febub-logo

MMD Universitas Brawijaya Kelompok 29 Hadir dengan Solusi Lewat Pemetaan Bisnis UMKM


Desa Wonomulyo yang terletak di Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, dikenal sebagai desa yang kaya akan potensi usaha rumahan, terutama dalam bidang olahan pangan lokal seperti samiler. Produk samiler—makanan ringan berbahan dasar singkong—menjadi salah satu produk unggulan yang telah lama digeluti oleh masyarakat desa. Namun, di tengah tingginya potensi tersebut, pelaku UMKM lokal masih menghadapi berbagai tantangan seperti keterbatasan alat produksi, pemasaran, dan belum adanya pemetaan model bisnis yang terstruktur. 

Menjawab permasalahan tersebut, Mahasiswa Universitas Brawijaya yang tergabung dalam program Mahasiswa Membangun Desa (MMD) Kelompok 29 melakukan intervensi melalui pendekatan Business Model Canvas (BMC). Dengan pendampingan langsung dari Dosen Pembimbing Lapangan, Ns.Setyoadi, S.Kep., M.Kep, Sp.Kep.Kom, tim yang salah satunya terdiri dari mahasiswa bernama Gatan ini melakukan pemetaan mendalam terhadap struktur bisnis pelaku UMKM samiler di Desa Wonomulyo. Kegiatan ini bertujuan untuk membantu para pelaku usaha memahami posisi bisnis mereka, mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan usaha, serta merancang strategi pengembangan yang lebih efektif dan berkelanjutan.

Potensi usaha samiler yang sudah dikenal luas, ditambah dengan semangat kewirausahaan lokal, menjadi peluang besar untuk dikembangkan. Melalui pemetaan bisnis berbasis BMC, Tim MMD UB Kelompok 29 berharap dapat memperkuat posisi UMKM lokal dalam menghadapi tantangan ekonomi desa sekaligus mendorong pertumbuhan sektor informal yang berdaya saing.

Business Model Canvas Usaha Milik Bu SK Selaku Pemilik Usaha RBY Snack

Usaha RBY Snack milik Bu SK yang berlokasi di Desa Wonomulyo, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, merupakan contoh nyata potensi ekonomi lokal yang digerakkan oleh kelompok perempuan desa. Produk unggulan seperti samiler, stik singkong, dan keripik berbahan dasar singkong dikembangkan dengan inovasi rasa, dikemas praktis, dan dijual dengan harga terjangkau. Usaha ini mengandalkan sistem produksi rumahan dengan memberdayakan 11 orang anggota, mesin produksi hasil swadaya, dan dana pelatihan BLK, dengan total modal mencapai Rp17 juta. Hubungan dengan konsumen dibangun secara personal melalui sistem diskon loyalitas dan pre-order, serta distribusi dilakukan secara informal lewat jaringan toko anggota KWT, penjualan langsung, dan bazar UMKM. Meskipun belum mendapat dukungan sponsor formal, usaha ini telah mampu membangunjaringan pasar kecil yang stabil. Namun, sejumlah tantangan masih dihadapi seperti keterbatasan alat, distribusi informal, dan belum adanya legalitas skala besar.

“Pasarnya belum begitu luas banget untuk produk olahan singkong ini. Permasalahan permodalan itu sama pengembangan produk, mas. Saya juga ingin olahannya gak ini-ini aja.” Jawab Bu SK dalam pertanyaan mengenai permasalahan-permasalahan usaha.

Permasalahan utama yang dihadapi oleh usaha RBY Snack milik Bu SK di Desa Wonomulyo, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, terletak pada aspek distribusi, legalitas, permodalan, dan manajemen usaha yang masih bersifat informal. Jalur distribusi produk hingga saat ini masih mengandalkan sistem titip jual ke warung-warung anggota kelompok dan penjualan langsung saat bazar atau event desa. Kondisi ini membuat cakupan pasar menjadi terbatas dan belum mampu menjangkau konsumen luar desa secara berkelanjutan. Selain itu, belum adanya legalitas produk seperti PIRT atau sertifikasi BPOM juga menjadi kendala serius, mengingat legalitas sangat penting untuk menembus pasar yang lebih luas seperti koperasi desa, toko oleh-oleh wisata, maupun marketplace digital.

Di sisi lain, keterbatasan alat produksi dan modal juga menghambat ekspansi usaha. Mesin produksi masih berasal dari pengadaan mandiri dengan dana terbatas, sementara rencana pengembangan produk seperti pembelian alat pengering masih belum terealisasi. Ketergantungan pada event-event lokal sebagai satu-satunya sarana promosi menunjukkan belum optimalnya strategi pemasaran yang dijalankan.Manajemen keuangan dan sumber daya manusia pun masih berjalan secara sederhana, di mana sebagian besar pengelolaan masih bergantung pada satu atau dua orang inti, tanpa adanya sistem pencatatan keuangan atau pembagian peran yang jelas.

Untuk menjawab permasalahan ini, perlu dilakukan beberapa langkah strategis. Pertama, memperluas saluran distribusi melalui kerja sama dengan koperasi desa, toko oleh-oleh, dan platform digital seperti marketplace dan media sosial. Kedua, mengurus legalitas produk secara bertahap dimulai dari PIRT dan mendorong pengemasan yang lebih profesional agar produk siap bersaing di pasar modern. Ketiga, mencari akses permodalan dari program CSR, dinas terkait, atau skema kemitraan yang memungkinkan pengadaan alat produksi tambahan dan pengembangan usaha. Keempat, melakukan pelatihan manajemen usaha dan pencatatan keuangan sederhana kepada anggota kelompok, serta pelatihan branding dan digital marketing untuk memperkuat posisi produk di pasar. Dengan pendekatan ini, RBY Snack berpotensi menjadi model UMKM berbasis perempuan desa yang mandiri dan berdaya saing tinggi.

Business Model Canvas Usaha Milik Bu SR Selaku Pemilik Usaha Syauqil

Usaha Syauqil merupakan salah satu UMKM yang tumbuh dari kekuatan keluarga dan potensi lokal di Desa Wonomulyo, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang. Usaha ini bergerak di bidang produksi makanan ringan dan minuman rumahan steril, seperti peyek, samiler, rengginang, stick, tape ketan, dan minuman herbal. Keunggulan utama dari produk Syauqil adalah cita rasa khas rumahan yang berasal dari bahan lokal—terutama kacang dan singkong—yang sebagian ditanam sendiri oleh pemilik usaha.

Namun, dari sisi pengelolaan bisnis, Syauqil masih menghadapi sejumlah permasalahan mendasar. Pertama, legalitas usaha masih terbatas. Produk makanan hanya mengantongi PIRT, sementara produk minuman belum memiliki izin edar karena tingginya biaya pengurusan BPOM yang mencapai lebih dari Rp20 juta. Ketiadaan legalitas resmi ini membatasi akses produk ke pasar modern dan resmi seperti swalayan atau marketplace nasional.

Kedua, struktur distribusi masih bersifat sangat lokal dan informal. Penjualan dilakukan melalui sistem titip jual ke warung-warung sekitar, penjualan langsung di rumah produksi, serta partisipasi pada bazar UMKM atau event desa. Hal ini menyebabkan pasar Syauqil tidak berkembang secara signifikan dan cenderung stagnan dalam jangka panjang.

Ketiga, keterbatasan modal dan peralatan produksi juga menjadi hambatan. Modal awal usaha hanya sekitar Rp2 juta tanpa dukungan bantuan tambahan hingga saat ini. Alat produksi masih sederhana dan sebagian rusak, seperti alat pres dan penggorengan. Akibatnya, kapasitas produksi tidak bisa ditingkatkan, dan produksi menjadi tidak stabil. Selain itu, distribusi dan promosi hanya bergantung pada event desa/kecamatan, sehingga tidak ada sistem pemasaran yang berjalan secara konsisten.

“Yang masak saya, yang ngepress 2 orang, yang nyortir itu ada yang ngerdusin. Semua satu orang saya yang gerakkan, kayak keluarga saya itu tenaga kerjanya dari rumah diberdayakan sama saya.” Ujar Bu SR saat menjelaskan mengenai manajemen sumber daya manusia Syauqil.

Dari sisi manajemen, usaha ini berbasis keluarga dan belum melibatkan pelatihan atau sistem kerja profesional. Semua dikerjakan oleh pemilik sendiri dan keluarga, tanpa adanya pencatatan keuangan atau struktur kerja yang sistematis.


Untuk mengatasi tantangan yang dihadapi usaha Syauqil milik Bu SR, diperlukan strategi penguatan dari aspek legalitas, distribusi, permodalan, dan manajemen usaha. Langkah awal yang bisa dilakukan adalah mengurus legalitas produk secara bertahap, dimulai dari PIRT dan dilanjutkan dengan BPOM untuk varian minuman unggulan, dengan memanfaatkan program bantuan dari pemerintah desa, dinas UMKM, atau CSR. Distribusi juga perlu diperluas tidak hanya melalui warung lokal, tetapi juga toko oleh-oleh, galeri UMKM, serta platform digital seperti media sosial dan marketplace. Di sisi permodalan, pelaku usah dapat mengakses pinjaman mikro atau hibah UMKM untuk memperbaiki alat produksi yang rusak dan meningkatkan kapasitas produksi. Selain itu, peningkatan kualitas kemasan dan branding akan memperkuat daya saing produk di luar wilayah desa. Pelatihan manajemen usaha dan pemasaran digital bagi pelaku usaha dan anggota keluarga juga penting dilakukan agar usaha dapat dikelola lebih profesional. Upaya kolaborasi dengan produsen lain di sekitar, seperti sistem kemitraan atau co branding, juga bisa menjadi solusi untuk menjaga stabilitas produksi dan memperluas jangkauan pasar.

Kelompok Mahasiswa Membangun Desa (MMD) Universitas Brawijaya Kelompok 29 telah melakukan pemetaan bisnis UMKM di Desa Wonomulyo, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, dengan menggunakan pendekatan Business Model Canvas (BMC). Dari hasil pemetaan terhadap dua usaha lokal yaitu RBY Snack dan Syauqil, ditemukan potensi ekonomi lokal yang besar melalui produk makanan ringan seperti samiler, peyek, stik, hingga minuman steril rumahan, namun juga dihadapkan pada permasalahan utama seperti keterbatasan distribusi, legalitas usaha, peralatan produksi, serta manajemen usaha yang masih informal. Untuk menjawab tantangan ini, MMD merekomendasikan solusi berupa peningkatan legalitas produk (PIRT dan BPOM), penguatan distribusi melalui jalur digital dan toko oleh-oleh, akses permodalan dari program pemerintah atau CSR, perbaikan alat produksi, serta pelatihan manajemen usaha dan pemasaran digital agar UMKM lokal lebih profesional, berdaya saing, dan mampu menembus pasar yang lebih luas secara berkelanjutan.

#MMDUB2025

#SDGs8

Scroll to Top
Skip to content