Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
CUKAI Hasil Tembakau (CHT) masih menjadi primadona penerimaan negara. Data Kementerian Keuangan menununjukkan bahwa CHT menyumbang antara 95-96% dari total penerimaan cukai di Indonesia.
Selain itu, seiring kenaikan tarif cukai dan harga jual eceran (HJE), data juga menunjukkan bahwa penerimaan CHT sepanjang 2021 naik hingga 10,91% dari Rp170,24 triliun pada 2020 menjadi Rp188,81 triliun pada 2021.
Meski demikian, di balik peran CHT dalam penerimaan negara, hampir setiap tahun pelaku usaha di sektor hasil tembakau kerap dihadapkan pada isu tarif cukai. Kenaikan tarif cukai yang terus berubah setiap tahun menimbulkan kebingungan bagi pelaku industri, salah satunya kesulitan pengusaha untuk memproyeksikan bisnisnya dalam jangka panjang.
Kini, untuk pertama kalinya dalam sejarah, pemerintah menerapkan besaran tarif cukai yang berlaku selama dua tahun yakni 2023 dan 2024. Keputusan itu bisa menjadi angin segar bagi para pelaku industri di tengah ancaman ketidakpastian ekonomi dunia. Kebijakan pemerintah itu diharapkan memberikan kepastian berusaha bagi industri, mengingat selama ini hampir setiap tahunnya penentuan tarif cukai kerap menimbulkan polemik.
Belum lama ini, pemerintah telah memutuskan menaikkan tarif CHT rokok sebesar rata-rata 10% pada 2023 dan 2024. Pemerintah menaikkan tarif CHT pada golongan sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek tangan (SKT) dengan besaran berbeda-beda di tiap golongan, di mana kenaikan 10% akan diterjemahkan menjadi kenaikan rata-rata di setiap golongan.
Selama ini, pemerintah dalam menentukan kebijakan cukai bersandar pada empat pilar kebijakan yang meliputi pengendalian konsumsi, keberlangsungan tenaga kerja, optimalisasi penerimaan negara, dan peredaran rokok ilegal. Dalam kenaikan tarif cukai ini, pemerintah menyebutkan bahwa dalam penyusunannya dilakukan dengan mempertimbangkan sejumlah aspek mulai dari tenaga kerja pertanian hingga industri rokok. Selain itu, juga mempertimbangkan aspek pengendalian konsumsi, terutama terkait angka perokok usia 10-18 tahun.
Pemerintah berharap kenaikan tarif cukai berpengaruh terhadap menurunnya keterjangkauan rokok di masyarakat. Di samping itu, kenaikan tarif cukai tersebut juga demi mempertimbangkan aspek penerimaan negara, di mana pemerintah menargetkan penerimaan cukai tahun depan sebesar Rp245 triliun yang sebagian besar masih berasal dari CHT.
Optimalisasi Pengawasan-Penindakan
Bagai pisau bermata dua, di balik upaya kenaikan tarif cukai untuk menekan angka konsumsi maupun produksi, faktanya kenaikan tarif cukai bisa menimbulkan ancaman baru yaitu meningkatnya peredaran rokok ilegal. Ini karena dengan naiknya tarif cukai akan berimbas pada kenaikan HJE yang kemudian menekan daya beli masyarakat terhadap rokok. Sehingga, para perokok akan beralih ke rokok ilegal yang harganya lebih terjangkau.
Di Indonesia, pabrikan rokok nasional berulang kali mengeluhkan penurunan akibat peredaran rokok ilegal. Hal ini karena banyaknya rokok ilegal yang beredar di Indonesia dijual dengan harga sekitar 50% lebih murah dari rokok yang dikenakan cukai, pajak rokok dan PPN.
Berdasarkan hasil survei Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) pada 2021, disebutkan bahwa jenis Rokok SKM ilegal memiliki harga 1/4 kali lebih murah dari pada rokok SKM berpita cukai. Jenis Rokok SPM ilegal memiliki harga harga 1/5 kali lebih murah daripada rokok SPM berpita cukai.
Temuan lain, jenis Rokok SKT ilegal memiliki harga harga 1/3 kali lebih murah daripada rokok SKT berpita cukai. Selain itu, rokok ilegal memiliki perputaran penjualan yang lebih cepat daripada rokok berpita cukai karena rokok ilegal lebih diminati oleh konsumen karena harganya yang lebih murah dari pada rokok yang legal (berpita cukai). Oleh sebab itu, kenaikan harga rokok dapat mendorong bisnis rokok ilegal meningkat.
Pada kondisi ketika terjadi kenaikan tarif cukai, pengawasan dan pengendalian oleh pemerintah terhadap peredaran rokok ilegal sangat diperlukan. Efektivitas penindakan rokok ilegal akan sangat berperan dalam menekan peredaran rokok ilegal.
Ekstensifikasi Barang Kena Cukai
Tak dapat dimungkiri, saat ini 90% porsi penerimaan negara bertumpuk pada pajak dan cukai termasuk cukai hasil tembakau. Selama ini komponen nilai penerimaan cukai terbesar masih ditopang oleh CHT. Rata-rata kontribusi penerimaan CHT terhadap total penerimaan cukai mencapai 97% pada 2021. Di sisi lain, cukai etil alkohol dan minuman beralkohol hingga kini hanya mampu memberikan kontribusi sebesar 3% dari total penerimaan cukai.
Pemerintah tak bisa terus menerus menggantungkan penerimaan cukai pada CHT. Berdasarkan catatan Bea dan Cukai, tarif CHT saat ini telah melewati titik optimum untuk menghasilkan penerimaan. Kebijakan tarif cukai hanya berdampak pada berkurangnya produksi rokok legal, namun tidak dengan konsumsi secara agregat, mengingat masih adanya peredaran rokok ilegal.
Di sisi lain, hasil riset Forum for Socio-Economic Studies (FOSES) menunjukkan, kenaikan cukai rokok setiap tahun ternyata selalu berpengaruh negatif terhadap jumlah tenaga kerja serapan di sektor IHT. Data FOSES juga mencatat, terjadi penurunan jumlah tenaga kerja selama 2016-2018 akibat kenaikan cukai rokok. Padahal, sektor IHT dari hulu–hilir sedikitnya telah menyerap enam juta orang.
Oleh sebab itu, eksplorasi mencari objek Barang Kena Cukai (BKC) mutlak perlu segera dilakukan pemerintah. Pengenaan BKC dimaksudkan untuk membatasi peredaran dan konsumsi barang-barang yang dianggap menganggu kesehatan serta berdampak eksternalitas negatif seperti misalnya kerusakan lingkungan.
Dibanding dengan negara-negara lain, Indonesia termasuk negara yang sangat selektif dalam memungut cukai, terbukti dari barang kena cukai yang hingga saat ini masih dikenakan pada tiga jenis barang yaitu etil alkohol, Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA), dan hasil tembakau.
Terbaru, pemerintah juga telah menambahkan cukai plastik sebagai salah satu komponen barang kena cukai. Dalam dokumen Buku II Nota Keuangan RAPBN 2022 disebutkan bahwa pemerintah akan melakukan ekstensifikasi objek cukai pada 2022 di antaranya cukai atas produk plastik. Perluasan basis cukai juga merupakan bagian dari upaya mengejar target penerimaan pemerintah melalui cukai.
Barang kena cukai yang telah diterapkan di beberapa negara lain dapat diadopsi oleh Indonesia untuk dapat menjadi alternatif penerimaan cukai pemerintah selain CHT. Komoditi-komoditi yang dapat dimasukkan ke dalam BKC antara lain; gula, minuman berkarbonasi, daging, kendaraan bermotor, kartu permainan, peralatan listrik, bahan peledak, parfum, perhiasan, dan komoditi lainnya.
Maka, sudah saatnya Indonesia memperluas objek cukai. Pemerintah tidak bisa mengandalkan terus menerus pada penerimaan cukai hanya pada produk hasil tembakau, alkhohol, dan minuman beralkohol. Target penerimaan cukai yang terus tumbuh setiap tahun tanpa diiringi dengan ekstensifikasi barang kena cukai hanya akan merugikan sektor tertentu.
Oleh sebab itu, kajian terhadap alternatif BKC selain produk hasil tembakau, alkhohol, dan minuman beralkohol mendesak dilakukan untuk dapat mendorong penerimaan negara. Semoga.
Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Senin, 07 November 2022