DALAM dunia pasar keuangan dan perbankan, upaya mitigasi risiko menjadi sangat penting bagi pemangku kebijakan di dalamnya, baik dari sisi regulator maupun praktisi. Kondisi tersebut disebabkan pasar uang sangat rentan dengan segala dinamika perubahannya meskipun sumbernya hanya karena stimulan yang sebetulnya berdampak relatif kecil. Informasi mengenai kondisi pasar terkini terus dipantau agar mereka tidak salah langkah.
Praktisi tentu akan berhemat dalam menentukan kebijakannya. Karena ada beberapa risiko yang bisa muncul atas kebijakan sendiri. Para manajer di sektor keuangan harus jeli menangkap gelagat pasar.
Kualitas leadership-nya tengah menghadapi karang yang menjulang dan bisa jadi batu ujian untuknya dalam menangani risiko sistemik terhadap kinerja perusahaannya. Mereka juga dituntut cermat dalam membaca situasi kebijakan fiskal dari pemerintah yang sering kali tarik ulur kepentingan dengan kebijakan sektor moneter.
Pekan yang lalu asumsi makro Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019 mulai disepakati antara pemerintah dan Bank Indonesia (BI) beserta Komisi XI DPR RI. Asumsi makro RAPBN 2019 diproyeksikan searah dengan Nota Keuangan 2019 kendati sempat diwarnai penolakan oleh beberapa fraksi.
Tingkat pertumbuhan ekonomi pada tahun 2019 ditargetkan sebesar 5,3% dengan asumsi nilai tukar rupiah sebesar Rp14.400 per USD. Menteri Keuangan mengatakan target pertumbuhan bisa jadi akan mendapatkan koreksi pada level 5,15% karena terdapat downside risk (risiko negatif) yang sumbernya berasal dari dinamika impor dan tantangan di tahun 2019.
Fraksi-fraksi yang sempat menolak asumsi tersebut berkilah bahwa kondisi rupiah yang saat ini tengah tergolek masih akan cukup terasa dampaknya hingga tahun depan sehingga target 5,3% masih dianggap kurang kredibel atau terlalu tinggi.
Beberapa ekonom juga mengatakan bahwa target pertumbuhan yang paling realistis tahun depan memang berada di kisaran 5,15%. Untuk tahun ini saja hasil akhirnya belum tentu selaras dengan target yang diproyeksikan pemerintah.
Pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) yang mengatakan APBN kita diuntungkan dengan pelemahan rupiah lantas “ditertawakan” banyak pengamat. Dalam perhitungan Menkeu, setiap pelemahan rupiah sebesar Rp100, kita akan mendapat tambahan penerimaan sebesar Rp4,7 triliun dan kenaikan beban belanja sebesar Rp3,1 triliun.
Jadi dalam paparannya negara mendapatkan surplus sekitar Rp1,6 triliun pada situasi tersebut. Faktor penyebabnya berasal dari pertumbuhan pajak yang lebih tinggi dan harga komoditas yang mengalami perbaikan sehingga mendorong kenaikan PNBP. Defisit APBN juga dikatakan dalam kondisi yang lebih baik bila dibandingkan dengan tahun lalu.
Namun perlu diingat bahwa tidak segampang itu kita dapat mengabaikan dampak lain dari pelemahan rupiah. Apalagi keuntungan secara ekonomi tidak bisa hanya diukur berdasarkan neraca APBN.
Langkah pemerintah yang mulai “masuk akal” dalam merencanakan kebijakan di dalam RAPBN 2019 patut kita apresiasi positif. Hal ini bertujuan agar menjaga kredibilitas pemerintah yang saat ini masih didukung pasar karena tidak mengajukan APBN-Perubahan 2018.
RAPBN 2019 yang disampaikan kalau kita perhatikan memang menunjukkan betapa pemerintah sangat berniat untuk melanjutkan kebijakan yang sudah dilakukan pada 2018. Pemerintah berani menempuh cara tersebut karena yakin APBN 2018 masih dalam arah yang baik-baik saja meskipun tekanan dari sebagian kalangan masyarakat cukup menyalak seiring kurs rupiah yang semakin menjauh dari asumsi makro 2018.
Target kenaikan penerimaan pajak yang lumayan besar, yakni plus/minus 15% menggambarkan sikap pemerintah yang pede untuk menggali potensi pajak lebih mendalam. Dengan pertimbangan tax ratio yang masih cukup rendah di kisaran 10%, seharusnya target tersebut masih kredibel untuk bisa direalisasi.
Tax ratio yang rendah sebenarnya mengindikasikan bahwa ceruk kita masih begitu luas untuk dimaksimalkan. Hanya selama ini kita menghadapi persoalan struktural dan kultural yang membuat tingkat capaiannya kurang optimal.
Selanjutnya kita tinggal melihat bagaimana langkah konkret pemerintah (dengan Ditjen Pajak sebagai ujung tombaknya) untuk memaksimalkan potensi tersebut. Pajak masih akan menjadi mesin penggerak terbesar karena komponen-komponen penerimaan lain belum sanggup menyaingi tingkat pendapatannya.
Sisi lain dari RAPBN 2019 yang perlu kita cermati adalah bagaimana upaya pemerintah mengajak kita semua untuk memahami bagaimana komitmen pemerintah dalam mengakselerasi pembangunan daerah dan desa sebagai bagian dari perwujudan Nawacita. Walaupun demikian, tentu tetap perlu kehati-hatian karena nominal belanja pemerintah yang lumayan kian tinggi.
Kedisiplinan dan pengawasan yang lebih baik akan menjamin kebijakan belanja lebih tepat sasaran dan tepat waktu. Mudah-mudahan fenomena operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK secara besar-besaran terhadap berbagai pejabat publik tidak lantas menghambat kinerja birokrasi pemerintahan. Malah justru seharusnya kita semua semakin kuat berkomitmen untuk menjaga amanah masyarakat demi maslahat bersama.
Cerita Avengers dan Thanos Pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada World Economic Forum di Hanoi, Vietnam, pekan lalu yang mengambil cerita film Avengers: Infinity Wars menjadi viral di media sosial. Presiden Jokowi menggambarkan dirinya bersama kelompok superhero lainnya yang tergabung dalam The Avengersakan berjuang melawan Thanos selaku tokoh antagonis dalam kisah perang tak terbatas atau infinity wars.
Sosok Thanos merupakan ilustrasi atas perspektif yang diambil Presiden Jokowi untuk menggambarkan ketakutan atas keterbatasan sumber daya ekonomi di dunia sehingga Thanos berupaya melenyapkan separuh populasi di seluruh permukaan bumi demi menguasai sumber daya yang ada.
Padahal dalam kesempatan yang sama, Presiden Jokowi “membantah” bahwa tidak ada yang namanya kelangkaan sumber daya ekonomi untuk kepentingan manusia. Semuanya masih dapat diupayakan, misalnya dengan memanfaatkan kehadiran rekayasa teknologi yang perkembangannya semakin tak tertahankan.
Kelakar Presiden Jokowi tersebut sebetulnya bisa menjadi ide yang cemerlang andaikata kita dapat mengeksekusinya. Rekayasa teknologi dapat menjadi alternatif yang jitu selama tepat proses penggunaannya.
Sebagai negara yang cenderung mengikuti mekanisme pasar, kredibilitas dalam situasi seperti saat ini menjadi sangat krusial mengingat kita saat ini berada di pusaran pasar keuangan dunia yang sangat fragile. Dalam konteks itu, penulis setuju dengan semangat yang diusung pemerintah yang terus bekerja keras dengan optimisme dan komitmen yang tinggi.
Terkait beberapa perkembangan terkini, penulis bermaksud mengharapkan kepada Presiden Jokowi dan penggawa “Avengers” yang tengah berada di Indonesia untuk segera menularkan optimisme kepada masyarakat bahwa pembangunan kita dalam situasi yang positif. Beberapa langkahnya adalah sebagai berikut.
Pertama, pemerintah perlu secara konsisten menjaga keyakinan masyarakat bahwa perekonomian kita belum seburuk kondisi di tahun 1998. Indikator kurs rupiah belum cukup menjadi justifikasi karena pada variabel lainnya seperti tingkat inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan rating investasi kita masih dalam kondisi yang sehat.
Namun bukan berarti kita sudah boleh berleha-leha dengan kondisi tersebut. Justru sekarang optimisme masyarakat perlu ditingkatkan, khususnya melalui penguatan nilai tukar rupiah.
Selain itu fundamental ekonomi yang kuat dan terus digembar-gemborkan pemerintah khususnya melalui pembangunan infrastruktur dan revolusi mental, wujudnya sudah seharusnya ditampakkan ke masyarakat. Masa-masa seperti ini menjadi momentum yang ideal bagi pemerintah untuk mempromosikan keberhasilan-keberhasilannya, khususnya selama empat tahun perjalanan era pemerintahan Presiden Jokowi.
Kedua, nilai tukar rupiah perlu segera diperkuat dengan cara-cara fundamentalis. Selama ini pemerintah mengatakan bahwa pelemahan rupiah disebabkan kebijakan The Fed selaku Bank Sentral Amerika dan efek perang dagang antara China dan AS.
Di luar itu sebetulnya juga disebabkan neraca perdagangan kita yang terlalu njomplang antara impor dan ekspor. Kita terlalu mengandalkan distribusi impor, khususnya untuk kebutuhan bahan baku produksi.
Selain itu isu yang telanjur merebak di telinga masyarakat terkait kuota impor yang “berlebihan” pada komoditas pangan seharusnya mulai diluruskan. Jika pernyataan beberapa kolega penulis yang disiarkan di berbagai media tersebut memang benar, pemerintah secara kesatria perlu meminta maaf, khususnya kepada pelaku usaha di komoditas-komoditas tersebut.
Karena persoalan itu akan mencederai reputasi Presiden Jokowi yang telanjur dijunjung sebagai Presidennya Wong Cilik. Dan sebaliknya jika isu itu tidak benar, silakan mengambil langkah-langkah strategis agar publik tidak terkecoh dengan berita yang sudah tersebar.
Bagaimanapun prasangka publik harus senantiasa dijaga agar tidak mematikan semangat perekonomian mereka. Program-program pembangunan melalui peningkatan infrastruktur dan gelontoran dana desa justru seharusnya semakin memantik kinerja mereka agar semakin berdaya. Nah, mengenai kebijakan peningkatan tarif PPh 22 terhadap 1.147 barang impor juga dapat menjadi sebuah solusi. Namun perlu juga dipantau bagaimana efeknya terhadap masyarakat, apakah akan berdampak pada inflasi dan daya beli atau dapat mengurangi perkembangan industri. Secara alami memang sudah sewajarnya terdapat kenaikan harga karena nilai rupiah yang melemah.
Pemerintah menjamin sudah menyeleksi dengan benar bahwa produk-produk tersebut bukanlah barang kebutuhan pokok. Malah justru seharusnya industri dalam negeri dapat mencuat sebagai pengganti barang-barang impor.
Devisa kita juga diperkirakan dapat diselamatkan sekitar USD6,6 miliar atas kebijakan tersebut. Akan tetapi dalam jangka panjang, solusi yang paling tepat tetaplah dengan mendorong perkembangan industri substitusi impor agar kita tidak selalu fragile dengan kondisi perekonomian eksternal.
Pintu-pintu black market juga harus dibendung agar tidak merusak skema pengendalian pasar. Karena bisa jadi barang-barang selundupan akan menjadi pilihan “logis” berikutnya bagi masyarakat.
Ketiga, kerja keras dan komitmen tinggi, khusus dari pasukan-pasukan perpajakan sangat dibutuhkan mengingat tugas yang semakin berat untuk memenuhi target pajak di tahun depan. Dalam kondisi kencangkan ikat pinggang seperti saat ini, sangat fair jika seluruh masyarakat, termasuk pemerintah bekerja sama untuk memikul tugas berat di bidang masing-masing.
Adem-panas menjelang pesta demokrasi jangan sampai merusak stabilitas hingga malah menggeser fokus kita untuk menjaga ketahanan ekonomi nasional. Justru sekarang momentum yang ideal bagi para kontestan pemilu untuk menunjukkan komitmennya yang tinggi kepada publik sebagai calon wakil rakyat di pemerintahan.
Kita sama-sama ingat betul, bagaimana di dalam Asian Games 2018 kemarin, di antara kontestan yang tengah bersaing di ajang pemilu saat ini ketika mereka dapat guyub, rukun, dan bekerja sama membawa mimpi-mimpi Ibu Pertiwi, kita telah menyaksikan betapa indahnya saat Sang Saka Merah Putih mampu berkibar di pelataran dunia.
Kenangan itu mudah-mudahan menjadi pelecut semangat bagi politisi bahwa pemerintahan bukan sekadar berbicara kekuasaan, melainkan bagaimana kontestasi ini melahirkan ide dan gagasan yang cemerlang untuk menunjukkan betapa hebatnya Indonesia ketika mampu mengoptimalkan segenap sumber daya manusia, menjadi sumber daya pembangunan negeri. Sudah saatnya kita kembali berangkulan untuk memenuhi mimpi-mimpi Ibu Pertiwi yang ingin menyaksikan kejayaan bagi anak-anaknya.
Candra Fajri Ananda Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya