pada komoditas-komoditas mentah. Pada saat komoditas mendapat harga yang tinggi, tentu sangat nyaman bagi perekonomian Indonesia karena nilai ekspor kita akan meningkat. Akan tetapi pada situasi sebaliknya, nilai ekspor kita akan menurun drastis dan berimbas banyak terhadap stabilitas perekonomian dalam negeri. Pertanyaan tambahannya, mengapa saat harga sedang tinggi kita tidak melakukan shifting pada industri pengolahan, agroindustri, atau industri komputer/software dan elektronik yang perkembangannya relatif lebih stabil daripada komoditas andalan ekspor sebelumnya. Keterlambatan dalam keputusan pada saat itu pada akhirnya kita rasakan sekarang. Dan kini semua sepertinya sudah berat untuk menyusul dan mengejar. Harapan kita tinggal bagaimana revolusi struktur perekonomian Indonesia dapat dibentuk melalui perbaikan infrastruktur dan SDM di masa depan. Selain itu stabilitas reformasi birokrasi dan kebijakan fiskal juga sangat dibutuhkan guna meningkatkan daya tarik investasi kita. Sangat penting untuk membuat kebijakan dengan data dan informasi yang terbaik karena dengan itu kita semua akan lebih mampu meramu resep kebijakan yang lebih akurat dan kita tidak terlena dengan “kesenangan sementara”.
Candra Fajri Ananda Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya