Kebijakan Uang Ketat, Pemadam Api Inflasi?

Prof Candra Fajri Ananda, PhD

Staf Khusus Kementerian Keuangan Republik Indonesia

KEJUTAN besar terjadi pada finansial global dengan lonjakan angka Inflasi di berbagai dunia yang kini menjadi salah satu ancaman bagi perekonomian dunia. Inflasi diprediksi akan membakar perekonomian dunia pada 2022 jika tak mampu diredam dengan baik. Data mencatata bahwa angka inflasi di negara Paman Sam – Amerika Serikat – pada Juni 2022 telah mencapai 9,1% (yoy).

Angka tersebut merupakan inflasi tertinggi selama kurun waktu 41 tahun terakhir, demkian juga inflasi di negara-negara Uni Eropa juga melambung tinggi, Inggris yang mencapai 9,1%, Jerman 7,6%, Spanyol 10,2%, dan Italia 8,0%. Demikian juga inflasi di Kanada sudah menyentuh 7,7% pada Mei 2022 dan diperkirakan masih akan terus mengalami kenaikan dalam beberapa waktu ke depan.

Sejatinya, setiap kegiatan pembangunan ekonomi akan diikuti oleh terjadinya inflasi, namun apabila inflasi yang tinggi dan berubah-ubah akan menghambat pembangunan. Inflasi yang rendah dan stabil diperlukan dalam pembangunan ekonomi nasional. Inflasi yang tinggi akan melemahkan daya beli masyarakat yang selanjutnya berpengaruh pada penurunan kemampuan konsumsi masyarakat.

Lonjakan inflasi yang terlalu tinggi dan tidak diimbangi oleh pemerataan ekonomi akan memperluas kemiskinan, bertambahnya tingkat pengangguran, dan akan mengakibatkan penurunan kesejahteraan. Berkaca pada saat krisis moneter pada 1998, inflasi tertinggi Indonesia mencapai angka 77,63%. Kala itu, inflasi mempunyai pengaruh besar pada penurunan daya beli masyarakat, peningkatan pengangguran, dan peningkatan kemiskinan di Indonesia.

Saat ini, di tengah ancaman lonjakan inflasi, klaim tunjangan pengangguran Amerika Serikat (AS) dilaporkan meningkat ke level tertinggi sejak delapan bulan terakhir. Kondisi ini menunjukkan beberapa pendinginan di pasar tenaga kerja di tengah kebijakan moneter yang lebih ketat serta tekanan kondisi keuangan. Departemen Tenaga Kerja AS pada 21 Juli 2022 melaporkan tunjangan pengangguran negara mencapai 351.000 untuk pekan yang berakhir 16 Juli.

Angka ini mencatatkan total tertinggi sejak 15 Januari 2022. Klaim pengangguran meningkat karena terdapat banyak perusahaan yang mengumumkan pemutusan hubungan kerja (PHK) di tengah ancaman inflasi dan meningkatnya kekhawatiran resesi. Tren ini kian berlanjut tatkala Federal Reserve meningkatkan perjuangannya melawan inflasi yang merajalela dengan beberapa kenaikan suku bunga terbesar dalam beberapa dekade.

Peningkatan suku bunga adalah salah satu formula yang diyakini banyak pihak mampu menekan angka inflasi. Pemerintah dan bank sentral di setiap negara tengah berjibaku menjaga nilai uangnya agar tak tergerus oleh inflasi. Upaya mencari keseimbangan ini menjadi seni tersendiri bagi kebijakan moneter.

Demi mengendalikan inflasi dan menyerap ekses likuiditas, beberapa bank sentral dunia telah menyikapinya dengan mulai menaikkan suku bunga secara perlahan dan menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM). Ketika suku bunga tinggi diharapkan jumlah uang yang beredar akan lebih sedikit karena akan lebih banyak orang yang menahan belanja dan memilih menabung. Apabila tingkat konsumsi turun, maka diharapkan angka inflasi pun juga akan turun.

Bank Sentral AS, The Federal Reserve atau The Fed secara resmi pada Mei telah mengumumkan kenaikan suku bunga acuan 50 basis poin atau 0,5% sebagai upaya lanjutan dalam mengatasi inflasi tertinggi selama empat dekade. Kenaikan ini menyusul peningkatan 0,25% suku bunga acuan yang sudah dilakukan The Fed pada Maret.

Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Selasa, 26 Juli 2022 – 12:36 WIB oleh Candra Fajri Ananda dengan judul “Kebijakan Uang Ketat, Pemadam Api Inflasi?”.

Scroll to Top
Skip to content