HAMPIR dua dekade implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia dijalankan. Sejarah telah mencatat bahwa tahun 2001 menjadi era baru bagi tata pemerintahan Indonesia melalui pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah merupakan tanggapan terhadap aspirasi adanya keinginan format baru mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia yang berimplikasi pada pelimpahan kewenangan dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang fiskal. Hal terpenting dalam kebijakan desentralisasi adalah pembagian kewenangan dan fungsi (power sharing) antara pemerintah pusat dan daerah, begitu juga dalam hal fiskal, yaitu pengaturan pembagian antarsumber daya keuangan (financial sharing) antara pusat dan daerah. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah didesain dengan menggunakan prinsip money follows function atau “uang mengikuti kewenangan”. Artinya, jika kewenangan dilimpahkan ke daerah, maka uang untuk mengelola kewenangan pun harus dilimpahkan ke daerah. Oleh sebab itu, pemerintah daerah harus mampu berperan dalam mengelola keuangannya secara mandiri sehingga seluruh potensi daerah yang ada bisa dioptimalkan melalui mekanisme perencanaan efektif dan efisien.
Dalam perjalanannya, dengan dasar untuk mendapatkan hasil yang terbaik dan lebih baik, undang-undang tentang pelaksanaan otonomi daerah terus mengalami penyesuaian. Alokasi anggaran transfer ke daerah yang terdiri atas dana perimbangan, dana otonomi khusus, dan dana penyesuaian salah satunya bertujuan untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah serta mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah. Hingga kini dana transfer ke daerah masih merupakan sumber pembiayaan yang utama bagi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) di sebagian besar daerah di Indonesia. Dari jenis transfer tersebut, dana perimbangan merupakan jenis transfer yang paling dominan. Secara umum, pemerintah mengalokasikan dana transfer ke daerah dan dana desa pada 2020 sebesar 34% dari total belanja negara yang mencapai Rp2.528,8 triliun. Total transfer ke daerah dan dana desa dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020 sebesar Rp858,8 triliun. Angka ini meningkat 5,45% dibandingkan dengan APBN 2019 yang sebesar Rp814,4 triliun. Secara khusus, alokasi transfer ke daerah dalam RAPBN 2020 sebesar Rp786,8 triliun naik 3,97% dari tahun sebelumnya sebesar Rp756,8 triliun. Semakin besarnya jumlah dana yang dialokasikan tersebut, mengisyaratkan bahwa pemerintah pusat telah menaruh kepercayaan tinggi pada daerah untuk secara mandiri menjalankan kewenangan yang dilimpahkan kepadanya. Pertanyaan mendasar, sudahkah pemerintah daerah menjalankan pengelolaan anggaran dengan baik, di mana target pembangunan nasional tercapai melalui capaian yang baik pembangunan daerah, atau apakah sebaliknya? SDM Unggul, Percepatan Pembangunan Besarnya dana yang ditransfer pemerintah pusat ke daerah seharusnya diikuti dengan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sayangnya, baru-baru ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berdasarkan hasil evaluasi efektivitas penggunaan anggaran transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) menilai anggaran transfer ke daerah masih kurang efektif untuk mengatrol pertumbuhan ekonomi (PE) di daerah. Ditelisik lebih lanjut, salah satu penyebabnya ialah penggunaan dana alokasi umum (DAU) yang masih kurang maksimal untuk pembangunan daerah. Hasil Kajian Institute for Development of Economies and Finance (Indef) menunjukkan adanya korelasi positif antara dana transfer dengan indeks gini. Artinya, dana transfer daerah justru mendorong ketimpangan pengeluaran dengan korelasi sebesar 0,0126. Artinya setiap 1 persen kenaikan DAU, ketimpangan justru akan melebar sebesar 0,01 (Indef, 2018).
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan bahwa dana transfer daerah yang selama ini dialokasikan melalui APBN tak banyak membantu dalam percepatan pembangunan karena sebagian besar dana itu digunakan untuk belanja pegawai daripada belanja modal. Hingga kini setidaknya belanja pegawai telah menghabiskan 36% dari dana transfer umum. Selain kualitas belanja, besar kecilnya manfaat alokasi dana transfer terhadap percepatan pembangunan daerah tak bisa disamaratakan. Perbedaan kualitas birokrasi, kualitas sumber daya manusia (SDM), hingga infrastruktur, juga menjadi berbagai faktor pendukung efektivitas alokasi dana transfer terhadap pembangunan daerah. Hingga kini kualitas birokrasi di Indonesia yang masih didominasi budaya paternalistik menjadikan para aparatur negara sulit membedakan antara kepentingan pribadi dan kepentingan publik. Hingga kini tak sedikit aparatur negara yang sering kali lebih mengutamakan kepentingan privat di atas kepentingan publik. Padahal seharusnya para aparatur bersikap profesional dalam menjalankan tugas pelayanan publik dengan menempatkan kepentingan masyarakat sebagai fokus utama dari pelaksanaan tugas. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (2019) menunjukkan bahwa dari tahun 2004 hingga 2018 terdapat 22 provinsi dari 34 provinsi se-Indonesia telah tercoreng ulah dari 95 orang kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Berbagai kasus korupsi tersebut terdiri atas 50 orang bupati, dua wakil bupati, 22 wali kota, satu wakil wali kota, dan 20 orang gubernur. Selain kualitas birokrasi, perbaikan kualitas SDM di Indonesia perlu terus diupayakan untuk mencapai kemajuan pembangunan. Masih minimnya pemerintah dalam memfasilitasi pendidikan di daerah menjadi penyebab tidak meratanya SDM yang ada di Indonesia. Data menunjukkan bahwa SDM di Indonesia berada di posisi ke-87 dari 157 negara di dunia. Posisi tersebut masih kalah dibandingkan dengan Vietnam yang menempati urutan 48 dunia dan nomor 2 di ASEAN. Terlebih lagi jika dibandingkan Singapura, posisi Indonesia masih jauh berada di belakang. Proses memperbaiki kualitas SDM di Indonesia juga memiliki keterkaitan erat dengan perlunya pembangunan infrastruktur penunjang kualitas SDM di berbagai daerah. Tak heran jika kualitas SDM di Indonesia masih belum merata, mengingat pembangunan sejumlah infrastruktur di beberapa daerah juga masih belum merata. Banyak daerah di Indonesia yang masih memiliki keterbatasan fasilitas jaringan. Pemerintah perlu terus berjuang untuk memungkinkan jaringan listrik bisa menjangkau seluruh masyarakat di seluruh penjuru Indonesia. Masyarakat Indonesia berhak mendapat akses yang sama di manapun mereka berada. Teknologi digital tidak akan terjamah jika tidak didukung oleh infrastruktur yang memadai, seperti listrik dan internet. Unbalanced Growth Salah satu teori pembangunan wilayah unbalanced growth yang dikembangkan Hirscham dan Myrdal memandang bahwa suatu wilayah tidak bisa berkembang bila ada keseimbangan sehingga harus terjadi ketidakseimbangan. Penanaman investasi tidak mungkin dilakukan pada setiap sektor di suatu wilayah secara merata, tetapi harus dilakukan pada sektor-sektor unggulan yang diharapkan bisa menarik kemajuan sektor lainnya. Sektor yang diunggulkan tersebut dinamakan sebagai leading sector. Pada akhirnya, kualitas investasi (publik maupun swasta) sangat tergantung pada dampak yang dihasilkan. Impact investing mungkin adalah istilah baru di Indonesia, namun tidak di negara-negara lain di dunia. Lembaga atau individu melakukan penanaman modal pada organisasi atau perusahaan yang memberikan dampak positif terukur dari sisi sosial maupun environmental, selain memberikan bagi hasil (return) yang bersaing dari pokok pinjaman yang diinvestasikan. Oleh sebab itu, SROI (Social Return on Investment) perlu positif agar investasi tersebut berdampak positif untuk pertumbuhan maupun lapangan kerja. Keanekaragaman budaya dan keindahan alam yang dimiliki Indonesia setidaknya telah menjadi modal awal untuk bisa melakukan percepatan pertumbuhan ekonomi di setiap daerahnya. Akan tetapi, hal itu akan menjadi sia-sia ketika pemerintah daerah tidak mampu mengelola dana transfer secara efisien untuk memaksimalkan potensi daerahnya. Oleh sebab itu, kualitas belanja daerah tetaplah menjadi kunci utama dalam melakukan akselerasi pembangunan di daerah, termasuk di dalamnya mendorong perbaikan kualitas SDM di setiap wilayahnya.
Candra Fajri Ananda Dosen dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya