Reformasi pajak hingga kini belum menunjukkan hasil yang signifikan dan masih memerlukan perhatian khusus pemerintah. Rasio pajak yang belum mencapai yang diinginkan, pertumbuhan pajak di bawah yang ditargetkan, serta perbaikan yang signifikan pada administrasi perpajakan. Kini kelanjutan agenda penting tersebut ditumpukan pada Omnibus Law Perpajakan. Pemerintah melalui menteri keuangan telah menyampaikan Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian atau lebih dikenal dengan sebutan Omnibus Law Perpajakan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 31 Januari 2020.
Satu diantara poin dalam Om nibus Law ialah penurunan tarif PPh badan yang akan menjadi insentif bagi investor. Pemerintah memiliki harapan besar dengan peningkatan penerimaan perusahaan dapat menyebabkan lebih banyak lagi dana yang dimiliki perusahaan untuk dapat diinvestasi kembali sehingga lapangan kerja bisa diciptakan secara lebih baik.
Dengan pajak yang lebih rendah, diharapkan akan ada peningkatan dividen yang dibagikan. Pemerintah juga akan membebaskan pengenaan pajak atas dividen selama dividen tersebut direpatriasi kembali ke Indonesia. Sehingga, uang yang kembali masuk dan berputar di Indonesia diharapkan akan membantu pergerakan roda perekonomian Indonesia.
Pertumbuhan Ekonomi dan Investasi di Indonesia
Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2019 yang hanya terhenti diangka 5,02% secara tahunan (yoy).
Angka tersebut tumbuh lebih rendah dibandingkan pada 2018 sebesar 5,17%. BPS mencatat bahwa angka pertumbuhan ekonomi 5,02% tersebut utamanya masih berasal dari konsumsi rumah tangga yang juga sedang mengalami perlambatan. Sebab itu, kini pemerintah berupaya menggenjot pertumbuhan ekonomi dengan cara mendorong investasi sebagai motor penggerak perekonomian, sekaligus terus berusaha memberikan insentif pada konsumsi rumah tangga untuk tumbuh lebih baik. Secara umum pemerintah perlu mulai menggali strategi baru untuk meningkatkan investasi sebagai unsur penting dalam menggenjot pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat bahwa investasi pada kuartal I 2019 hanya tumbuh 5,3%, dimana capaian ini menjadi realisasi investasi terendah Indonesia dalam kurun 2014-2019. Meski tumbuh dari kuartal I 2018, namun pertumbuhannya jelas masih jauh dari target yang diharapkan pemerintah. Ironisnya, negara kita juga tidak mendapat manfaat secara signifikan atas migrasinya perusahaan asing China di tengah terjadinya perang dagang China-Amerika. Terdapat lebih dari 50 perusahaan multinasional telah mengumumkan rencana atau mempertimbangkan pemindahan manufaktur keluar dari China, namun Indonesia tidak menjadi pilihan yang menarik untuk investasi di banding dengan negara Asia yang lain seperti Vietnam dan Taiwan.
Padahal, pada 2018 pemerintahan Presiden Jokowi telah meluncurkan paket kebijakan ke-16 guna menarik lebih banyak investasi asing demi memperbaiki defisit transaksi berjalan.
Paket kebijakan tersebut terdiri atas perluasan penerima fasilitas libur pajak (tax holiday), relaksasi aturan daftar negatif investasi (DNI), dan pengaturan devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA). Sayangnya, kalangan analis merasa bahwa paket kebijakan pemerintah tersebut dalam perjalanannya masih jauh dari harapan. Pasalnya, implementasi paket tersebut masih saja terganjal aturan perundangan-undangan yang berlapis-lapis.
Merujuk Regulatory Quality Index yang dikeluarkan Bank Dunia, posisi skor Indonesia disepanjang 1996-2017 selalu tercatat berada di bawah nol atau minus. Seperti diketahui, skala indeks kualitas regulasi yang dirumuskan Bank Dunia menempatkan skor 2,5 poin sebagai indeks tertinggi dan menunjukkan kualitas regulasi yang baik. Sementara skor paling rendah yaitu 2,5 poin. Indeks ini menunjukkan kualitas regulasi yang buruk. Pada 2017 skor Indonesia menunjukkan angka -0,11 poin dan berada dipe ringkat ke-92 dari 193 negara. Diantara negara-negara ASEAN, Indonesia masih berada di peringkat kelima di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Kualitas dan jumlah regulasi di Indonesia memang telah menjadi persoalan tersendiri. Merujuk data yang dirilis oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) pada 16 Juli 2019, tercatat sepanjang rentang 2014 hingga Oktober 2018 saja telah terbit 8.945 regulasi. Banyaknya jumlah regulasi yang semrawut dan tumpang tindih pada akhirnya berimplikasi pada berbagai akses terhadap pelayanan publik, termasuk fasilitas terkait kemudahan berusaha. Berpijak dari urgensi inilah, jalan satu-satunya menyederhanakan dan sekaligus menyeragamkan regulasi secara cepat ialah melalui Omnibus Law. Sejumlah aturan yang dinilai menghambat investasi akan dipangkas.
Menimbang Konsep Omnibus Law
Baru-baru ini kata “Omnibus Law” menjadi primadona dijajaran pemerintah dan menjadi buah bibir masyarakat. Omnibus Law merupakan produk hukum yang merevisi beberapa aturan hukum sekaligus melalui aturan payung, disebut sebagai aturan payung karena Omnibus Law secara hierarki perundangan akan lebih tinggi dibanding aturan yang disederhanakan. Omnibus Law berfungsi sebagai alat simplifikasi peraturan perundangan yang sudah mengalami komplikasi (tumpang tindih). Kehadiran asas Omnibus Law tak lain bertujuan untuk mengatasi konflik peraturan perundang-undangan baik vertikal maupun horizontal serta menjadikan pengurusan perizinan investasi menjadi lebih efektif dan efisien.
Seiring dengan rencana kehadiran Omnibus Law, kini pemerintah perlu melakukan mitigasi konflik antar lembaga melalui jalinan komunikasi yang baik guna mereduksi konflik antar lembaga ke depan. Tanpa mitigasi tersebut, maka Omnibus Law nanti tetap tidak dapat mewujudkan kepastian hukum untuk menunjang investasi dan pembangunan. Untuk itu, sebelum membuat aturan payung dalam konsep Omnibus Law, pemerintah perlu menyelesaikan penataan kewenangan pusat dan daerah maupun penataan kewenangan antar instansi yang selama ini tumpang tindih. Perlu diluruskan bahwa esensi utama dari Omnibus Law bukan sekadar mengurangi jumlah peraturan, tetapi fungsi utama konsep ini adalah mengurangi konflik antar peraturan perundangan sehingga tercipta kepastian hukum.
Terdapat dua RUU Omnibus Law yang akan dibahas pemerintah bersama DPR, yaitu RUU Cipta Kerja dan RUU Ketentuandan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian (Omnibus Law Perpajakan). Keduanya akan menjadi tumpuan strategi bagi pemerintah guna memperkuat perekonomian nasional melalui perbaikan ekosistem investasi dan daya saing Indonesia, khususnya dalam menghadapi ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global. Tak dapat dipungkiri bahwa kehadiran Omnibus Law akan banyak memberikan “kenikmatan” bagi korporasi demi menggenjot investasi.
Perpajakan ini mencakup tujuh substansi yang mengatur peraturan perpajakan di tingkat pusat ditambah dua substansi yang mengatur penyesuaian tarif pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) dan merekonfigurasi wewenang pemerintah daerah. Pemerintah akan memberikan fasilitas pajak berupa insentif-insentif pajak seperti tax holiday, super deduction, tax allowance, kawasan ekonomi khusus (KEK), PPh untuk surat berharga, dan insentif pajak daerah dari pemda. Melihat begitu banyaknya kemudahan yang ditawarkan Indonesia pada investor, maka pemerintah perlu dengan teliti dan sungguh-sungguh memonitor dan menganalisis potensi kehilangan pajak, PNBP, maupun sumber pendapatan negara lainnya. Sebab, hal ini akan memberikan potensi kehilangan pajak, PNBP, maupun sumber pendapatan lainnya sehingga terjadi penurunan penerimaan netto yang selanjutnya akan berimbas pada besaran dana perimbangan bagi daerah.
Memberikan insentif pajak secara besar-besaran demi menarik investor tanpa memperhatikan dampaknya terhadap penerimaan negara merupakan hal yang sangat riskan. Hingga kini belum ada kajian yang sangat meyakinkan tentang dampak penurunan tarif pajak terhadap peningkatan investasi asing langsung atau penanaman modal asing (PMA).
China yang memiliki tarif PPh badan sebesar 25% dan India 25,17%, yang mana keduanya jauh lebih tinggi dari Singapura, justru terus diburu oleh investor asing. Berkaca dari program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) yang sempat digulirkan pemerintah beberapa tahun lalu nyatanya program tersebut gagal memperluas basis pajak.
Tax ratio pasca program Tax Amnesty hanya naik pada 2018 sebesar 10,2% dari sebelumnya pada 2017 hanya sebesar 9,9%. Sayangnya, kenaikan tersebut tak bertahan lama. Pada 2019 tax ratio kembali mengalami penurunan menjadi 9,8%, dimana angka tersebut merupakan titik terendah dalam setengah abad terakhir.
Insentif tidak serta-merta mampu menarik minat investor untuk berinvestasi. Masih tersimpan faktor lain yang menjadi pertimbangan bagi investor untuk memilih negara tujuan investasi. Selama ini insentif pajak yang dijanjikan pemerintah kurang diminati investor manufaktur karena ketiadaan kepastian penerimaan insentif. Hambatan itu yang selama ini membuat banyak perusahaan multinasional tidak mau memilih Indonesia untuk regional headquarter atau bahkan sekadar service center.
Secara umum konsep Omnibus Law penting untuk meningkatkan efisiensi regulasi yang dapat menjadi satu diantara daya tarik investasi. Melalui RUU Omnibus Law terlihat bahwa Pemerintah Indonesia serius untuk memberikan kelegaan badan usaha untuk berkembangdan berusaha sebesar-besarnya di wilayah Indonesia. Melihat hal itu, maka dalam implementasi Omnibus Law pemerintah perlu mengedepankan prinsip kehati-hatian, terutama ketika saat ini kondisi perekonomian nasional sedang rentan karena masih dihadapkan pada ketidakpastian ekonomi global dan perlambatan ekonomi dalam negeri.
Candra Fajri Ananda Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya