Pandemi kian nyata di depan mata. Angka kasus aktif Covid-19 di Tanah Air yang sempat menunjukkan tren penurunan di awal Februari 2021, kini justru kembali mengalami lonjakan dalam hitungan minggu sejak awal Juni 2021. Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 menyatakan pandemiCovid-19 di Indonesia telah memasuki gelombang kedua. Secara nasional Indonesia mengalami peningkatan kasus mingguan lebih dari 92% sejak awal Juni 2021. Pulau Jawa adalah bagian wilayah di Indonesia yang paling terdampak Covid-19 dengan kasus tertinggi di DKI Jakarta yang mengalami peningkatan kasus aktif hingga 387% dari sebelumnya. Wilayah lain di Pulau Jawa yang juga mengalami kenaikan pesat kasus aktif Covid-19 ialah Jawa Barat, Jawa, Jawa Timur, DI Yogyakarta, dan Banten.
Pulau Jawa adalah pulau dengan penduduk terbanyak di dunia. Setidaknya terdapat lebih dari 149 juta penduduk tinggal di wilayah tersebut. Pulau Jawa dihuni oleh lebih dari 56% total penduduk di Indonesia. Dengan demikian, lebih dari setengah penduduk Indonesia berada di Pulau Jawa. Oleh sebab itu, bukan hal yang mustahil ketika struktur perekonomian Indonesia secara spasial didominasi oleh kelompok provinsi di Pulau Jawa dengan kontribusi terhadap PDB sebesar 58,7%. Posisi berikutnya diduduki Pulau Sumatera sebesar 21,54%, diikuti Pulau Kalimantan sebesar 8,05%, Pulau Sulawesi sebesar 6,52%, Pulau Bali dan Nusa Tenggara sebesar 2,75%, serta Pulau Maluku dan Papua sebesar 2,44%.
Pengendalian kasus aktif Covid-19 dan pertumbuhan ekonomi adalah dua hal yang saling bertaut. Lemahnya perekonomian nasional akibat besarnya angka kasus aktif Covid 19 di Jawa saat ini menjadi sebab yang bisa diterima mengingat besarnya ketergantungan roda ekonomi nasional terhadap Pulau Jawa. Data menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia kuartal I-2021 masih mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 0,74% (yoy). Hal itu terjadi lantaran pengaruh kinerja ekonomi Pulau Jawa yang juga masih mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 0,83% (yoy). Padahal ketika di telaah lebih lanjut, di wilayah Indonesia lainnya telah mengalami pertumbuhan positif, yakni kelompok provinsi di Pulau Maluku dan Papua yang mencatat pertumbuhan tertinggi sebesar 8,97 persen (y-on-y). Akan tetapi sayangnya, peranan provinsi di Pulau Maluku dan Papua hanya sebesar 2,44% terhadap PDB sehingga tak mampu mendongkrak angka perekonomian nasional.
Rekonstruksi Pola Pembangunan
Kuznets melalui teori perubahan strukturalnya menjelaskan bahwa perubahan struktural mengandung arti peralihan dari masyarakat pertanian tradisional menjadi ekonomi industri modern, yang mencakup peralihan lembaga, sikap sosial dan motivasi yang ada secara radikal. Perubahan struktural ini menyebabkan kesempatan kerja semakin bertambah banyak, dan produktivitas buruh, stok modal, pendayagunaan sumber-sumber baru serta teknologi yang akan semakin tinggi. Teori tersebut menjelaskan bahwa sektor industri diyakini sebagai sektor yang dapat memimpin sektor-sektor lain dalam sebuah perekonomian menuju
kemajuan. Produk – produk industrialisasi selalu memiliki “dasar tukar” (terms of trade) yang tinggi atau lebih menguntungkan serta meciptakan nilai tambah yang lebih besar dibandingkan produk – produk sektor lain. Hal ini disebabkan karena sektor industri memiliki produk yang sangat beragam dan mampu memberikan manfaat marjinal yang tinggi kepada pemakainya seta memberikan margin/keuntungan yang lebih menarik.
Kemampuan Pulau Jawa dalam mendominasi roda perekonomian nasional bukan tanpa alasan. Selama ini, industri besar masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Data menunjukkan bahwa lebih dari 52% industri pengolahan masih terdapat di Pulau Jawa. Sementara potensi lainnya baik di Sulawesi, Kalimantan, Papua masih berada di bawah 10%. Sejatinya, bahan baku yang melimpah di Sumatera dan Kalimantan, seharusya mampu mendorong sektor industri tumbuh dan berkembang di dua pulau tersebut. Adapun alasan dibalik masih minimnya pembangunan industri pengolahan di luar Pulau Jawa adalah karena terbatasnya dukungan sarana dan prasarana yang ada di kawasan tersebut.
Fluktuasi kasus aktif Covid-19 di Pulau Jawa merupakan alarm bagi pemerintah untuk tidak lagi menggantungkan pembangunan ekonominya hanya dari Pulau Jawa. Rekonstruksi pola pembangunan perlu segera dilakukan dengan mulai mencari potensi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di luar Pulau Jawa. Peluang pembangunan pusat ekonomi di luar Pulau Jawa juga semakin terlihat dengan adanya dukungan peningkatan investasi di luar Pulau Jawa. Tercatat persebaran investasi pada triwulan IV tahun 2020 di luar Pulau Jawa mencapai Rp113,4 triliun (52,8%), melebihi investasi di Pulau Jawa sebesar Rp101,3 triliun (47,2%). Sedangkan, untuk periode sepanjang tahun 2020, realisasi investasi di luar Jawa sebesar Rp417,5 triliun (50,5%) lebih besar dibandingkan di Jawa sebesar Rp408,8 triliun (49,5%). Angka tersebut menunjukkan bukti bahwa investor dalam dan luar negeri tidak lagi menjadikan Jawa sebagai alternatif tujuan investasi satu-satunya.
Peningkatan Infrastruktur di Luar Pulau Jawa
Salah satu syarat mutlak bagi investor melakukan investasi adalah infrastruktur yang memadai. Selama ini, persebaran industri di luar Pulau Jawa masih relatif masih rendah. Hal itu tak lepas dari masih terbatasnya dukungan sarana dan prasarana yang ada di kawasan tersebut. Hasil kajian menunjukkan bahwa infrastruktur – listrik, jalan maupun air bersih – mempunyai pengaruh positif terhadap perekonomian di Indonesia. Listrik mempunyai peranan paling penting dalam proses produksi. Oleh sebab itu kebijakan pembangunan infrastruktur di luar Pulau Jawa sangatlah tepat dan perlu mendapatkan dukungan dari berbagai pihak.
Salah satu tantangan dalam pembangunan infrastruktur adalah aspek pembiayaan. Di masa pandemi ini, APBN telah bekerja keras untuk menopang ekonomi nasional. Oleh sebab itu, dalam rangka mengantisipasi kesenjangan pembiayaan infrastruktur dari APBN maupun APBD, pemerintah dapat melakukan inovasi pembiayaan pembangunan yang salah satunya bisa diperoleh melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Bagi daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi dan kemampuan implementasi tinggi, KPBU dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas proyek infrastruktur. Sedangkan untuk daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi namun kemampuan implementasi rendah sehingga SILPA tinggi, maka KPBU dapat memindahkan risiko konstruksi dan operasi kepada badan usaha sehingga on schedule-on budget. Selain itu, bagi daerah dengan kapasitas fiskal rendah
berkemampuan implementasi tinggi sehingga proyek Infrastruktur terlaksana namun dengan kuantitas terbatas pun juga dapat merasakan manfaat KPBU melalui peningkatan jumlah proyek infrastruktur.
Percepatan pembangunan infrastruktur di luar Pulau Jawa dapat menjadi gerbang pembuka pintu investasi yang lebih besar bagi wilayah di luar Pulau Jawa. Pengembangan ekonomi di luar Pulau Jawa tak hanya akan menjadi penyelamat ekonomi nasional di kala pandemi saja, namun juga dapat menjadi jalan pembuka dalam mencapai pemerataan ekonomi di jangka panjang. Semoga.
Prof Candra Fajri Ananda Ph.D
Staf Khusus Kementerian Keuangan RI