BAGI Indonesia, industri hasil tembakau (IHT) merupakan industri yang memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian nasional, terutama dalam hal penerimaan negara dan ketenagakerjaan. Data EY (2018) menunjukkan bahwa IHT mampu memberikan multiplier effect cukup besar dari sisi output multiplier maupun income multiplier. IHT dengan kontribusinya terhadap GDP sebesar 2,5% mampu memberikan output multiplier index sebesar 1,51 dan income multiplier index sebesar 1,55. Kedua nilai multiplier index tersebut lebih besar dari sektor trading, financial services, dan transportasi equipment.
Selanjutnya, IHT juga mampu memberikan dampak direct effect yang cukup tinggi yakni sekitar 326 triliun atau 3,6% terhadap GDP pada tahun 2017(EY, 2018). Khusus untuk sisi tenaga kerja, IHT mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang sangat besar, baik yang langsung bekerja dalam sektor penyediaan input (pertanian tembakau), sektor pengolahannya (pabrikan rokok) maupun sektor penjualan (perdagangan dalam negeri dan ekspor rokok). Selain itu, rantai IHT juga sangat lengkap menyediakan kesempatan kerja secara tidak langsung bagi sebagian lainnya. Data menunjukkan bahwa IHT mampu menyerap tenaga kerja sekitar 7 juta orang (INDEF, 2019). Dari total penyerapan tenaga kerja tersebut, sebanyak 2,9 juta merupakan pedagang eceran, 300.000 merupakan buruh pabrikan rokok, 60.000 karyawan pabrik, 1,6 juta petani cengkeh dan 2,3 juta petani tembakau (INDEF, 2019). Meskipun industri ini memiliki peran yang strategis dalam perekonomian, industri ini tidak lepas dari permasalahan dan tantangan. Pada tahun 2017, pemerintah mengeluarkan kebijakan simplifikasi golongan rokok secara bertahap sampai tiga tahun ke depan dan kuota kombinasi yang dituangkan dalam PMK 146/2017. Dalam perjalanannya, kebijakan ini banyak mendapatkan pro kontra terkait dengan dampak yang ditimbulkan. Kebijakan simplifikasi golongan rokok bukan merupakan hal baru bagi IHT. Hampir setiap tahun IHT dihadapkan pada kebijakan simplifikasi golongan rokok yang dimulai sejak tahun 2012. Beberapa kajian akan dampak kebijakan pemerintah tersebut menunjukkan bahwa kebijakan simplifikasi telah berdampak pada keberlangsungan dan kesinambungan IHT. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan jumlah pabrikan rokok, di mana pada tahun 2007 jumlah pabrikan rokok mencapai 4.793 namun pada tahun 2017 hanya tersisa 487 pabrikan. Dengan kata lain, pabrikan saat ini tinggal sekitar 10% dari jumlah pabrikan rokok di tahun 2007 yang mampu bertahan sampai saat ini. Dampak lain dari kebijakan tersebut tentunya konsekuensi logis dari turunnya jumlah IHT, yaitu turunnya penerimaan negara dari cukai hasil tembakau (CHT). Data pertumbuhan penerimaan CHT menunjukkan penurunan, jika dibandingkan dengan angka rata-rata tingkat pertumbuhan tahunan sebelum adanya simplifikasi golongan. Pada tahun 2010-2013, rata- rata tingkat pertumbuhan penerimaan CHT sebesar 18%, sedangkan pada tahun 2014-2017 rata-rata pertumbuhan penerimaan CHT menjadi sekitar 9%. Ilustrasi tersebut menunjukkan bahwa adanya kebijakan simplifikasi golongan tak hanya memberikan dampak negatif terhadap pabrikan rokok, melainkan juga memberikan dampak penurunan terhadap pertumbuhan penerimaan CHT. Melihat besarnya kontribusi IHT terhadap perekonomian nasional, maka kebijakan simplifikasi golongan rokok perlu dipertimbangkan kembali oleh pemerintah. Perusahaan yang terkena dampak simplifikasi golongan akan mengalami penurunan produksi hingga penutupan pabrik, di mana sebagian besar perusahaan tersebut adalah perusahaan kecil-menengah. Selain itu penurunan volume produksi bahkan penutupan pabrik akan berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) yang tentu menjadi concern pemerintah saat ini. Apalagi jika perhatikan, perekonomian Indonesia saat ini membutuhkan stabilitas yang kuat untuk tumbuh dan berlari seperti yang kita semua harapkan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga kuartal II-2019 masih mengalami perlambatan sebesar 5,05% (yoy). Realisasi ini lebih rendah dari realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal I-2019 yang sebesar 5,07% (yoy) dan juga lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi di kuartal II-2018 yang sebesar 5,27% (yoy). Bahkan, beberapa lembaga nasional dan internasional agak pesimistis untuk perekonomian nasional kita mencapai target yang diinginkan (5,3%). Konsumsi dan Investasi Di Indonesia, konsumsi masih menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi dengan kontribusi terhadap PDB sebesar 55,79%. Di kuartal II-2009, konsumsi masih mengalami pertumbuhan sebesar 5,17%. Pertumbuhan konsumsi dan investasi di tahun tersebut tak lain karena didukung oleh pendapatan yang membaik serta daya beli yang terjaga. Di sisi lain, perlambatan pertumbuhan juga terjadi pada kredit. Bank Indonesia mencatat bahwa pertumbuhan kredit perbankan pada Maret 2019 mengalami perlambatan. Penyalurannya mencapai Rp 5,319,3 triliun atau tumbuh 11,5% (yoy). Namun angka ini lebih rendah dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang mencapai 12%. Perlambatan tersebut terus terjadi hingga bulan berikutnya. Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit pada April 2019 hanya sebesar 11%. Data bank Indonesia menunjukkan bahwa perlambatan pertumbuhan kredit pada April tersebut terutama terjadi pada kredit modal kerja (KMK) yang melambat dari 12,3% menjadi 11,1%.
Perlambatan terutama terjadi pada KMK sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta sektor pengolahan. Sementara pertumbuhan kredit investasi (KI) naik tipis dari 13,2% menjadi 13,3% yang didorong oleh sektor konstruksi. Peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah ancaman ekonomi global yang melambat dapat direalisasikan jika pemerintah menjaga daya beli masyarakat melalui income yang terus terjaga. Bila daya beli masyarakat meningkat, kegiatan ekonomi pun akan berlangsung lancar karena konsumsi masih menjadi penyumbang utama pertumbuhan ekonomi. Namun, jika IHT yang memiliki kontribusi besar terhadap penyerapan tenaga kerja tersebut mengalami penurunan produksi bahkan hingga penutupan pabrik, maka tenaga kerja yang terlibat dari hulu-hilir dalam IHT akan kehilangan sumber pendapatannya. Padahal, yang dibutuhkan oleh Indonesia saat ini ialah menjaga pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi dan investasi yang keduanya bergantung pada income masyarakat. Kenaikan cukai guna mendorong penerimaan CHT dapat dilakukan tanpa harus melakukan simplifikasi golongan rokok. Penggabungan rokok antargolongan menyebabkan kenaikan HJE yang berdampak buruk bagi keberlangsungan IHT. Tak hanya itu, simplifikasi golongan rokok akan menimbulkan persaingan antar industri yang tidak sehat sehingga memicu semakin besarnya peredaran rokok ilegal yang selanjutnya akan berdampak buruk bagi penerimaan CHT. Oleh sebab itu, dengan memperhatikan posisi strategis industri hasil tembakau dan memperhatikan kepentingan berbagai pihak serta demi keberlanjutan IHT, maka diperlukan kebijakan yang tepat untuk keberlangsungan IHT tanpa harus mematikan, tetapi juga tetap menjaga kesinambungan IHT dalam berkontribusi bagi perekonomian nasional secara keseluruhan.
Candra Fajri Ananda Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya