ANGGARAN merupakan bagian penting dalam organisasi sektor publik. Fungsi anggaran sebagai perencana dan pengendali organisasi menjadikan penganggaran sebagai area penting bagi keberhasilan organisasi. Ironisnya penilaian kinerja berdasarkan tercapai atau tidaknya target anggaran akan mendorong pembuat anggaran menciptakan budgetary slack.
Budgetary slack atau kesenjangan anggaran terjadi karena adanya perbedaan potensi dengan target anggaran. Adanya perbedaan potensi pendapatan dan target anggaran tersebut mengindikasikan terjadinya perilaku individu untuk menurunkan target pendapatan agar pencapaian target anggaran menjadi lebih mudah serta aman ketika anggaran tersebut dipertanggungjawabkan.
Selama beberapa tahun terakhir anggaran negara belum mampu menunjukkan pencapaian Indikator Kinerja Utama (IKU) seperti pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, pengangguran hingga ketimpangan. Sepanjang perjalanan lima tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak pernah sekali pun berhasil mencapai target yang dicanangkan.
Berdasarkan evaluasi pelaksanaan RPJMN 2014–2019, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama lima tahun terakhir berada di kisaran 5% atau lebih rendah bila dibandingkan dengan target RPJMN 2015–2019 yang berada di kisaran 6% hingga 8%. Realisasi pertumbuhan ekonomi dalam lima tahun terakhir tersebut juga tercatat lebih rendah bila dibandingkan dengan target pada RPJMN 2010–2014, yakni sekitar 5,5% sampai 6%.
Selanjutnya indeks gini yang ditargetkan berada pada angka 0,36 dalam RPJMN 2014–2019 juga belum mampu dicapai. Meskipun saat ini indeks gini Indonesia menunjukkan tren menurun di level 0,382, bahkan paling rendah dalam lima tahun terakhir, angka tersebut masih jauh dari target yang ditetapkan pemerintah, yakni 0,36.
Selain ketimpangan, pemerintah juga dihadapkan pada permasalahan tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang masih tinggi, bahkan di tingkat ASEAN. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa TPT di Indonesia berada pada angka 5,01%.
Angka tersebut membawa Indonesia berada di urutan kedua terbanyak di antara negara-negara ASEAN. Jika tidak ada Filipina yang memiliki tingkat pengangguran sebesar 5,1%, Indonesia menjadi yang terbanyak. Tingkat pengangguran Indonesia masih kalah jauh dari Malaysia yang hanya 3,3% dan Vietnam yang sebesar 2,16%.
Berbicara mengenai anggaran pemerintah, sumber penerimaan terbesar negara adalah dari pajak. Pajak menjadi tumpuan negara untuk dapat menjalankan program pembangunan yang telah dicanangkan pemerintah.
Namun hingga kini perjuangan berat dalam mengejar target pajak masih jauh dari harapan yang ditunjukkan dengan masih rendahnya tax ratio di Indonesia. Pada tahun 2018 tax ratio Indonesia sedikit mengalami peningkatan di angka 11,5%, tetapi faktanya angka tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai rata-rata tax revenue to GDP ratio dunia yang berada di level 15,06% (DJP, 2019).
Di Indonesia, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan instrumen utama kebijakan fiskal untuk mendorong pencapaian berbagai target pembangunan yang telah ditetapkan. Peranan tersebut sejalan dengan salah satu fungsi APBN sebagai alat menjaga stabilitas dan akselerasi kinerja ekonomi. Untuk itu kebijakan fiskal senantiasa diarahkan untuk tercapainya pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, pengentasan masyarakat dari kemiskinan.Rendahnya kualitas belanja merupakan alasan utama penyebab gagalnya belanja pemerintah dalam memberikan multiplier effect bagi ekonomi Indonesia. Secara umum belanja negara memiliki tren meningkat secara nominal dari tahun ke tahun seiring dengan perkembangan pendapatan dan belanja. Namun komponen belanja tersebut merupakan belanja yang tidak produktif dan tidak bisa mendorong perekonomian secara langsung.Data menunjukkan bahwa terjadi tren peningkatan signifikan dari belanja non-K/L yang semula 25% pada 2015 menjadi 31,1% pada 2020.Semakin sempitnya ruang fiskal pemerintah pusat juga tak lepas dari semakin besarnya alokasi belanja transfer ke daerah melalui Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Alokasi Khusus (DAK). Penggunaan dana transfer untuk belanja rutin merupakan bentuk belanja daerah yang tidak berkualitas.
Data menunjukkan bahwa sepanjang 2018, belanja pegawai masih menjadi jenis belanja yang paling dominan dalam menyerap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2018. Bahkan berdasarkan data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dari total belanja 542 daerah yang mencapai Rp1.153,9 triliun, 35,6% dari anggaran tersebut direalisasi untuk belanja pegawai sebesar Rp410,6 triliun.
Selanjutnya sektor infrastruktur bisa jadi telah menjadi trademark Presiden Joko Widodo (Jokowi). Selama lima tahun terakhir anggaran infrastruktur yang merupakan belanja produktif terus mengalami peningkatan signifikan.
Sejak 2009–2017 anggaran infrastruktur terhadap belanja APBN terus meningkat dan selalu di atas 8%. Terbaru, dalam postur RAPBN 2020, sektor infrastruktur mendapat porsi senilai Rp419,2 triliun, naik 4,9% bila dibandingkan dengan alokasi anggaran 2019.
Kenaikan anggaran belanja infrastruktur yang signifikan sejatinya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Kenyataannya kenaikan belanja infrastruktur tersebut tidak berbanding lurus dengan volume penjualan semen dan baja di Indonesia.
Data menunjukkan bahwa penjualan semen di pasar domestik tercatat turun sebesar 8,65% secara tahunan, yaitu dari 5,3 juta ton pada April 2018 menjadi 4,9 juta ton dan turun 6% bila dibandingkan dengan penjualan periode Maret 2019 yang sebesar 5,17 juta ton. Berdasarkan data penjualan industri semen yang dirilis PT Semen Indonesia (Persero) Tbk, turunnya penjualan industri semen terutama disebabkan turunnya penjualan semen secara domestik.
Hal serupa juga terjadi pada industri baja. Impor baja masih dominan dan menekan industri baja dalam negeri.Dihimpun dari data The South East Asia Iron and Steel Institute (SEAISI) pada tahun 2018, jumlah importasi baja di Indonesia mencapai 7,6 juta ton. Bahkan komoditas besi dan baja tercatat sebagai komoditas impor terbesar ketiga, yaitu sebesar 6,45% dari total importasi dengan nilai USD10,25 miliar.
Perbaikan Belanja
Idealnya belanja pemerintah harus berperan penting sebagai pendorong perekonomian. Sayangnya ruang fiskal pemerintah tidak banyak. Kondisi belanja yang terjadi saat ini adalah belanja rutin yang tidak dapat ditinggalkan dan terus menjadi beban belanja yang paling berat.
Sebaliknya jika pemerintah mampu lebih meningkatkan belanja modal dan belanja produktif, dampak terhadap pembangunan akan tercapai. Oleh karena itu kementerian dan lembaga perlu mengupayakan belanja modal dan belanja langsung untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Untuk menekan belanja tidak langsung yang membebani APBN, sangat penting bagi pemerintah untuk mendorong pemerintah daerah serta K/L mengubah struktur organisasinya. Perlu dicari titik temu mengenai besar organisasi (right sizing) dan kinerja yang harus dicapai.
Presiden Jokowi dalam pidato pembukaannya sudah menyoroti organisasi pemerintah yang gemuk ini dengan mengusulkan penghilangan jumlah eselon 3 dan 4. Tentu menarik jika ini bersikap untuk mengurangi besaran organisasi.
Walaupun demikian jangan sampai karena pengurangan eselon, target kinerja organisasi terbengkalai. Kita melihat bahwa Presiden sudah bersikap dan tentu kita tunggu respons para menteri untuk berusaha mengefisienkan organisasinya.
Candra Fajri Ananda
Dosen dan Guru Besar FEB Universitas Brawijaya