Kepastian dan Kestabilan

INTEGRASI global yang semakin menguat membuat kebijakan di suatu negara semakin cepat berdampak elastis ke negara lain. Apalagi jika di antara negara-negara tersebut memiliki hubungan yang kuat secara kultural, ekonomi, dan geopolitik.

Dampak kenaikan tingkat suku bunga The Fed (Bank Sentral AS) misalnya, sudah membuat hampir seluruh kurs mata utang dunia (termasuk rupiah) mengalami depresiasi dengan berbagai skala perubahan. Padahal, perekonomian kita belum lama berjalan stabil setelah perekonomian global terlepas dari fluktuasi dan uncertainty. Beberapa sektor ekonomi utama (khususnya industri) ketar-ketir terhadap dampak depresiasi rupiah.

Meskipun menteri keuangan berimbuh depresiasi akan menguntungkan kebijakan ekspor karena harga produk kita yang disinyalir menjadi murah, proyeksinya belum tentu berjalan linier sebab sisi hulunya (untuk pengadaan bahan baku/penolong) masih bergantung pada suplai dari negara lain (impor). Jadi, pergerakan harganya bisa saja “impas” sehingga skenario ekspor bersaing karena harga jual yang lebih rendah bisa jadi akan urung tercapai.

Skenario lainnya bisa berjalan lebih buruk jika depresiasi dan harga impor mendorong inflasi menjadi kurang terkendali. Pihak produsen dan konsumen akan menjadi korbannya.

Jika modal yang dimiliki produsen tidak mumpuni untuk menghadapi inflasi, mereka bisa cenderung memilih menurunkan produksinya karena bahan baku yang didapat semakin terbatas. Konsumen pun perlu bersiap-siap terganggu daya belinya jika kondisi keuangannya juga pas-pasan sehingga kita seharusnya tidak bisa mengabaikan kondisi yang sedang terjadi.

Dinamika perubahan eksternal dalam waktu dekat bisa semakin bertambah seiring perubahan struktur politik pascapemilu di Malaysia. Gerbong oposisi yang digubah Mahathir Mohamad telah ditetapkan sebagai pemenang pemilu Malaysia.

Kabarnya kemenangan ini akan diwarnai reformasi besar-besaran atas kebijakan perdana menteri sebelumnya. Isu yang paling dijual selama masa kampanye, yakni janji untuk mengevaluasi pola investasi dari China seraya menjaga kepentingan ras Melayu atas perekonomian Malaysia.

Beberapa pengamat memprediksi kondisi di Malaysia tersebut akan segera menjalar ke Indonesia karena kondisi geopolitik kita yang relatif mirip. Saat ini pihak di luar pemerintah sedang getol berkampanye tentang nasionalisme dan bahaya pola investasi yang berkembang secara eksisting.

“Target” operasinya juga sama, yakni investasi dari China yang dianggap kurang mendukung perkembangan perekonomian nasional karena kurang melibatkan sumber daya lokal. Sama halnya dengan apa yang dikampanyekan Mahathir, kubu oposisi menuntut pemerintah agar mengevaluasi investasi dari China agar tidak menurunkan kedaulatan dan meningkatkan ketimpangan nasional dengan mengaryakan penduduk lokal, serta membawa modal dan teknologi ke Indonesia.

Jika tidak maka kita mungkin bisa senasib dengan Sri Lanka yang pada akhirnya menjadi penonton pembangunan. Atau bahkan lebih buruknya lagi bisa “menggadaikan” aset-aset nasional yang menjadi agunan pinjaman dari China.

Tanpa membahas isu mengenai investasi China pun, sedianya iklim politik kita dalam beberapa waktu ke depan akan otomatis berjalan panas, seiring kian dekatnya momentum pemilu baik di tingkat daerah maupun nasional. Kubu oposisi akan senantiasa menggali celah-celah kebijakan untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan dari pemerintah eksisting, sekaligus meraup simpati dari masyarakat bahwa kandidat yang diusungnya merupakan figur yang lebih menjanjikan.

Selama masih dalam tataran kampanye yang sehat, di mana opini yang dibangun berlandaskan data yang valid dan bukanlah sesuatu yang hoax, maka hal tersebut masih sah-sah saja dilakukan. Kita harus bisa membedakan antara negative campaign (kampanye negatif) dan black campaign (kampanye hitam). Negative campaign adalah perluasan informasi mengenai “kesalahan-kesalahan” kebijakan yang diampu pemerintah, sedangkan black campaign adalah isu-isu yang sebenarnya tidak ada tetapi dipaksakan ada (fitnah).

Nah, 
pemerintah sendiri tidak boleh alergi dengan kritikan-kritikan dari oposisi, karena pada hakikatnya kubu oposisi adalah penyeimbang informasi sekaligus pengontrol kebijakan sehingga pemerintah diharapkan lebih berhati-hati dalam merumuskan cara-cara berpolitiknya. Dan sebaliknya, kubu oposisi pun harus mampu menahan egosentrisnya dengan tidak mengembuskan fitnah dan hoax kepada pemerintah.

Siapa pun dilarang menyebarkan hoax jika tidak ingin kena tulahnya (kesialan), karena seiring semakin terbukanya arus informasi, publik harus disuguhkan berita-berita yang jujur dan bergizi. Pasalnya, sistem informasi sedikit banyak akan memengaruhi stabilitas pembangunan dan investasi.

Para investor sedianya akan terus bergerak mencari lahan-lahan investasi yang “tanahnya” bebas dari sengketa dan carut-marut politik. Untuk itulah, penulis berharap para politisi kita dapat bekerja secara arif dan etis karena di setiap kebijakannya akan berdampak pada peluang kekuasaan dan kesejahteraan umum.

Menanti Kearifan
Terkait dengan perubahan lingkungan yang sangat cepat dan ketat, kita sangat menantikan jurus-jurus yang dikeluarkan pemerintah untuk dapat mengendalikan dampak kebijakan eksternal. Garis penghubungnya biasanya melalui transaksi perdagangan (ekspor-impor) dan tarik-ulur investasi asing, karena kedua aktivitas yang paling banyak membuat mata uang di suatu negara akan bergerak keluar-masuk dari negaranya. Nah, sekarang bagaimana sebaiknya kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengendalikan dampak eksternal terhadap perekonomian nasional?

Pertama, hulu dari permasalahan mengapa kita amat terpengaruh dengan kondisi eksternal adalah karena kita yang sering kali “kebablasan” dalam bertransaksi dengan negara lain. Pintu transaksinya bisa melalui kebijakan perdagangan maupun investasi permodalan.

Dalam jangka menengah, mungkin keduanya masih sangat sulit kita hindari karena sumber daya kita masih sangat terbatas untuk dapat berdikari baik dari sisi produksi maupun investasi. Akan tetapi, dalam jangka panjang perlu dirumuskan berbagai solusi.

Mengenai kebergantungan transaksi perdagangan khususnya melalui skema impor, tidak ada pilihan lain bagi kita selain berjuang untuk dapat berswasembada. Kita perlu menginventarisasi produk-produk apa saja yang selama ini mengalami kebergantungan impor, misalnya terkait penyediaan bahan baku/penolong produksi maupun yang sifatnya untuk konsumsi langsung.

Meskipun berat, produk-produk yang semestinya dapat diproduksi sendiri mari kita kembangkan melalui pembangunan industri substitusi impor. Minimal kita perlu terus berupaya untuk mengurangi kebergantungan suplai dari luar negeri.

Sementara untuk produk yang memang tidak bisa kita kelola sendiri maka kita cari jalan keluar lainnya yang lebih minim dampak elastisitasnya. Misalnya untuk perdagangan dengan negara-negara ASEAN, kita tidak perlu menggunakan dolar AS sebagai media transaksi.

Cukup dengan mata uang negara masing-masing karena dolar AS sendiri sering kali menjadi sumber fluktuasi. Dan saat ini, pemerintah kabarnya sudah mulai berembuk dengan beberapa negara mitra untuk beralih dari transaksi melalui dolar AS menuju penggunaan mata uang masing-masing agar nilai tukarnya juga berangsur-angsur menguat.

Kedua, pemerintah dapat membangun kestabilan pembangunan melalui regulasi investasi yang memadai. Ketika peluang investasi terus tumbuh, harapan berikutnya adalah terciptanya sejumlah lapangan kerja baru, serta mendorong kenaikan tingkat konsumsi dan daya beli. Sedikitnya ada lima poin yang menjadi poin penting untuk menciptakan daya saing investasi, yakni easy, incentive, social behavior, trigger, dan innovation.

Poin easy menjelaskan mengenai pentingnya kemudahan birokrasi investasi. Kita perlu mengubah wajah birokrasi yang berbiaya ekonomi tinggi menjadi rumah yang ramah investasi.

Selain itu, juga perlu diubah image dari pemerintah yang sering kali gonta-ganti regulasi, karena perubahan regulasi belum tentu linier dengan dinamika pasar. Dalam kondisi tertentu, justru banyak perubahan menciptakan beragam ketidakpastian.

Poin berikutnya adalah sejumlah insentif yang membuat investor betah untuk menanamkan modalnya. Misalnya dengan memberikan skema pajak yang lugas untuk beberapa komponen investasi maupun menyediakan sistem informasi yang atraktif (efektif dan efisien).

Selanjutnya mengenai social behavior, berbicara mengenai pemilahan norma-norma sosial yang sering kali tidak mampu beriringan dengan iklim investasi, misalnya terkait produktivitas yang rendah karena kapasitas SDM yang terbatas. Keterbatasan ini bisa ditengarai karena tingkat pendidikan yang kurang mumpuni dan motivasi kerja yang kurang maksimal.

Menghadapi kondisi tersebut maka akan dibutuhkan trigger dari pemerintah yang sifatnya dinamis. Trigger harus diberikan pada saat yang tepat. Fokus trigger di sini adalah menunjukkan keberpihakan pemerintah untuk dapat melindungi dan memproteksi masyarakat (termasuk pebisnis) dari gangguan eksternal.

Dan terkait poin innovation, adalah berbicara mengenai efforts pemerintah menciptakan sistem ekonomi yang efektif dan efisien. Misalnya dengan memfasilitasi pengembangan industri dengan membangun pendidikan berbasis teknologi terkini.

Dan upaya ketiga, adalah mengajak serta masyarakat untuk semakin kuat mengontrol keperilakuan para pejabat (baik eksekutif maupun legislatif) agar kegiatannya bermuatan positif. Sudah bukan eranya lagi bagi para politisi untuk saling unjuk kebolehan, unjuk tampil ke permukaan, tanpa niat yang positif untuk kemajuan bangsa.

Tugas dari pemerintah itu sendiri perlu memberikan rasa aman, kestabilan, dan kepastian. Jika sistem politik kita terus diwarnai banyak sengketa, rasa-rasanya kita akan semakin kesulitan meningkatkan daya saing investasi.

Tugas-tugas dari pemerintah diejawantahkan dalam wujud stabilitas keamanan, politik, dan ekonomi. Biaya transaksi ekonomi kita sudah begitu mahal berkat sistem bunga perbankan yang masih tinggi, ditambahkan dengan perilaku partai dan hukum yang belum mampu memberikan rasa adil dan aman.

Dan, ini pula yang mungkin membedakan kita dengan Thailand, karena di sana meskipun sering kali terjadi kudeta politik, tampaknya investor lebih betah di sana karena faktor sosialnya yang lebih bersahabat dalam jangka panjang dengan ekspektasi profit.

Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

Scroll to Top
Skip to content