Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
Seiring berlanjutnya ketidakpastian global, perlambatan ekonomi makin meluas dan dialami oleh sejumlah negara-negara di dunia. Beberapa lembaga, termasuk Bank Indonesia (BI) memprediksi kinerja ekonomi global memburuk pada 2023.
Dua kekuatan ekonomi dunia, Eropa dan Amerika Serikat (AS), berpotensi masuk ke jurang resesi tahun depan dengan tingkat kemungkinan sebesar 60%. Adapun pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini diperkirakan hanya di kisaran 3% dan 2023 melambat menjadi 2,6%. Bahkan, dalam skenario terburuk, pertumbuhan ekonomi dunia hanya 2%.
Tak sedikit pihak yang memprediksi puncak pelemahan ekonomi dunia bakal terjadi pada 2023. Hal tersebut tak lain karena tensi geopolitik yang masih berlanjut yang akan berdampak pada gangguan suplai global baik di bidang energi, pangan dan keuangan. Hal ini terlihat pada peningkatan inflasi di berbagai negara, yang memangkas kesejahteraan masyarakat di berbagai dunia.
Di tengah guncangan ekonomi global, ekspansi perekonomian Indonesia mampu melaju kuat sepanjang tahun 2022. Sumber utama pertumbuhan selama tiga triwulan terakhir adalah dari membaiknya permintaan domestik yang disokong oleh konsumsi rumah tangga yang tinggi, investasi yang tetap positif, dan neraca perdagangan yang terus surplus.
Selain itu, membaiknya mobilitas, berkembangnya aktivitas ekonomi, dan kuatnya keyakinan konsumen mampu mendorong kegiatan produksi dan konsumsi terus bertumbuh. Terlebih, meski sempat dibayangi dengan kenaikan harga, namun kinerja lapangan usaha di Indonesia masih mampu meningkat seperti batu bara, CPO, besi, dan baja seiring dengan peningkatan permintaan dari mitra dagang utama.
Gambaran tersebut menunjukkan langkah kebijakan pemerintah menjaga daya beli masyarakat, seperti BLT, BSU, Kartu Pra-kerja, PKH, di tengah tekanan kenaikan inflasi akibat pengalihan subsidi BBM sudah tepat. Ditambah bauran kebijakan yang diambil BI dan koordinasi yang baik antar mitra strategis, seperti Tim Pengendali Inflasi Daerah dan Pusat (TPID dan TPIP), Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP), telah berhasil mengerem laju inflasi dan mengendalikan dampak lanjutan dari kenaikan harga BBM.
Meski demikian, keberhasilan capaian ekonomi Indonesia selama 2022 nyatanya tak menutup kemugkinan bagi Indonesia untuk lepas dari guncangan ekonomi global. Perekonomian global yang masih terus dihantui ketidakpastian di tahun mendatang berpeluang memberikan ancaman bagi perekonomian Indonesia melalui reflasi.
Reflasi di Indonesia
Reflasi adalah istilah dari risiko resesi yang terjadi di sejumlah negara disertai dengan tingginya inflasi. Reflasi pada dasarnya adalah pertumbuhan ekonomi yang melambat atau bahkan negatif, namun inflasi tinggi.
Berkaca pada kondisi saat ini, Indonesia cenderung mengalami tekanan reflasi, yakni ekonomi Indonesia tumbuh melemah, namun diikuti dengan tingkat inflasi yang tinggi.
Tahun ini, BI memprediksi inflasi dunia akan menyentuh 9,2%. Saat ini, di Amerika Serikat angka inflasi telah mendekati 8,8%, Eropa 10% dan di Inggris telah mendekati 11%.
Lonjakan inflasi tersebut tentu saja merupakan dampak dari kenaikan harga energi karena kelangkaan pasokan energi akibat perang maupun kondisi geopolitik. Ironisnya, inflasi yang mengancam dunia tersebut adalah inflasi dari sisi pasokan, di mana terjadi kendala di rantai pasokan energi maupun pangan, sehingga angka inflasinya tak mudah untuk bisa segera menurun.
Alhasil, kenaikan suku bunga dan inflasi tinggi akan terus berkejar-kejaran. Pada kondisi tersebut akan berpotensi muncul terjadinya stagflasi, bahkan ke arah reflasi.
Strategi Hadapi Reflasi
Saat ini Indonesia diuji dengan pandemi, geopolitik, dan tantangan resesi global. Ini bukan sebuah tantangan yang mudah dihadapi, karena polanya berubah dari krisis sebelumnya. Ke depan, kita akan menghadapi tantangan resesi dan inflasi tinggi yang akan sangat memengaruhi keuangan negara, perekonomian, kesejahteraan rakyat. Respons pemerintah yang cepat dan tepat akan sangat berpengaruh pada kinerja perekonomian di tahun mendatang.
The Fed juga diperkirakan masih akanhawkishhingga kuartal I/2023 mendatang. Tingginya inflasi diyakini juga masih akan terjadi di banyak negara. Selain itu, ekspektasi terhadap kenaikancost of fund juga masih cukup tinggi. Berkaca pada dinamika tersebut, maka ketahanan eksternal Indonesia sangat penting untuk terus diperkuat.
Bauran kebijakan yang solid dan kredibel, yang selama ini terbukti mampu memoderasi dampak risiko ekonomi global, penting untuk terus dijalankan.
Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang berjalan beriringan dapat meredam gejolak inflasi dan mendorong daya beli masyarakat secara bersama-sama. Ini karena masing-masing kebijakan berperan penting dalam mengendalikan variabel-variabel makro ekonomi berbeda, yang tersebar baik dalam instrumen kebijakan fiskal maupun instrumen kebijakan moneter.
Pada sisi moneter, BI juga terus memperkuat respons untuk menjaga stabilitas dan momentum pemulihan ekonomi nasional dengan memperkuat operasi moneter melalui kenaikan suku bunga acuan. Teranyar, BI kembali menaikkan suku bunga 50 basis poin menjadi 5,25% pada November 2022. Artinya, sejak 2022 Bank Indonesia telah secara bertahap menaikkan suku bunga sebanyak 175 basis poin dengan tingkat inflasi Indonesia berada di 5,7%.
Selain itu di sisi moneter, BI juga memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah dengan tetap berada di pasar sebagai bagian dari pengendalian inflasi terutamaimported inflationmelalui intervensi di pasar valas baik melalui transaksi spotDomestic Non Deliverable Forward(DNDF) serta penjualan dan pembelian surat berharga SBN di pasar sekunder.
Pada sisi fiskal, pemerintah perlu terus bisa menjaga momentum daya beli masyarakat untuk tetap mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh sebab itu, pemerintah perlu terus menstimulasi daya beli masyarakat melalui berbagai paket kebijakan perlindungan sosial. Pemerintah perlu memprioritaskan perlindungan sosial guna melindungi masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang masih penuh ketidakpastian.
APBN 2023 pun perlu bekerja lebih fleksibel namun tetap berjalan sesuai tanggung jawabnya dalam menjalankan perannya sebagaishock absorbermelindungi masyarakat dan perekonomian Indonesia, dengan terus menjaga target defisit di bawah 3%, menjalankan transformasi struktural, pengelolaan ekonomi hijau.
Seluruh bauran kebijakan yang solid dan persiapan yang matang dari pemerintah dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global ke depan sangat dibutuhkan untuk menjaga Indonesia dari ancaman reflasi.
Pemerintah dan BI baik di tingkat pusat maupun daerah perlu terus berkomitmen untuk memperkuat sinergi agar inflasi tetap terjaga sesuai kisaran sasarannya. Inflasi yang terkendali dan stabil juga akan memperkuat stabilitas dan mendukung pemulihan perekonomian untuk tumbuh lebih tinggi dan berkesinambungan menuju Indonesia Maju. Semoga.
Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Senin, 28 November 2022 – 08:07 WIB oleh Candra Fajri Ananda