CUKAI hasil tembakau (CHT) masih menjadi primadona dalam penerimaan negara. Tak dapat dipungkiri bahwa selama ini CHT masih mendominasi penerimaan cukai negara. Data kementerian Keuangan menununjukkan bahwa CHT menyumbang antara 95% hingga 96% dari total penerimaan cukai di Indonesia.
Selain itu, seiring dengan kenaikan tarif cukai dan harga jual eceran (HJE), data juga menunjukkan bahwa penerimaan CHT sepanjang 2019 naik hingga 7,8% menjadi 164,87 triliun. Bahkan, meski dalam kondisi pandemi, realisasi penerimaan CHT per Oktober 2020 sebesar Rp134,92 triliun atau naik 10,23% dibandingkan dengan Oktober 2019 lalu. Hal tersebut cukup menunjukkan bahwa CHT memiliki kontribusi yang signifikan bagi perekonomian nasional.
Di balik peran CHT dalam penerimaan negara, hampir setiap tahun pelaku usaha di sektor hasil tembakau kerap dihantui ketidakpastian terhadap tarif cukai. Kenaikan tarif cukai yang terus berubah setiap tahun kerap menimbulkan kebingungan bagi pelaku industri, salah satunya dengan kesulitan pengusaha untuk memproyeksikan bisnisnya dalam jangka panjang. Kenaikan rata-rata tarif cukai yang mencapai level sampai 35% di awal tahun 2020 berdampak langsung pada kenaikan harga produk rokok oleh sejumlah perusahaan. Imbasnya, sejumlah pabrikan kemungkinan akan melakukan proyeksi ulang atas target penjualan.
Alternatif Barang Kena Cukai
Kebijakan fiskal merupakan bagian yang sangat penting untuk mengatur industri. Kebijakan cukai juga memainkan peran vital dalam mengatur produk tertentu, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No 39/2007 tentang Cukai. Cukai tidak hanya memberikan kontribusi bagi pendapatan negara, tetapi juga berfungsi sebagai alat untuk mengontrol dampak negatif dari mengonsumsi produk tertentu.
Adapun Barang Kena Cukai (BKC) lainnya selain barang hasil tembakau adalah etil alkohol atau etanol dan minuman mengandung etil alkohol (MMEA). Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu. Barang itu mempunyai sifat atau karakteristik sesuai aturan Undang-undang No 39/2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang No 11 1995 tentang Cukai yang merupakan penerimaan negara guna mewujudkan kesejahteraan, keadilan dan keseimbangan. Sifat dan karakteristik pemungutan cukai didasari oleh pembatasan pemakaian oleh masyarakat karena adanya pertimbangan- pertimbangan tertentu.
Dibandingkan dengan negara-negara di dunia, Indonesia masih mengenakan cukai secara terbatas, yakni hanya pada tiga jenis barang kena cukai. Sejak 1995, cukai hanya dikenakan pada tembakau, alkohol, etil alkohol. Seiring perkembangan zaman, makin disadari bahwa produk-produk selain tiga BKC tersebut masih banyak produk lain yang perlu dikendalikan peredarannya karena berdampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan, sehingga BKC perlu ditambah. Melihat komponen BKC yang dikenakan di negara lain, penerimaan cukai terbesar di beberapa negara di dunia bukan dari CHT.
Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki beberapa pilihan BKC lainnya yang berpotensi untuk dapat meningkatkan penerimaan cukai negara. Seperti di Belanda dan Prancis, pendapatan cukai terbesar dari kedua negara tersebut berasal dari produk energi. Sedangkan untuk Finlandia, penerimaan cukai terbesar negara tersebut berasal dari bahan bakar cair. Begitu juga di Thailand, penerimaan cukai terbesar negara tersebut berasal dari minyak.
Pemerintah telah mengkaji sejumlah produk baru yang akan dikenakan cukai oleh menambah pemasukan negara. Selama ini ketentuan cukai hanya dikenal masyarakat awam dilaporkan untuk produk rokok dan minuman mengandung alkohol. Salah satu altrnatif barang kena cukai yang sudah disepakati untuk dikenai cukai adalah plastik. Keputusan itu dibuat mengingat tingginya konsumsi plastik yang bisa memicu masalah sampah. Cukai yang akan dikenakan untuk plastik adalah Rp30.000 per kilogram atau Rp200 per lembar. Tarif yang diajukan ini diharapkan bisa menekan konsumsi plastik hingga 50% dan potensi penerimaan cukai bisa mencapai Rp1,6 triliun.
Selain plastik, Menteri Keuangan juga berencana mengenakan cukai kepada minuman berpemanis. Diperkirakan cukai minuman berpemanis akan menyumbang Rp6,25 triliun per tahun kepada penerimaan negara. Tarifnya pun bervariasi dan bergantung kepada tiap produk sesuai dengan tingkat kandungan pemanis.
Menimbang Beban IHT
Perlu diakui bahwa kini beban IHT sangat besar. Selain kenaikan tarif cukai yang dalam dua tahun terakhir terus mengalami kenaikan, munculnya pandemi Covid 19 juga turut menambah deretan beban yang harus dihadapi IHT. Hasil riset Forum for Socio-Economic Studies (FOSES) menunjukkan bahwa kenaikan cukai rokok setiap tahun ternyata selalu memberikan pengaruh negatif terhadap jumlah tenaga kerja serapan di sektor IHT. Data FOSES juga menunjukkan terjadinya penurunan jumlah tenaga kerja selama 2016 hingga 2018 akibat kenaikan cukai rokok sebesar 4,88% hingga 7,7%. Pasalnya, jumlah serapan tenaga kerja pada IHT adalah yang terbesar kelima di Tanah Air. Setidaknya sektor IHT dari hulu ke hilir terdapat 7 juta manusia yangmasih menggantungkan nasib di sektor pertembakauan.
Serangkaian kebijakan yang bersifat mengendalikan serta dampak pandemi Covid-19, akan berpengaruh terhadap produksi IHT yang berujung pada terganggunya penerimaan negara. Selain baban tenaga kerja, beban pajak, beban kesejahteraan pertanian, dan perdagangan IHT juga turut terdampak. Kebijakan kenaikan tarif cukai setiap tahun relatif tinggi dibanding angka inflasi maupun pertumbuhan ekonomi. Bahkan, kenaikan HJE meningkat dua kali lipat dibanding persentase kenaikan tarif pada sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) pada 2020.
Saat ini, penyusunan peta jalan (roadmap) IHT yang komprehensif dengan mempertimbangkan aspek kesehatan, ekonomi, pendapatan negara, tenaga kerja, dan pertanian mendesak untuk segera dilakukan oleh pemerintah. Kepastian tarif dan kebijakan CHT sangat diperlukan mengingat rantai produksi-distribusi usaha yang melibatkan banyak pihak dari petani, pabrik, buruh, distribusi, logistik, hingga pengecer warung. Oleh sebab itu, para stakeholders di sektor IHT perlu duduk bersama untuk menyelaraskan pemikiran dengan mengutamakan prinsip partisipatif, terbuka, dan holistik agar terciptanya kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) yang lebih deliberatif, inklusif, dan mengedepankan persaingan usaha yang sehat. Semoga.
Prof Candra Fajri Ananda PhD
Staf Khusus Menteri Keuangan